Thursday, October 22, 2015

Kalian

Perjalanan jauh lalu membuat aku menemukan bagian dari aku. Aku masuki setiap gang dan gemerlap pertokoan. Menatap sejenak dan lalu terlintas wakah kalian. Pada masa tertentu ada keraguan apakah akan ada senyum terkembang di wajah kalian ketika aku tiba nanti. Memilih, memilah, melanjutkan langkah kepada gang yang lain. Mencari ketepatan, menduga raut wajah nantinya. Menyadari kebutuhan atau mungkin hanya sebatas keinginan yang pernah aku dengar dari celoteh kalian.

Menyediakan waktu sampai dengan mereka tutup, sebagian malah mengusirku karena aku terpaku terlampau lama di dalam gerainya. Pada waktu berikutnya, aku memotret tanpa ijin pemilik hanya untuk memastikan kalian akan tersenyum ketika menerimanya. Menunggu dalam pikuk yang tak wajar untuk memastikan kirimanku berbalas. Menunggu lagi dan lagi.

Bagian lainnya aku tidak dapat memutuskan karena kamu suka keduanya. Bukan sisaan, bukan. Kamu utama hingga aku mengambil keduanya. Lalu aku berjalan lagi tanpa henti tanpa peduli luka di kaki dan tangan yang membeku.

Lalu aku kembali ke kota ini. Kota yang adalah rumahku sendiri. Kota dimana aku menemukan kalian yang aku sebut sahabat. Mungkin salahku tak mengukur waktu dan getaran. Sebab ketika ku cari kalian menyublim pada jiwa baru yang asing bagiku. Kemudian aku hanya diam, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Meneriakan isi hati atas kesendirian. Satu wajahpun tak aku dapati dalam pencarianku kemarin. Tulisan, kita hanya bersua melalui tulisan.

Ada hal apa yang aku lewati, sahabat? Ada apa? Aku sudah merendahkan harga ini di muka kalian. Serendah-rendahnya. Memekikan kerinduan adalah kerendahan yang luar biasa. Menjabarkan rasa merupakan tingkap kesalahan berikutnya. Tidak jika memang benar sahabat, jika bukan?

Thursday, October 1, 2015

dengar, dengarkan!

jika kamu menjadi takut akan aku, itu masalahmu, bukan aku. pernyataanku kemarin, ya hanya untuk hari lalu itu. tidak aku bawa sampai mati, tidak juga hari ini.

kamu pikir, aku seterkesan itu atasmu? oh, jangan terlalu cepat menyimpulkan seperti temali, kawan. aku bisa dasarkan banyak doktrin di kepala dan hati (jika ada) untuk menjadikan semua biasa saja. tenang saja tentang itu. dan, ya, ini bukan sangkalan. ini aku, yang kamu tak sangkakan.

takutlah terus, atau menjadi semakin takut sajalah, aku akan membantu dengan banyak cara hingga ketakutanmu semakin meradang. mari bermain, kawan. mari mainkan!

Monday, September 28, 2015

alter ego

Alter ego, apakah aku cukup terlambat jika mengujarkan maaf? Aku terlampau egois siang ini, lebih parah dari parasit lajang yang mencari keperjakaan atas nama jiwa muda. Aku melewati tingkap cinta diri dan penyelamatan diri. Kamu adalah alter ego, yang semestinya miliki ego; bukan malah aku. Tapi ini apa! Aku malah merampas bagianmu dengan semarak tanpa teriak. Lalu kamu, dengan empati seluas bima sakti membiarkan aku merengkuhnya. Menindas hakmu atas hakku.

Kini aku porak-poranda. Karut-marut dalam pengertianmu. Mejajal kesabaranmu sampai tapal batas. Menyangkal serupanya kita. Aku ngeri padamu, sungguh menakutkan kamu untukku. Kamu terlalu aku untukku. Kesamaan yang selalu aku dengungkan dalam pencarian yang sepanjang pengetahuanku tak pelak aku temui dalam planet bumi ini. Tidak akan sampai pada keadaan itu. Tidak!

Lalu kamu datang dalam diam. Menelisik sudut mataku karena kekaguman tanpa aroma yang berlebihan. Sendiri. Sendiri saja seperti selalu. Kemudian, dalam langkah yang tanpa dugaan, aku remuk-redam. Terdiam seperti kamu namun dalam jeritan lantang. Penyangkalan keras atas kehadianmu dalam yurisdiksiku.

Sangkalan ini sedashyat sangkakala penanda kiamat, melumat aku dalam pekat. Lalu aku menggugat! Menghardikmu tanpa ampun, menyalahkanmu bertubi-tubi dalam bilur yang aku ronakan sendiri. Merenggut masa-masa nyamanku tanpa peluh tapi memeluk. Kamu seharusnya tiada, alter ego. Meski aku ingin kamu ada. Jangan pergi kali ini, jangan. Jikapun ditakdirkan, tolong tunggu aku di persimpanganmu, ketika kamu menyadari bahwa aku adalah kamu yang lain.

benteng bolong

"lagi ngapain? kok tumben turun."

"kemarin terasa dingin, kayak ada angin masuk. makanya turun."

"ini bolong? kok bisa?"

