Sunday, May 20, 2012

(harap)an

seingat saya sejak satu dekade kemarin, saya berjanji untuk tidak berharap. doktrinisasi hebat yang membuat saya bertahan hingga hari ini. tapi belum juga genap dua belas jam lalu, saya berharap. tergelontorkan begitu saja dalam teriak, dalam amarah.

inkonsistensi. lagi-lagi inkonsistensi. memilukan. memalukan. bisa jadi merupakan ucapan paling menjijikan yang terlontar dalam himpitan huruf. harapan. menistakan doktirnisasi saya. menjadikan saya serasa sama dengan manusia-manusia itu. harapan adalah kekejian.

sem.pur.na

kadang manusia lebih memilih untuk tidak bahagia selamanya. banyak manusia yang seperti itu malah. terlalu gerah dengan kebahagian, tawa dan bahkan senyum. kesempurnaan itu hadir bila kesedihan menemani keriaan. mereka bersisian terlalu rapat hingga kadang tak berbatas. sakit itu harus ada dalam setiap kesenangan. tangis itu harus siam dengan tawa lepas. mungkin itulah kesempurnaan. ketika keduanya hadir dalam silang hari. sehingga manusia ini tak terlampau jumawa dalam kebahagiaan, tidak pula terlalu kandas dalam kesedihan. seimbang, sempurna.

mungkin itu sebuah penjelasan sempurna atas pertanyaan mengapa aku memilih kamu. sejalan dengan pertanyaan mengapa kamu memilih tetap bertahan dengan aku. sempurna. seimbang.

Pluto

Ia hanya ingin sama dengan planet lain. Berpusat pada matahari dan setia berotasi padanya. Mungkin ia aneh, tidak wajar karena meski sama sumbu tapi garis rotasinya janggal dari planet lainnya. Menanggung risiko lebih banyak oleh karena tumburan dan singgungan dengan planet lainnya lebih dimungkinkan.

Ia memang tak semenawan bumi yang biru. Tidak membakar semangat seperti merahnya mars. Bukan bintang kejora yang indah semacam venus. Jauh dari gemerlapnya saturnus yang bertahtakan cincin. Tak pernah seakrab merkurius yang selalu lekat dengan sang matari. Terlampau jauh dan gelap, ia setia berpusat dan terus mengorbit pada matahari meski hanya mengintip.

Statusnya tak jelas. Kadang disebut planet kadang hanya ditahbiskan sebagai benda langit yang tak bertuan. Minor! Namun sungguh ia setia. Terus saja memuja sang matari sebagai pusat kehidupannya. 

Ia tak pernah mendekat. Jarak nyamannya tetap terjaga dalam satuan milyar juta tahun cahaya. Langkahnya tetap tertata sehingga gesekan pun tak pernah dirasa oleh planet lain yang lebih dekat dengan sang pusat. 

Kehadirannya tak dirasa, sebab ada atau tidakpun dirinya, sungguh tak akan mengubah jenjang semesta. Namun sungguh, ia lebih intim dengan sang pusat daripada keberadaan neptunus yang diakui. Jaraknya yang semu memperlihatkan kedekatan yang berteriak dalam diam dan tanpa deklarasi. Lalu salahkah ia memuja matari?

Betapapun janggalnya, seasing apapun dirinya, walau tanpa sebuah status keplanetan pada jagad raya, ia tetap nyata. Ia tak butuh pengakuan, sungguh, ia hanya lelah disangkal. Ia benar ada, ia Pluto, si Aquarius yang Minor.

Saturday, May 19, 2012

Gugatan Sendal Jepit

Dia masih diam saja di bawah meja kantor, tenang dan tak pernah mengeluh. Geliatnya terasa bila dikenakan, bahagianya nyata menyamankan sepasang kaki sang empu. Memberikan ruang lebih banyak tanpa memaksa sang kaki untuk sedikit merapat, bahkan dia tak pernah meminta untuk lebih dirawat.

Disejajarkan dengan sepasang hi-heels yang jumawa, bersih mengkilap karena lebih diperhatikan oleh sang empunya. Jika si hi-heels sedang pergi dalam rapat, dia biasa ditemani oleh si teplek hitam yang usianya tak belia. Teplek yang compang-camping di sana-sini, berdebu kadang basah, pertanda hidupnya lebih lama di perjalanan daripada berdiam di bawah meja kantor.

Ketiganya punya peran masing-masing, tepat dan sempurna bagi sang empunya. Tapi pernahkah sang empu berpikir atau setidaknya terbersit dalam nuraninya bahwa jepit ini iri? Si jepit yang nyaman dan sangat dipercaya ini berkeluh kesah. Dia hanya dikenakan saat sang empu merasa letih, lelah terhimpit hi-heels dan atas kelelahan itu, si jepit dengan setia memberikan kenyamanan. Melegakan sepasang kaki empu dan memberikan banyak udara tanpa batas ruang penyiksaan.

Jepit ini kemudian menggugat, ia dikenal oleh orang dekat dan para sahabat sang empu bahkan pengakuan dideklarasikan dengan lantang di hadapan mereka. Namun tak pernah ia dibawa ke muka umum, tidak dalam rapat seperti si hi-heels, bahkan tidak jua dalam perjalanan seperti si teplek, meskipun renta dihantam debu dan hujan, setidaknya teplek itu berada di ruang lepas tanpa batas. Diperlihatkan pada keluarga, sahabat-sahabat dari kantor lain dan bahkan dikenalkan pada orang tak dikenal selama perjalanan. Jepit ini merana, diakui hanya sebatas hati tanpa sebuah proklamasi. 

Terlampau tinggi mungkin harapannya jika terkait dengan khalayak ramai, bagaimana dengan perhatian? Jepit ini tak pernah mengenal tisu, lap apalagi semir. Pilu benar ia menatap perhatian ekstra sang empu untuk si hi-heels yang gemilang, didandani semir yang menawan, diharumkan oleh tangan bodyshop atau setidaknya diusap manis oleh tisu yang lembut. Yahh, bahkan dijadikan sederajat dengan si teplek pun tidak pernah. Si teplek masih sering bersua dengan tisu basah dan menjadi pasien sang semir sekurang-kurangnya sekali dalam tiap bulannya. Sedangkan si jepit...

Lalu benarkah si jepit sungguh memiliki arti bagi sang empu?