Saturday, April 24, 2010

perempuan dan ayahku

Perempuan, apakah yang kamu katakan pada ayahku ketika kamu bertemu dengannya? Adakah kiranya rajukan atau senyum manis pengikat tersungging di manisnya parasmu kala itu. Kiranya kisahkan padaku seberapa kuat sentrifugal yang terjadi antara kamu dan ayahku, dimanakah ia berpusat, ayahku atau padamu? Sebab sepanjang pengetahuan nalarku sampai dengan masa ini, selalu pada dirimulah kesalahan itu aku hujatkan.

Adakah niat memiliki ayahku saat kamu perdana mengenalnya, adakah keinginan kuat dalammu yang menyesatkan kamu untuk membuatnya berpaling daripadaku? Seberapa dahsyatkah upayamu melarutkan kesetiaannya pada sakralnya pernikahan terjadi sesaat setelah kamu mengenalnya? Terlintaskah pada sisi perikemanusiaanmu paling dalam akan kehadiran aku di antara kamu dan ayahku? Bukankah kamu juga berayah atau setidaknya pernah berayah? Pula kamu berperan serupa aku dalam pohon keluargamu? Mungkinkah kamu pernah tersakiti terlampau parah sedemikian rupa sehingga kamu sampai hati padaku?

Atau, sungguh kamu sang empunya pasangan rusuk ketujuh yang terus dicari oleh ayahku dimana satu rusuknya bersemayam? Kamu yang tanpa tipu muslihat mungkin diwajibkan hadir di hadapannya agar ayahku sungguh menyadari kehadiran belahan jiwanya, seperti itukah peranmu, perempuan? Dapatkah kamu perlihatkan irisan garis nasibmu dengan garisku sehingga aku dapat mengerti peranmu atasku? Sungguhkah cinta sejati itu ada padamu dan ayahku? Lalu, mengapa perempuan yang aku sebut ibu juga memainkan lakon dengan ayahku? Dan, sebagai tambahan pengetahuanmu, perempuan, bukan ibuku yang tersakiti, melainkan aku!

Mungkinkah ayahku yang melarutkanmu karena tatapan teduhnya, karena bujuk rayunya, karena keberadaannya bersamamu dalam satuan waktu yang sama, dalam frekuensi yang sama? Atau, ayahku menjebakmu dalam pernyataan-pernyataan ambigu yang digubahnya sehingga kamu tak kuasa mengelaknya? Hal apa yang memberanikan jiwa raganya untuk pergi dariku dan melanjutkan sisa hidupnya bersamamu? Dan, kesemuanya terjadi pada saat ia hampir setengah abad menapaki jejaknya di bumi ini? Ironis...

Hai, perempuan, sungguh aku tak ingin menuduhmu berbuat kejahatan. Sungguh aku tak berniat mempersalahkan kehadiranmu dalam garis hidupku. Sungguh aku menggenggam erat jutaan pertanyaan tak terjawab pada cerebellum dan cerebrum ini. Serta, sungguh ucap terima kasihku ini padamu lebih banyak dari jumlah pasir di laut dan bintang di angkasa, sebab tanpa kamu, aku tidak akan menyadari begitu hebatnya cinta ibuku terhadap aku sehingga ia bertahan demi aku sampai jantungnya berhenti berpendar.

Tuesday, April 20, 2010

kamu dan kisahmu

tak pernah cukup pengetahuan hidupku akan kamu, sungguh tak akan pernah cukup. sebut saja dalam satu putaran syamsiah perjumpaanku denganmu belum mampu dikatakan setengah putaran. namun dramatisme kisah kasihmu telah mengabiskan energiku untuk terus mendengarkan. seakan sebuah alur pada telapak tangan, semudah itu hilang dan muncul kembali seiring dengan pemanfaatan dan perawatannya.

kamu dengan diandra saat itu, banyak tawa banyak tangis.. meskipun saat kamu dan diandra terlintas dalam benak, tanpa tuduhan untukmu, setidaknya ada rasa lain dengan bianda. jangan tanya padaku dari mana asumsiku ini, sebut sahaja asumsi liar atau jika mampu mengawamkannya, bahkan manusia bodoh di sekitar kita tanpa keraguan berarti dapat melihat tanpa selubung bahwa ada tatapan berbeda antara kamu dengan bianda. hiperbolis tawamu padanya, kehadiran ia setiap detik tepat di hadapmu, caramu bersapa dalam kesempatan sepersekian detik dan romantisme sentuhan kecilnya padamu yang kamu tanggapi dengan cara sedikit lebih dari wajar.

