Menyediakan waktu sampai dengan mereka tutup, sebagian malah mengusirku karena aku terpaku terlampau lama di dalam gerainya. Pada waktu berikutnya, aku memotret tanpa ijin pemilik hanya untuk memastikan kalian akan tersenyum ketika menerimanya. Menunggu dalam pikuk yang tak wajar untuk memastikan kirimanku berbalas. Menunggu lagi dan lagi.
Bagian lainnya aku tidak dapat memutuskan karena kamu suka keduanya. Bukan sisaan, bukan. Kamu utama hingga aku mengambil keduanya. Lalu aku berjalan lagi tanpa henti tanpa peduli luka di kaki dan tangan yang membeku.
Lalu aku kembali ke kota ini. Kota yang adalah rumahku sendiri. Kota dimana aku menemukan kalian yang aku sebut sahabat. Mungkin salahku tak mengukur waktu dan getaran. Sebab ketika ku cari kalian menyublim pada jiwa baru yang asing bagiku. Kemudian aku hanya diam, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Meneriakan isi hati atas kesendirian. Satu wajahpun tak aku dapati dalam pencarianku kemarin. Tulisan, kita hanya bersua melalui tulisan.
Ada hal apa yang aku lewati, sahabat? Ada apa? Aku sudah merendahkan harga ini di muka kalian. Serendah-rendahnya. Memekikan kerinduan adalah kerendahan yang luar biasa. Menjabarkan rasa merupakan tingkap kesalahan berikutnya. Tidak jika memang benar sahabat, jika bukan?