Thursday, April 19, 2012

binar hampa

langkahnya segontai tentara yang kalah dalam medan perang, lebih porak poranda karena luka-luka yang tak kasat mata. layu.

"gw pikir akan sampe mati, sayangnya ternyata ga pernah sampe di 4 purnama"

aku pernah melihatnya dalam tingkap terendah, ia terhenti di bagian bawah dari roda kehidupan pada saat itu. nyaris sama seperti malam ini. tapi binar matanya tetap ada pada saat itu, sekotor apapun asap yang menyelimuti selaput matanya, binarnya tak pernah seredup malam ini. kemana dia? ada apa dia?

candu dan nikotin itu pernah merajainya di hari lalu. menjadi lupa dan terlupakan akan seluruh kemelut yang dihadapinya. namun tawanya selalu hadir pada setiap hari, meski iris dan pupil yang tampak hanya separuh dari seluruh, namun lingkar hitam itu bernyawa. hidup. alkohol dan kimiawi lainnya itu tak pernah mengalahkan matanya. percikan semangat di dalamnya tak pernah pudar meski diterjang ketidaksadaran. hidup dan terus hidup.

sungguh bahkan aku tak kuasa bertanya malam ini. ia tepat di hadapku dan melemparkan pandangannya jauh ke utara. terdiam di situ dalam tangis yang tak henti. bukan luka biasa sepertinya atau setidaknya bukan sebentuk luka yang lalu, sebab air itu mengalir tenang tanpa gugatan, tanpa upaya. matanya meredup nyaris tiada, gelap dan tak berjiwa. yah, mungkin terserabut air mata, pikirku. pemikiran itu yang tersisa untuk sebuah ide positivitas yang dipaksa hadir. sungguh ini bukan dia, bukan manusia yang biasanya aku akrabi. sungguhpun bukan seperti mata yang aku kagumi sebelumnya. ada apa ini? hilang dimana dia? terkalahkan dari apa?

masih di sini, kini ditemani semerbak rekahan matahari di ujung timur yang mulai menggeliat menembus selimut malam yang mulai memuai. harapku cahayanya dapat membangkitkan kembali binar pada bilah matanya, sungguh aku telah bergumam dalam doa agar talentanya kembali. sekuat doaku untuknya, sekuat itu pula tak terkabulkan. ia beranjak dari hadapku, membuang puntung ke lantai atap dan meneroboskan senyum yang mengada-ada. getir. aku terburu-buru menanggapi geraknya, gagap, limbung. masih dengan raut terhimpit jutaan pertanyaan yang sama.

"somehow, a person is just meant to be failed in lovelife, kan Ne..."

ia berlalu, sementara aku masih mengerenyitkan dahi, meninggalkan aku dalam tanya dan menyisakan rekaman warna hampa pada dua belah matanya.

gelap

katamu menciderai aku. dalam usik jiwamu lontaran katamu itu sempurna melukaiku. tepat seperti sempurnanya sang nyaman yang selama ini hadir tanpa kusuk. meruntuhkan mimpi utopis milikku sendiri. merobohkan rangkaian tawa dalam sebuah kata. meleburkannya bersama asap yang berhambur di udara. ruang ini mungkin maksiat. jiwa ini mungkin sakit semenjak muasal. tak heran kau lantas berjarak, pergi menjauh dari rengkuh.

mati sudah lampu-lampu temaram yang kadang menyilaukan dalam nyamannya ruang ini. mereka biasa menari lincah dalam keceriaan yang tak terbendung. dan kini, bahkan tak menyisakan setitik sembulan cahayapun pada sudut. gelap, pekat. nyala korek api inipun terbenam dalam gulita. kalah dalam sebongkah kesunyian.

ruang ternyaman yang pernah melengkapiku seketika menjadi neraka di bumi yang tak ingin aku tinggali. dan kamu bergeming saja di ambang pintu tanpa hasrat untuk meraih. permintaan ini sudah percuma rupanya. argumentasi ini sudah sia-sia rupanya. matamu sudah terlalu dingin dan aku.. aku jijik dengan keberadaanku pada ruang ini! nista!!

terima kasih telah mematikan semua lampu dan menyerap seluruh cahaya.
terima kasih untuk menutup semua pintu.
terima kasih atas tatapan dingin itu. ia sungguh meluluhkan asa dan benar terpatri sempurna tiap aku memejamkan bilah mata. terima kasih.