sampai pada suatu pagi, pagi yang sama dengan pagi sebelumnya.. pagi yang wajar seperti pagi lainnya untukku.. tapi sepertinya akan jadi pagi yang luar biasa setelah melihatmu dengan awan mendung berkecamuk dalam raut. lampiasan kisah menyerbu tiada henti, memaksa genderang telingaku tak berhenti bertalu tanpa kesempatan untuk menghela napasnya. kisahmu kali ini kembali pada diandra, ia menyelesaikan tugasnya untuk bersamamu.. sebentuk perang padri mungkin telah terjadi di bilangan paling barat pulau jawa ini, entah sehebat apa pertempuran itu, yang sepanjang pengetahuanku hal itu antara kamu, diandra dan bianda.. perebutan kekuasaan atas hati mungkin? atau hanya setampuk gengsi dan nafsu duniawi?

atas peperangan itu dapat aku jewantahkan hasilnya, kamu dan bianda semacam dua insan asing tak saling kenal, dan bianda hanya membungkam dalam tiap kesempatan bertemu tatap.. pelik rupanya. dan kamu, hanya meninggalkan ia tepekur di sudutnya, dalam yurisdiksinya.. tetap melenggang lekat dengan diandra. smoga kali ini tidak ada lagi dramatisasi yang berperan..

belum sempat aku menelan liur ini, kembali kamu berurai kisah.. pemaksaan kehendak kali ini. serupa siti nurbaya yang dibuat jadi menikah bersanding dengan sang dato maringgih.. kisahmu tak kalah menantang dengan pemaksaan menjalin hubungan dengan andara, dan mewajibkan pengakhiran jalinan asmara dengan diandra.. ciptaan kisah apa lagi ini darimu? dan kembali aku hanya dapat mendengarkan dengan seksama.. tanpa keluh tanpa saran.

andara, manusia sempurna di matamu kali ini.. tiada cacat cela, sempurna dengan dukungan orang tua.. lahir dari derajat yang lebih tinggi, lengkap dengan arogansinya. tetap juga kamu nyatakan ia sempurna dalam pengelihatanmu.. habis sudah diandra kau lewatkan dengan jeriatan diamnya, kini kau berkisah dengan andara.. tiap detik, tiap menit, tiap satuan waktu hanya andara mewarnai tawa dan sipumu. duniaku bertanya-tanya, akan berapa lama kali ini kamu dengan andara? sepenggal kisah tanpa arti akan berulang? atau akan semudah seperti kamu menghempaskan diandra?

janji-janji lembaga perkawinan kamu bumbung setinggi angkasa dari bumi, dalam hitungan satu per empat tahun kamu nyatakan akan mengakhiri kesendirian dengan andara.. masih terlalu belia pikirku, sehingga mudah berkata tanpa pikir tepekur. dan kemudian, kesah resah datang tanpa perintah, keluh dan murung kembali menghantuimu oleh sebab aroganisme andara.. apalagi ini, hentakku dalam diam. sedang kembali merapat pada pelabuhan diandra rupanya? atau ada lain manusia yang menyeret hatimu dari andara?

kisahmu pun terus bergulir kembali pada diandra, diselip tiap detik menghenyakan jiwamu pada bianda.. segalanya kembali pada rotasinya dalam waktu yang sangat singkat. sampai kemarin kamu benamkan diri dalam pelukku, meronta.. menangis.. menyatakan tak ingin jatuh cinta pada manusia manapun. dikhianati oleh diandra ucapmu, lelah dengan agresi bianda dan marah pada dinginnya andara.. sinetronisme apa lagi ini? karena tak seberapa waktu, alat komunikasi nirkabel yang tergeletak di mejamu berbunyi.. seiring dengan wangi semerbak menyeruak dalam ruangan.. ooohh,, windri hadir dengan senyuman khas mempesonamu yang sekejap kemudian menghapus air yang menetes tanpa henti dari matamu tadi..

dengan windri.. akan dibawa kemana kisahmu kali ini? dan drama apa lagi yang akan kamu hadirkan mengenai pengakhirannya? dapatkah aku menjadi tokoh antagonis mulai saat ini? karena aku sungguh lelah memerankan protagonis baik hati dan peyaran yang bijaksana.. dan sungguh aku lelah,, sangat bahkan.. ingin menemukan apa kamu sebenar-benarnya? karena padakulah rusukmu berada..

