Thursday, July 21, 2011

dimatikan

pada alur ini, aku memutuskan untuk keluar dari cerita.. kisahnya masih bergulir meliuk bersama arus yang kadang terjal namun kadang membuai. sedangkan aku? aku telah menyingkirkan diriku sendiri dari gugusan kisah itu. peranku dimatikan oleh sang penulis. selesai.

aku selesai sebelum aku menjadi pengganggu, aku dibunuh sebelum aku mulai menjadi pengerat dan aku dihilangkan sesaat ketika aku berpikir akan merengek, memohon dan memelas.. tersungkur bersimpuh di bawah kaki si pemeran utama yang berkepribadian-ganda. aku tepat dibuang dari pigura novel ini sebelum aku menjadi terlalu antagonis dan melankolis.

kini aku berdiri di luar buku yang bersampul manis dengan warna merah jingga. dalam getir dan pahit di sudut ini aku tersenyum. sedikit mengembang oleh sebab peranku nyata memadatkan keindahan kisah tak berujung meski aku tak pernah mencapai ujung. banyak bangga oleh sebab aku cukup berani untuk dimatikan, sebelum sungguh aku menjadi duri perengek dalam buku kisah cinta mereka meski harus menyeberangi selat malaka.

Monday, July 11, 2011

RuangBiru

Ruang itu biasa aku sambangi pada waktu lalu, biasa memelukku erat pada hari lalu. Menyapa kenyamananku pada bidang persegi khas dengan warna biru hangat yang memanjakan mataku. Ruang itu lengkap dengan bebunyian yang sangat mudah aku lafalkan, setia menyapa genderang telingaku untuk menyampaikan pesan manis pada neuron-neuron dan pada detik berikutnya gumamanku menjadikan nada pengiring yang mencerahkan vena.

Memompakan para hemoglobin lebih cepat ke dua belah pipi, meronakannya dan menampilkan semburat tipis menandakan senyum dalam irama yang sempurna. Ruang itu dipersenjatain oleh bentuk-bentuk penyerap cahaya yang siap benderang cemerlang ketika bola lampu dipadamkan. Kembali Ruang itu membawaku jauh pada langit-langit malam yang artifisial, mendekapku dalam gubahan kerling orion yang tak sedetikpun memperbolehkan aku lepas memujanya.

Ruang biru itu mendayu dalam kelam pekat ditemani oleh bintang temaram yang ikut menari dalam irama petikan gitar terus menyihirku untuk kembali. Disempurnakan oleh bebauan yang menyeruak masuk dalam dinding-dinding tenggorok, berdesir bersama alveoli-alveoli pulmo. Pada tiap semerbaknya dapat aku kenali keberadaannya dengan jelas walau pengelihatan ini termampatkan.

Malam ini, aku berjarak tiga langkah pada sang Ruang. Tanpa perintah maupun kebolehan untuk menjejak kembali. Tiga langkah dari kenyamanan abadiku yang selama ini disirnakan oleh kamu. Kamu yang lagi-lagi tanpa penjelasan akan kehausanku pada himpitan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Kamu kembali membatasiku, menahan kerinduanku pada sang Ruang. Menyisakan aku yang hanya terpaku berdiri tak beranjak, hanya merapat pada dinding sisi luar dari sang Ruang. Sungguh aku termangu di situ, tanpa butiran kata.

Jangan persalahkan aku kali ini, rinduku membuncah tanpa arah. Bulir-bulir tangis ini sekali lagi menemaniku seorang diri. Semoga kali ini bukan lagi dosa sebab aku merindumu dalam redupnya kesedihan dan kesepian.

*11 Juli 2011, untuk kamu yang jumawa

Monday, July 4, 2011

(maha)karya

dalam perjalanan ini sudah terbayang dalam benakku sebuah rangkaian bait dengan tarian not balok yang tak pernah aku mengerti. aku perdengarkan berulang-ulang untuk memastikan patahan-patahan iramanya tepat dengan deskripsi yang akan aku selipkan didalamnya. untaian nadanya benar tepat sejajar dengan kecepatan dan percepatan gerbong-gerbong besi yang mengantarku kembali ke bilik privatisasi ruangku.

malam itu aku sibuk menghamburkan kertas, menuliskan barisan huruf yang berpadu memberi arti meski tanpa makna. menorehkan pada satu sisi dan menegaskannya di sisi yang lain.. mengabadikannya dalam cermin teknologi berpadu dalam selipan irama dalam gubahan karya yang telah aku jatuhkan pilihan sebagai bingkai bernada.

