Friday, October 15, 2010

platonis

aku memandanginya dari kejauhan, sepintas demi sepintas namun sampai jua pada tahap memperhatikan. mungkin ia tak secemerlang kunang-kunang yang bertebaran ditepian danau dengan cantiknya, tidak pula semenawan butiran rintik hujan yang 'ku tatapi di bawah temaram lampu jalan pada malam hari. tidak seindah warna-warni sambaran kilat pada cakrawala yang sebentar lagi menangis, tidak pula segemilang embun yang berdecak pada hilir daun. sungguh ia hanya sesederhana kepulan asap yang keluar dari hidung dan mulut konsumennya.

sayangnya, kepulan asap yang sederhana itu larut dalam rongga tenggorok yang melaju terus pada trakea menyusuri bronchi dan menjelajahi alveoli tanpa ampun, meleburkan dirinya pada hemoglobin --ah! sialnya hemoglobin ini lebih terpikat pada kandungan nikotin daripada kesenangan murni sang oksigen pada umumnya-- ya, dan ia merasuki setiap jengkal organ tubuhku dari dalam, menyerangku tanpa kendali dan merasuki segenap jiwaku. keberadaannya yang sederhana menjadi candu yang tak terpisahkan dari darahku... memikatku dengan sangat bila 'ku konsumsi dalam jumlah berlebihan dan menghisap keseluruhan ragaku bila 'ku hentikan pemakaian atasnya. mencanduiku dengan pikat yang terlampir padanya bahkan tanpa ia ketahui.

ia menghidupkan aku kembali pada dunia imajiner. memenuhi tiap sudut kosong pada ruang khayalku dengan hasil pindaian mata tiap kali bersua dengan binarnya yang mengagumkan. menyeruakan sudut kusam dengan tawa yang identik tanpa gugatan, bahkan semerbaknya sama dengan aromaku. ia melengkapi kesunyian dengan diam beralaskan buah-buah pikir yang tak berkesudahan yang termaktub dalam tutur ucapnya, jelas terlihat luas pengetahuannya yang menghardik idealismeku. bahkan lantunan nada tak berirama pula yang didendangkannya dapat menghipnotisku pada sebuah takjub.

aku biarkan ia disana, bertahta pada jiwanya, menapaki langkah hidupnya dan aku terhenti disini untuk meratapi keindahannya tiada tara. ia utopis.. ia platonis.. padahal ia nyata tepat disampingku setiap waktu. ironis...

Thursday, October 14, 2010

tentang kamu

aku memilih terjangkit amnesia tentang kamu. pilihan yang bijak walau tak bajik untuk semesta, ya! apa peduliku tentang semesta?! aku hanya peduli akan aku masa ini, maka itu aku menjadi amnesia.

keseluruhan tentangmu tak ubahnya kubangan hitam tempat kerbau melumpur, atau serupa legamnya kantung mata yang lelah setelah mata ini dipaksakan terus terjaga. keberadaanmu pada waktu lalu adalah kesalahan, meski kesalahan itu selayaknya aku emban sebab tanpanya aku tidak akan pernah mengerti soal kebenaran. singkirkan sejenak tentang pemikiran positif atas kamu, kini aku merangkum kenegatifanmu atasku. sepantasnya seperti itu untuk kesehatanku!

sudah aku hapus keberadaanmu pada sudut mataku tiap kali bayanganmu jatuh padaku. bahkan aku pasangkan tirai pembuta mata ketika kamu ada tepat dihadapku. akan tidak sia-sia usahaku, sebab aromamu sudah tak mengesankan seperti hari yang lalu, pudar.. sudah pudar. kesimaku akan tingginya kamu tak sebanyak kemarin dan akan terus menipis ketika aku bersua dengan sang lusa.

kamu eros, bukan platonis! tak heran bila mudah terkikis.

Thursday, October 7, 2010

hey God,

could you answer me, when this will come to an end? i know it won't vanish just the way it is.. something shall be happened and the sweet disposition is supposed to be.. either me or him who will dead first.

should be him first so i won't worry 'bout mom!

many thanks God.

Bung Karno dan Jakartaraya

kamu tahu bahwa bumi sedang marah? kamu sadarkah melihat bahwa semesta sedang berada pada puncak emosi tertingginya? kamu acuhkah akan langit yang enggan bercerita pada kita? melipat wajahnya menjadi seribu, memerahkan matanya, mengerutkan keningnya dan menyiniskan tatapannya pada kita?

bung karno pernah menyuarakan buah pikirnya pada sebuah buku, buku arsitektur lebih tepatnya, beliau bangun monumen nasional dengan maksud akan menjadi batas tertinggi mencapai cakrawala jakartaraya. bagian tertinggi pada ibukota ini dan sebuah pelarangan akan bangunan lain di kemudian hari. tiada satupun diperbolehkan untuk melampaui monumen nasional yang ditempatkan di pusat kota ini. pelarangan ini sungguh bukan tanpa alasan, penjabaran berikutanya lebih kepada perkara struktur tanah jakarta. tulisnya, jika dianalogikan maka tanah jakarta ini tak ubahnya dari batu apung, berlubang disana-sini. sehingga menurut ilmu pengetahuannya dimana apabila bangunan dibuat menjadi pencakar langit, maka dibutuhkan pondasi yang lebih dalam merengkuh tanah, dimana ketinggian bangunan dan kedalamannya berbanding lurus.

struktur tanah jakarta yang berlubang-lubang ini, tanpa ditanamkan gedung-gedung pencakar langit nantinya juga akan menjadi amblas oleh sebab jumlah air tanah yang akan habis dikonsumsi oleh penduduknya. selain itu intrusi air laut juga memperparah turunnya tanah di jakarta, jadi bila ditambah dengan para pencakar langit?

kesempurnaan ini sudah berasa saat ini. air tanah yang menipis di bagian barat dan utara sampai sebagian pusat yang tidak lagi menikmati air tanah. runtuhnya jalan raya akibat tanah yang amblas ditambah hujan yang tak berkesudahan melengkapi kejayaan jakarta. lalu, dapat apakah kita? merenung, menyesal?

mungkin bung karno terlalu pelit terhadap penerusnya sehingga beliau tidak memberitahukan tujuan dibangunnya monumen nasional itu kepada diktartor suharto. atau sebenarnya sudah diberitakan namun tak diindahkan oleh suharto? atau secara makro, manusia jakarta ini yang memang tidak suka membaca.. membaca sang semesta, setidaknya.