Wednesday, November 16, 2011

Amarah

Dalam tingkap kesabaranku yang lekas menyentuh titik didih, kini kamu cobai sekali lagi. Dengar, aku bukan manusia para umumnya dan aku tahu bahwa bahwa terdapat unsur kesengajan dalam tindak tandukmu akan aku. Lakumu tak ayal dari sesah pada setiap nadiku, memaksaku merenggangkan aorta untuk memompa gabungan hemoglobin, eritrosit dan leukosit pada waktu yang sama. Memaksa mereka menemui sasaran dan bergumul di kepala, serta merta meningkatkan nada pada pita suara mengakibatkannya memberikan sensasi erangan yang tidak biasa.

Aku menghardikmu tadi, mengumpatkan kata yang wajar aku lontarkan namun kali ini dalam dentuman suara yang tidak umum. Sungguh kali ini kamu telah memperdayaku tanpa aba-aba. Kamu sungguh memuakkan!!! Berjaya di sana dengan keangkuhan tak terperikan, tersenyum di atas pedihku yang merintih akan kasih. Sementara aku meranggas tanpa batas, di sini aku memaki tanpa henti.

Khianatmu tak kan terhapuskan meski darah berhenti berotasi pada tubuh mortal ini. Tipuan dan muslihatmu tak akan terampuni walau bumi luruh jadi debu. Sungguh, bahkan segenap jagad raya ini tak akan mampu memaafkanmu, seberapapun kamu bersimpuh, memohon dan mengaduh. Kejahatanmu tak mungkin lekang oleh sang waktu. Dalam masa Berikutnya, khianatmu akan dipersamakan dengan sejarah dunia, tertoreh dalam kitab raja-raja.. Keduanya akan sama buruknya dengan masa kegelapan Roma Katolik pada abad pertengahan. Dan aku mensejajarkan kamu dengan kisah-kisah terburuk dalam fana.

Dengar wahai kamu sang arogan, serapahku akan menyertaimu sampai pads akhir zaman! Khianatmu atas kasih putih ini akan menghentikan langkahmu dalam pencarian akan sejatinya cinta. Teruslah mencari dan teruslah mengetuk setiap pintu hati. Sebab sejak mula-mula hatimulah yang tak diberkahi pintu oleh sang Khalik. Meranalah di kemudian sebab hal itu sungguh setimpal dengan kedukaan hatiku yang kamu ganti dengan pelepah arang.

Thursday, November 3, 2011

aku dan hujan



aku terpaku di sini, dalam rapatnya kesesakkan jakarta, ditemani genderang klakson yang meronta memekakan telinga. menerawang menembus jendela yang basah penanda penghujan telah menyapa bulan ini, menyempurnakan pikuk jakarta raya dengan kepadatan lalu lintasnya di jumat malam ini.

pada detik berikutnya aku memutuskan untuk menghentikan laju argo burung biru ini, menghamburkan diri dalam sisa gemericik hujan. melangkah memilih jejak yang tak tergenang, berkutat dalam hirup pikiran yang hilir mudik membuncah pada gurat dahi. aku putuskan untuk menghirup kotornya polusi jakarta ini, berharap ia akan mengotori alam pikirku yang terlampau keruh. dengan niat teguh aku biarkan diriku terguyur gerimis sekadar hanya untuk melunturkan isi kepalaku yang penuh akan dirimu...

aku yang melangkah gamang dalam alur kisah yang terjal, menyala dan merona pada hari kerja, lalu kamu matikan pada akhir minggu. aku yang kamu biarkan terbang tinggi meski dengan syarat yang tak terbantahkan yang kamu usulkan. aku yang menjajal hati dengan hati, meski dengan kesadaran penuh kamu sungguh tanpa hati.

gontai aku teruskan langkahku dalam jarak pandang yang buram. hujan membahana, melumatkan tiap jengkal keringnya tubuh ini. sekeras apapun sang hujan ini berusaha, tak satupun keping pikirku terlepaskan bersama sang hujan.. bagian-bagian ini masih tertata dengan baik memenuhi cerebelum dan cerebum. semua tentangmu masih meraja dalam alam khayal dan nyataku. pula masih aku nikmati keberadaan dalam ketiadaanmu sesuai hari dalam samsiah.

ya, setidaknya sang hujan kini berhasil menutupi luapan air mataku yang tak terbendung lagi sejak tadi.


*pict taken from http://www.flickr.com/photos/zi-sky/4295120976/