aku melakukannya dengan sepenuh hati tanpa pernah aku sadari. aku menciptakannya dengan senyuman tertulus dan tarian jemari yang gemilang tanpa pernah aku duga akibat akan segala karyaku itu. aku lepaskan helaan manis dan raut kebanggaan pada saat aku nyatakan karyaku sempurna, setidaknya sempurna bagiku. aku menjadikannya sesempurna benakku, tersenyum saat menyelesaikannya dan tersipu pada saat pengalihannya tepat di hadapmu. sebuah ciptaan sempurna untuk sahabatku.

setelah pengalihannya, kini aku menyingkir.. menjauh daripadamu dengan tertunduk. kembali tertunduk untuk sekian kalinya. aku hanya dapat meratapi tiap tetes peluh dan tiap jengkal keluh yang berkecamuk hebat dalam rongga hati dengan getaran infrasonik. memekik tajam dalam diam.

maafkan aku sahabat, kita tak akan pernah benar bersahabat karena aku tidak dapat menepiskan cinta ini yang terlampir tepat pada dirimu.


*20110604 - the birthday song by corrinne may*

penghakimanku

aku menghakimimu. ya.. aku menghakimi dirimu dalam sebuah aklamasi. keriaanmu telah aku padamkan dalam jarak secangkir kopi dan sebatang rokok. kesukaanmu sungguh telah aku bungkam tanpa kebolehan daripadamu. aku sungguh muak akan muluknya duniamu yang dengan penuh kesadaran menciderai hati yang kamu untai sendiri.

tarian percintaanmu tak ubahnya dengan perzinahan keduniawian. pelukan hangatmu menajiskan tahta lembaga perikatan yang kabarnya diatasnamakan dengan cinta sejati. aku memang tidak pernah percaya cinta sejati. aku memang tidak pernah percaya kesetiaan abadi, toh kesemuanya hanya sebuah permainan politik.. selalu bersama jika masih bermanfaat. oportunis, dan tidak pernah lebih mulia dari itu. aku apatis akan cinta? ya.

kamu menukarnya dengan manusia baru. manusia baru yang menurut pengelihatan fanamu jelas jauh melebihi kesempurnaan cintamu yang lalu. lembaga perikatan itu mungkin amat membosankan bagimu, terlampau membebaskan dan tanpa aturan. setidaknya itu yang dapat aku sarikan pada perbincangan kita kemarin dan kemarin lagi. kamu menemukan hati yang baru, cinta yang baru dengan banyak aturan dan kerapian yang jumawa. lalu kemudian kamu tukar kebebasan itu dengan rintihan aturan tanpa ujung. itu cinta? teori apalagi kali ini?! bukankah cinta itu membebaskan??

dalam pertanyaan atas cintamu ini, aku masih menunggu argumentasimu, penjelasanmu dan penjabaran berakal atas sikap polahmu yang sungguh menistakan nuraniku. jabarkan pembenaranmu atas legalitas cinta sejati itu kepadaku. deskripsikan nelangsamu akan pencarianmu pada sang kekal, pula kerinduanmu akan sang khalik. sepengetahuanku, semestinya perkara itu menjadi perkara pribadimu dengan sang esa. bahkan kamu tidak memerlukan agama untuk bercakap dengannya. lalu lihat sikapmu kali ini, kembali menyebut diri telah disalib bersamanya setelah dalam sepasang tahun yang lewat menyembahnya dengan khiblat ke arah barat!

aku menghamikimu kali ini. hati lamamu yang siap kamu singkirkan melalui meja hijau itu sungguh kebetulan memujanya pada keagungan jumat. sedang pujaan hatimu yang kini sungguh kebetulan bermazmur pada kemurnian minggu. aku menghubungkan keduanya tanpa alasan mengada-ada. hanya sebatas gunjingan kecurigaaan yang menggelitik serat logika pada kepulan aroma dari secangkir kopi.

coba runutkan padaku koneksitas antara penemuan cinta sejati pada kekasih barumu ini dan alasan spektakuler dalam kerinduanmu akan pencipta semesta. sungguh pendosa ini menghakimimu atas dasar keapatisan cinta dan tanpa teori keagamaan yang cemerlang. aku hanya sebentuk pendosa tanpa pengampunan akan jiwa raga. pembenaran perjudianmu akan cinta dan agama seketika memampatkan kemanusiaanku.

dalam penghakimanku ini tolong jawab rentetan pertanyaanku atas sikapmu.. "dimana nuranimu, malaikat hitam?"