Sunday, March 13, 2011

maaf

getar suaranya masih menggema hebat dalam gendang telingaku, pula bayangan mata ini masih tergambarkan pelik kesedihannya yang tak kuasa ditahannya untuk tidak menangis. jatuh sudah air matanya yang mendeskripsikan kepiluan dan beban hatinya yang tak pernah terujarkan kepada siapapun di permukaan bumi ini. aku sungguh berada pada waktu dan tempat yang tepat, yang diperuntukan oleh Sang Esa untuk hadir di hadapnya dan melihatnya meratap.

hati ini telah lama bungkam, tak berasa dan tertutup oleh ketidakpedulian yang meraja dalam jangka waktu satu dekade. kepelikan yang sama yang dihadapinya juga aku hadapi, hal itu yang melegalkan tindak sikapku untuk terus tiada peduli akan setiap untaian masalah yang terjadi di sekitar aku dan dia. aku terlalu lelah terjerembab dalam kubangan yang sama, berada dalam himpitan problematika yang sama yang menyesakkan aku dan dia. kelelahan luar biasa memperdayaku untuk seakan keluar dan pergi meninggalkan kotak pandora itu. meninggalkannya sendirian di dalamnya, tanpa peduli seberapapun tersiksanya dia dalam kotak pandora. aku sungguh telah menutup mata dan hati untuk sejenak saja mendengarkan keluhnya.

kini aku dipaksa kembali ke dalam kotak pandora itu oleh Sang Empunya Semesta, ditarik kembali untuk menghadapi dan mengatasi kekeruhan kotak pandora, tanpa satu kesempatanpun untuk bertahan atau membela diri. kini aku terdiam di dalamnya, berhadapan kembali dengan bayangan-bayangan kelam masa lalu, menemaninya dalam kepedihan hati yang terucap tanpa tarikan napas. ia memuntahkan kegalauannya padaku diiringi tangisan yang sungguh tak kuasa untuk aku acuhkan. aku biarkan ia terus berceloteh demi sebuah kelegaan, meski kehadiranku tiada bersamaan dengan solusi, namun aku ada dan bergeming di hadapnya dan kali ini, sungguh tanpa gugatan lebih lanjut.

pilu hatinya oleh sebab ditinggalkan oleh patahan hatinya, kini diperparah oleh kedengkian tak berkesudahan dari sang buah hati. makian yang ditelannya bulat-bulat, kesalahan-kesalahan yang tak dilakukannya tetap terus disudutkan kepadanya oleh sang buah hati. berkali-kali ia terdiam, berulang kali ia berdoa, namun serasa kesemuanya hanyalah untaian kesia-siaan yang tak kunjung padam. cercaan itu bertubi-tubi menghantamnya tanpa ampun dan lagi-lagi hanya sebait doa yang dapat mentahirkan hatinya untuk tetap bertahan dalam kotak pandora ini.

dalam keluhnya aku hanya dapat bertutur dalam hati, "maafkan aku telah meninggalkanmu selama ini dan berlari dalam kesibukanku untuk menghindarimu, ibu."

karyaku, katamu

Perbincangan malam itu masih tertoreh pekat dalam rongga ingatanku, malam dimana aku berhadapan dengan sisi lain kamu. Sisi yang tak pernah aku sangka sebelumnya, tidak sedetikpun terlintas dalam ruang khayalku tentang kamu. Ketegasan yang didominasi kegetiran meraja pada pilihan kata-katamu untukku malam itu.

Serasa bercakap dengan orang asing yang dalam tiap bulir kalimatnya menjatuhkan dan menyingkirkan kemanusiaanku. Sesahmu terhadapku sungguh tak terperikan, menyisakan luka lama yang menggelayut abadi dalam alam sadar dan bawah sadarku. Penghinaanmu atas aku mungkin kamu ujarkan tanpa sadar dan tanpa niat dari liang hatimu, namun sungguh, setiap kata dan gerak ekspresimu telah terpatri sempurna sebagai perendahan akan harkat dan martabatku sebagai anak manusia.

Mungkin aku memang bukan apa-apa bagimu, hanya sepintas rasa penghibur dalam malam kelammu yang tanpa teman. Sehingga kamu bercakap semudah ini padaku..

"Jadi lo maonya apa? Jangan bilang lo ga tau mao apa, mendingan mati aja lo kalo ga tau maonya apa."

Hardikmu itu terngiang hebat sedemikian rupa sehingga menjatuhkan sejuta harap yang telah aku ukir dalam temaramnya langkah kehidupan. Senaif itu aku berpikir kamu juga menyayangiku dan berharap ini bukan rasaku sendiri. Menyedihkan.

Lantunan kejumawaanmu kamu lanjutkan dalam beberapa baris kata serupa ini..

"Buat apa curhat sana-sini di twitter kayak sampah, tulis di blog supaya banyak orang tau kalo lo kenapa-kenapa? Gw ga butuh kayak gituan, gak ada hasilnya."

Kamu tahu, sayang, kamu boleh melihatku jatuh. Sungguh aku perbolehkan kamu berada dalam koordinat tanpa helai benang pembatas yang terlampir pada diriku. Bahkan atas keseluruhannya itu, kamu sungguh memiliki hak untuk tidak menyayangiku sama sekali, karena kamu manusia bebas sama seperti aku yang sama-sama beryurisdiksi. Namun untuk menyudutkan karyaku sampai di bawah titik nol? Sama artinya dengan kamu telah melanggar batas eksklusivitasku, mengokupasi yurisdiksiku dan mencarut-marutkannya seakan itu wilayah jajahanmu.

Percayalah, kasih ini akan tetap sama meski dalam kediaman. Rupawan benakmu akan terus berjaya atasku, serupa keagungan sabuk orion yang menerus aku puja. Tapi jika terus saja penjajahan ini tak berkesudahan, aku katakan padamu, gerilya karyaku tak akan pernah mampu kamu hentikan. Bahkan hingga lelah okupasimu di atasnya, hingga kembali berdebu dalam ruang ragu.

Pembuktiannya akan terjadi dalam satuan angka manusia. Bila masa itu datang, ia akan menghampirimu tanpa dendam, dengki maupun amarah.