Friday, December 30, 2011

oksigen?

lalu ia datang tanpa pertanda apapun, menghampiri tabung oksigen yang menjadi satu-satunya harapan untuk aku tetap hidup, menarik tangkupnya dengan kasar memotong selangnya dan menyisakan bebunyian mendesis tanpa henti. keterkejutan otak ini bebanding lurus dengan sang pulmo, tersedak-sedak meraih oksigen dari kumpulan monoksida dan dioksida, mengerejap tak terarah pada semesta udara.

aku bertahan di tempatku menenangkan sebagian organ, mendominasi kepala dengan himpitan dogma bahwa oksigen adalah unsur pelengkap yang tak dibutuhkan oleh keseluruhan raga serta jiwa. aku akan tetap bertahan pada hidup tanpa hadirnya sang oksigen, bila hari lalu aku mampu, lalu mengapa dalam satuan waktu kemarin aku koma tanpanya? lalu mengapa tabung dan selang-selangnya menjamahi ariku, menyesakkan warnanya pada paru dan mengirimkannya pada setiap alur aliran darah, mengikatkan dirinya yang hebat di setiap juntai neuron. kemudian melumpuhkan segenap aku dan keakuanku yang berjaya tanpa terkendali nyaris dalam tiga dekade.

detik ini, dalam jalan kematianku tanpa sang oksigen, masih dapat aku lihat ia menatapku. menggenggam erat selang-selang oksigen yang masih berdesis, beranjak mendekat kemudian menjauh lagi.. jelas sungguh bergetar keseluruhannya, sakit mungkin melihat dirinya sendiri berhasil melumpuhkan aku sekaligus merenggut senyumku yang mulai terbiasa menemaninya dalam setiap degup harinya. terdiam ia dalam duka.. koyak mungkin hatinya sekoyak hatiku atas tindaknya.

aku paksakan kembali tersenyum untuknya meski paru ini mulai porak poranda, adiksi oksigen itu tak tertandingi.. aku membiru dalam senyum memaku.

dalam detik berikutnya, aku hanya dapat menangkap bayangannya.. pudar, kian memudar.. menghambur menghilang.. indera pendengaran ini menjadi jauh lebih tajam.. ribut, rusuh.. lalu senyap.

entah berapa lama kegelapan menyelimutiku sampai aku rasakan kembali sang oksigen merajai aku, menjajahku kembali dan sayangnya.. ia menghidupiku. kini senyumnya yang menghardikku untuk tersadar.. "selamat datang kembali di planet bumi, sayang" bisiknya.

Monday, December 12, 2011

perjuangan?


Siang ini terik luar biasa, sesi foto pre-wedding yang aku amini ini baru saja menyentuh titik diistirahatkan karena matari terlampau jumawa di atas sana. Sedang ceria rupanya akan hariku sehingga begitu bersemangat memancarkan sinarnya nan terik.

Teh botol dingin dan Black Menthol ini membawaku pada beberapa masa lalu ketika seorang temanku tanpa syarat menjabarkan kisahnya..

Kami dapat duduk berlama-lama pada hari lalu karena persamaan nasib. Mencintai cinta yang sama-sama telah memiliki cinta sebelumnya. Tapi ini betul cinta, dan tak terbagi oleh siapapun, meski disisi sana cintanya terbagi antara dia dengan kaum sejenisnya yang kebetulan lebih dahulu bersama laki-laki itu.

Kisah mereka tak dapat disimpulkan dengan mulus, terlalu banyak kelumit didalamnya. Pre-wed yang lengang dan kisah tersembunyi dari khalayak terus mereka susuri bersama. Mereka tak hanya menyantapi kerikil tajam dalam cinta, mereka meratapi batu besar hasil muntahan merapi yang mengamuk. Sang pria terikat dalam hubungan serius yang direstui kedua orang tuanya. Pula berencana menikah tahun berikutnya.

Mungkin ini hanya sebuah bentuk perjuangan akan cinta, menorehkan pengabadian dalam lembaran buku kehidupan. Temanku ini berjuang keras dalam mempertahankannya. Semata ia percaya sungguh cinta mereka sejati adanya. Menghalalkan jutaan cara untuk tetap bersamanya dalam suka dan sedih, dalam untung dan malang.

Nuraniku terusik di awal perencanaan temanku ini, mengejar moment katanya. Mempercepat pernikahan tanpa restu sebelum pernikahan yang direstui itu terselenggara. Mengabdi pada cinta yang dipercayakan oleh sang khalik untuknya, untuk mereka berdua.

Tepat siang ini mereka melegalisasikan kisah mereka, setelah perjuangan dan pengorbanan yang panjang dalam segenap kerahasian di muka umum. Ya, mereka melegalisasikannya.. menyeberangi selat malaka. Aku sebut perjuangannya membuahkan hasil, cinta mereka tetap berjaya meski bongkahan batu besar itu belum terlewati. Pula pernikahan berikutnya tetap harus dihadapi. Semoga ia, cinta dan rencananya sejalan dengan rencana ilahi. Semoga... Sementara aku berada disini, dalam peran sebagai fotografer untuk pre-wedding yang lain.