"ga tau, kayaknya udah pakai beton berlapis-lapis, tapi kok bisa bolong ya?"

"siapa yang sandar?"

"orang baik, rasanya… tapi kok pakai segala ngebolongin ya? lagian gimana cara bolonginnya ya?"

"ga terasa sama sekali apa? bener-bener cuma tiba-tiba dingin gitu?"

"iya, aneh ya. gak enak dingin gini. harus turun pun benahin dinding."

"orang baiknya kemana?"

"hmm… gak tau juga. seperti yang lain palingan, sandar aja tanpa sadar."

"sakit ya? sabar ya…"

"iya. pasti kok, tanpa henti."

"saya bawa kopi, nih, pasti gak mau makan kan? cuma mau kopi, rokok, kopi, rokok."

"…"

simpang empat

ah, aku berhenti lagi di persimpangan semacam ini. rasanya hanya memutar saja, setiap sudutnya sudah di luar kepala. tempat ini mirip seperti yang sebelumnya, atau memang aku hanya terjebak dalam kumparan? entah lah yang pasti rasanya tidak menyenangkan. menyesakkan malah.

padahal kemarin telah aku ukur benar semuanya, memastikan aku tidak berbelok ke kiri lagi karena pasti akan bersua pada sudut keji ini. aku mengarah ke kanan tadi, namun ternyata malah lebih memuakan daripada ke kiri. aku muak pada pukauan ini. terlalu sempurna di semua lini. terlalu sempurna, hingga aku terjebak dengan sadar. ini lebih menyebalkan daripada tanpa sadar. sungguh!

lalu apa kali ini? rasa yang nyaris sama tapi lebih menyesahku. terlalu luas ruang geraknya sampai aku tidak dapat mengingatkan syarafku untuk terus terjaga. jangan tertidur apalagi terlena, peringatanku pada aku. sayangnya, ini lebih dari terlena, ini memukau, mencengangkan!

dan aku membiarkan sebagian jiwa ini menikmatinya terus-menerus. ini namanya kekejian atas diri sendiri, tanpa tedeng aling-aling. mampus kau, aku! mampus! tersesatlah dalam kesedihan, Tuhan sudah memberikan tandanya, dan aku malah terpikat pada simpang empat.


Sunday, September 27, 2015

bisik dari Jakarta untuk Amsterdam

aku pergi untuk kamu. ah, tak yakin juga sesungguhnya untuk apa dan untuk siapa. mungkin untuk aku sendiri. hanya lagi-lagi, kamu jadi alasan. aku pergi tanpa berpikir, bahkan tanpa bertanya kepada kamu apakah kamu bersedia menemui aku.

jarak kita tidak dekat, memang, 5 jam lebih dahulu di belahan bumiku dibanding kamu. sejauh sebelas jam perjalanan dalam kecepatan di atas tiga ratus kilo meter per jam. sejauh itu, bahkan aku sejahat itu tidak bertanya terlebih dahulu soal kesediaanmu. jika ternyata kamu tidak bersedia, apakah aku akan luntang-lantung tanpa atap di negeri mantan penjajah? ah, tak apalah, masih ada Tuhan untuk dipersalahkan jikapun itu terjadi.

tanda yang kamu siarkan sepertinya kamu bisa menerima kehadiranku nantinya, setidaknya dalam asumsiku. kekejian asumsi yang memaksakan kamu untuk menerimaku sebenarnya. terlampau, ya?

aku akan hadir tanpa rencana, namun bukan hanya wacana. semoga ini bukan akan menjadi bagian yang menghambat selesainya tugasmu. sungguh, semoga aku dapat membantumu, meskipun dalam diamku yang sering gagap dan tak tanggap.

jenuh, penuh.

aku lelah, aku butuh keluh sampai berpeluh. aku lelah berputar pada rotasi yang sama, aku muak dengan kata-kata yang tak terlaksanakan. aku sungguh pilu menyusun kata, aku lelah bicara padamu. lebih dari itu, aku sungguh lelah mendengarkan. mataku kemudian menjadi pedih hanya dengan menyerap tatap matamu yang selalu keji.

cerita ini seharusnya tak begini. semestinya menyenangkan, setidak-tidaknya cerita ini menebarkan senyum tipis di sudut mata. tapi ini apa? kemurungan tanpa akhir. menghabiskan sisi dunia, melelahkan. setidaknya bagiku melelahkan, menyerap semburat bahagia yang selalu aku pijakkan di pagi hari.

kamu tahu? aku luar biasa pemurung, aku lebih dari negatif. jadi seharusnya kamu bersyukur kepada Khalik ketika aku mau menyerap negatifmu. kebingunganmu menghitamkan hatiku yang dengan penuh kepayahan telah aku putihkan pada setiap malam menjelang subuh merekah. aku bahkan yakin kamu tak akan pernah paham bagaimana sulitnya memutihkan hati yang sudah hitam sejak semula. lalu kamu datang setiap hari dengan kisah bahagia yang kamu muramkan! sarkastik!

jatuh cinta itu biasa saja, jangan dilebih-lebihkan negatifnya.

sudahlah, telingaku sudah bungkam kali ini. sudah sampai pada nadir kali ini. pergi sekarang, atau aku yang pergi!