Sunday, April 8, 2012

perasa(an)

"Kalo kamu punya perasaan, kamu gak akan ngomong gitu."

Kalimat itu menyambar rusuk sampai ke lubuk. Mengerutkan dahiku tanpa makna, mengerenyitkan amarah yang menyalak-nyalak sejak semalam. Dalam detik setelahnya, seketika oksigen menjadi barang langka yang nyaris punah di tempat ini. Ini, detik dimana aku merasa sangat berperasaan, penuh menyeruak sampai aliran darah malah ditudingkan tak berperasaan? Kejahatan apa yang telah aku perbuat?

Aku perintahkan seluruh detektif dan penyidik yang berdiam dalam tubuh ini mencari delik pidana yang dituduhkan itu. Sementara tangan ini kembali menyusuri kalimat-kalimat di atas, menyediakan mata yang membelalak mencari kesalahan. Menegatifkan seluruh rangkaian kata dan kosa kata, sepertinya tak ada makna terselubung dalam tiap huruf ini. Kriminalitas tertinggi yang harus dibumihanguskan jika itu memang terbukti. Aku mencari bersama para penyidik dan detektif. Menghilangkan tameng dan benteng pertahanan, membiarkan diri kalah dan salah. Tanpa sangkal secuilpun, tersangka ini menyerahkan diri, menjadikan dirinya terdakwa dan kemudian terpidana.

Sementara para detektif dan penyidik itu akan terbahak, menyeringai mendapatiku dalam keadaan ini. Atau malah mereka akan menangis dan tercengang sebab melihatku ditelanjangi oleh salah? Ekstrimitas yang nyata, pengakuan akan perasaan yang tak pernah menyembul sedetikpun. Seketika dirobohkan oleh kalimatmu tadi, tepat ketika aku merasa sangat amat menggunakan perasaan.

":)"

Lambang multi-intepretasi lagi yang menjelaskan. Tak perlu, kalimat tadi sudah terpatri, dipertegas dengan simbolmu yang sungguh permanen serupa tato suku dayak dan mentawai. Misil maaf sudah aku lontarkan pada satu kota, dan segalanya hanya bergeming di sana, tak tersentuh. Porak poranda sudah seranganku kali ini. Merapikan pasukan yang sudah tak bernyawa. Hanya sisa-sisa jasad dirundung roh gentayangan meratapi sang jasad. Percuma. Sia-sia.

Gerilyawan ini sudah mati ditelan senyum dan kalimatmu. Tolong torehkan kata maaf pada nisannya, semoga dimaafkan dan dilupakan salahnya oleh kamu. Sebab ia bukan sang empunya hak untuk menghapuskan kalimatmu yang terucap.

"Maaf"

Monday, April 2, 2012

:)

dia tercekat di sini dalam pekatnya raut yang meneduhkan. menjauhkannya dari kata bosan meski ia seorang pembosan, setidaknya itu yang ia kenal tentang dirinya sampai detik dimana alur hidupnya beririsan dengan alur hidup manusia itu. rontanya telah kian menipis, beralih kepada sebuah syukur tanpa batas ukur. kerutnya terurai tanpa sadarnya, dibasuh oleh kulum yang meronakan rupanya. ia menyerah pada akhirnya, bukan pada kalah namun pada nyata. asingnya pada sosial beringsut menjauh dari medulla spinalis, meniupkan kecap baru pada segenap syaraf yang menghardiknya pada kesadaran kenyataan.

"gw udah senang dalam 7 tahun blakangan! percaya kalo hidup gw ga akan berubah dalam bentuk yang drastis!"

hentaknya masih terasa bersama dalam deburan angin malam di sini. hari dimana ia datang untuk menyangkal, sangkalan pertama terhitung selama dekade persahabatan. malam itu, aku hanya dapat tersenyum di hadapnya. menikmati kegamangan yang mulai menjamahi relung rasa yang dilindunginya dalam tujuh kali samsiyah. setangguh itu ia membangun pertahanan, tersusupi juga akhirnya oleh musuh abadi terkasih.

rokok kesekian sudah aku habiskan tanpa hadirnya. intuisi ini berbisik bahwa kali ini murni bukan muslihat, hingga singitku tak terbangun sedikitpun dalam tunggu. ia akan baik tanpa kekurangan namun pasti tergenapi. terima kasih untuk hadir dalam cara yang ajaib untuk sahabatku, kamu.