"Ne, yuk, mulai lagi, udah jam 3 nih" suara laki-laki calon mempelai itu memecahkan lamunan panjangku.

Sesi sore kembali dimulai, kembali aku mengintip dari lubang kamera, menghasilkan beberapa frame lainnya.. Tersenyum melihat kedua anak manusia ini mengikuti arahanku.

Sungguh, kesalahanku kali ini adalah berada disini, memeluk erat Alpha 200. Menyetujui sesi pengabadian cinta dua insan ini, karena sang calon mempelai laki-laki ini yang mengiba padaku kemarin malam.

Maaf, aku gagal memperjuangkan kita, darl.. Pintamu semalam telah aku penuhi kini. Tanpa gugatan, aku menjalankan peranku dalam pengabdian cintaku atasmu. Meski dalam relung ini jiwa menjerit meronta "seharusnya aku yang ada dalam tiap frame ini bersamamu, darl.."

semoga


Aku berdiri disini, menunggunya..

Ditemani alunan musik pengiring dengan kekhasan yang begitu membahana di telinga. Suasana manis menyeruak ketika aku menoleh ke belakang dan melihat semerbak warna-warni memenuhi rautnya yang tidak biasa.

Ia berjalan perlahan namun tegas, dalam jas hitam itu ia terlihat lebih dewasa dari hari-hari sebelumnya. Ia tersenyum menyapaku dari lorong ini, tegas dalam tekadnya yang tak dapat digugat oleh siapapun, termasuk oleh kedua manusia yang menghadirkannya ke planet bumi.

Kini ia tepat disampingku, menatapku lekat-lekat dalam gaun putih pilihan kita berdua. Tersenyum sekali lagi sebelum prosesi dilangsungkan. Sementara aku berbinar dan bergetar, sungguh tak pernah aku duga hari ini akan terjadi.

Hari yang aku tunggu dan aku mohon agar terjadi. Hari yang menegaskan kisahku bersamanya meski terselubung tanpa restu, meski harus melawan semua perintah bahkan walau harus melanggar kaumku sendiri.

Perempuan itu akan menangis melihat kenyataan ini. Maafkan aku, perempuan, namun aku juga mencintainya sama seperti kamu mencintainya. Aku membutuhkannya dan akan terus bersamanya meski maut memisahkan. Aku yang akan melumat kemarahanmu padanya, aku yang akan menjadi tameng untuknya pabila kamu menghardiknya. Sebab bila kamu menyakitinya, kamu menyakiti aku.

Vow telah diucapkan, sakral telah ditorehkan. Kita tidak lagi dua melainkan satu. Bantu aku mendapatkan persetujuan terakhir dari kedua orang tuamu, sayang. Semoga mereka mengerti akan cinta kita. Dan pembatalan pernikahanmu dengan kekasihmu nantinya tak akan pernah aku mohonkan. Semoga saja..

Sunday, December 11, 2011

luruh


Bungkus ke empat baru saja aku buka, botol ke tiga menemaninya. Ruang ini terlampau berasap seketika. Mereka berdesakan mencari ventilasi, membumbung ke langit-langit dan menjejalkan diri ke atas pintu yang sedari tadi aku tutup rapat.

Sejalan semuanya hari ini, sejalan dengan penat yang aku derita tanpa sebab. Kantung mata ini pula rupanya telah penuh, tak mampu lagi menampung air didalamnya. Pakaian ini pun masih utuh menempel pada tubuh, tepat seperti pagi tadi aku kenakan.

Tawa denganmu beberapa menit yang lalu ternyata hanya semerbak yang melintas tanpa menetap. Sebab dalam detik ini berita yang kamu sampaikan meluluhkan benteng tawaku. Meluruhkannya jadi debu, meninggalkan aku sendiri dalam tatapan nanar berbayang, tak fokus oleh sebab mata ini terpenuhi air yang mengamuk melepaskan diri dari rengkuhan kantungnya.

Lalu mengapa kamu harus hadir dan meluluh-lantakkan tingkap egoku? Kamu tak ubahnya semacam nikotin, kafein, alkohol dan MSG yang sungguh tidak aku perlukan namun aku butuhkan. Menyusup dalam aliran darah dan menjejalkan adiksi dan afeksi yang tidak biasa, menjadikannya sekelumit kebutuhan yang terus akan diminta oleh tubuh pabila hilang dalam jerat-jerat syaraf.

Kejahatanmu tak dapat ditoleransi, kamu menanamkan tumbuhan berakal tunggang pada hati yang keras. Menyelusupkan akar-akarmu sampai pada pusatnya. Seketika dalam hitungan detik kamu serabutkan tumbuhan itu dan meninggalkan liang tak tertutup sampai akhir hayat. Dengan persetujuan sang esa-kah kamu melakukannya?

Lalu mengapa jejak kaki kita harus bertemu, berjalan sejajar dan bersilangan? Jika pada akhirnya aku akan kembali melangkah sendirian?

Botol ke empat kembali menemaniku, melarutkan segala hal tentang kamu. Semoga waktu kembali menyembuhkan aku. Meretaskan batas sunyiku dalam kepulan asap yang semakin membiru.


*pict taken from http://www.tradebit.com/filedetail.php