Friday, April 16, 2010

dalam benak

dalam suatu rasa yang tak berasa, dalam gegap gempitanya hubungan tanpa nama karena ia tak sanggup memberikan nama atas hubungan yang dijalaninya. Oleh sebab hubungan tak bernama ini, ia harus membungkam dari dunia nyata, berharap tetap berada dalam fananya dunia yang dinikmatinya saat ini. sangkalan demi sangkalan dilakukan untuk menyelamatkan rupa, menyelamatkan segenap jiwa dan diri dari kefasikan. kefasikan pada umumnya yang dikenal para anak manusia..

sempat diberinya perlawanan dalam hitungan tiga kali, namun akal sehatnya seakan mati.. patah sang tunas dan merajam ke dasar bumi tanpa bisa dicari. kembali ia berkutat dalam lesakan kisah tak bernama, dijalani, berharap sang akal masih beriringan dengan cinta. kembali ia bergeming dalam gamang.. hanya mengerti tawa yang setiap detik diraihnya, hanya memahami senyum yang mengukir manis rautnya setiap kali sudut pengelihatannya menangkap sang subjek.

jika aku tanya apakah ia sedang sungguh jatuh hati pada sang subjek, kembali ia tertegun tanpa kata.. ragu, kembali ragu apa rasa kali ini benar cinta? apa rasa kali ini benar mewakili sang hati? namun segala rasa ini sunnguh berbanding terbalik dengan kecintaan awam. jika ia membebaskan, rasa ini lebih sering mengekang.. jika ia melepaskan, kali ini lebih jamak menjadi adiktif.. jika ia seharusnya rendah hati dan memaafkan, kali ini malah banyak rendah diri ditemani tengkar dalam tawa.. mungkin memang ini bukan cinta sebenarnya, tapi ini cinta baginya.

sang subjek hanya dapat bersamanya dalam benak, dalam periode masa ini.. tanpa diumumkan atau diketahui manusia lain.. mereka jelas akan mencaci dan ia tak kuasa menahan caci yang akan menerpanya kali ini. sedikitnya mungkin mereka akan berdecak mengeluh, menggelangkan kepala atau menutup muka daripadanya.. menyalahkan, menyudutkannya.. alibi terbaiknya atas penilaian keseluruhan itu hanyalah hati.. pembenarannya untuk menyalahkan sang hati, menyalahkan waktu dan berharap semoga dapat memetik hikmat atas fase hidupnya kali ini.. hikmat? adakah hikmat kali ini??

hikmat atas suatu legam hitam yang menyeruak membabi buta di tiap malamnya.. hikmat yang menghitamkan langkahnya pada usia yang tidak dapat disebut belia, dan jejak langkahnya akan semakin kelam karena cintanya kali ini.. dapatkah ia peroleh hikmat? atau sang fasik akan terus menggelayut hebat pada jiwanya? ia tahu pada masanya ia harus memilih, memilih untuk beroleh hikmat atau menikmati kefasikan yang diukirnya dalam jiwa..

sungguh ia adalah manusia berlogika yang jauh lebih banyak daripada hati, lebih banyak memiliki akal sehat dan sedikit emosi. ia sungguh jauh lebih pintar dan cerdas dari pada umumnya, tega.. sangat tega akan segala hal yang terlalu emosional, dramatisasi atau hiperbolis. ia bahkan penyaran yang baik, baik dalam kesungguhan.. walau dalam masalah sendiri kali ini, serasa ada jiwa lain yang menjebaknya sehingga ia tak serupa biasa, sedikit berbeda namun tetap sangat keras yang hanya akan mengalihkan pilihan setelah terbentur hebat dan terjatuh.. baiknya aku biarkan ia serupa itu, bagian dari pendewasaannya mungkin..

dituturkannya bahwa ia hanya inginkan ini, hanya ingin senyum dan tawa.. bahkan ingin tengkar dan marah dengan sang subjek.. hanya ingin melewati sang malam dalam diam, menikmati terpaan sang angin bersama secangkir kopi, secangkir teh dan banyak batang rokok.. berbincang, bergunjing dan kembali tersipu dalam tenang.. menatap sang fajar bersama yang menyelinap menghangatkan dinginnya subuh setiap hari. ia hanya ingin ada dan keberadaan, tanpa gugatan yang lebih banyak dari itu..

dan apabila aku tanyakan padanya akan seperti apa akhir dari buku kisahnya kali ini, dengan senyum terselip getir ia akan menjawab.. "dan hanya buku ini yang tak pernah aku akhiri"