Saturday, August 29, 2015

dari aku untuk si kamu

aku menunggumu di sini, tidak tahu juga dalam rangka apa. menunggu saja, membiarkan harapan tergantang saja. menantimu lagi, tanpa janji. aku tahu kamu tidak akan tahu. penantianku akan kamu adalah hal yang menyenangkanku dalam waktu-waktu ini. biarkan saja aku menikmati keberadaanmu tanpa kehadiranmu. itu saja sudah membuatku tersenyum mengembang.

jangan datang, jangan hadir. karena banyak dari kamu yang nyaris membuatku cemas. membuat duniaku berhenti bergerak tanpa sebab. membuatku gugup dan tercekat, yang sangat aku harapkan tak terlihat pada binar mataku. semoga kamu tak membacanya. jikapun kamu tahu, tolong diam saja, jangan nikmati aku yang tersipu. 

aku menunggumu lagi, seperti selalu. tanpa janji. sebagian jiwa ini semacam mencobai Tuhan, menjajal Semesta tanpa kata. belakangan ini, aku menunggumu untuk tidak hadir. tak tahu juga mengapa begitu. hanya memastikan Tuhan tidak selalu memberi walaupun hatiku menuntut.

jangan datang kali ini, aku terlalu takut melihat percik bintang terbakar di matamu yang sesekali sengaja kamu perlihatkan. membiarkan aku mengetahuinya. aku tidak suka itu. tidak seperti itu seharusnya. kamu tahu aku dapat melihatnya, lalu mengapa kamu biarkan itu?

jangan hentikan langkahmu, bukan padaku. jangan padaku. aku hanya akan melukaimu secara berlebih-lebihan. meninggalkan rongga yang abadi pada bilik kanan dan kiri. menyisakan serambi yang kepayahan dalam penyembuhan, jikapun kata tahir itu benar ada. sungguh, aku hanya seorang pembuat luka yang tak pernah pantas untuk dimanusiakan. jangan lebih dekat dari ini, tapi biarkan aku menantimu dalam kelamku karena hanya itu yang membuatku tetap ada. 

pasir

semerbaknya dapat aku kecap walau jaraknya sejauh fatamorgana di hamparan gurun pasir yang renta. jiwaku masih menikmati hadirnya dalam tahapan ini. walau kerusuhan di sana-sini kadang menghujam kejam dan kekawatiran menyeruak dalam waktu-waktu tak terduga. terus saja aku bertahan dalam terpaan hawa panas gurun yang kian lama kian menyerap cairan tubuh. sejajar dengan perolehan dehidrasi pada asaku, menyesakkan.. sungguh menyesakkan.

jejak tapakku tak lagi serupa, demikian cepat menghilang disapu angin pembawa butiran pasir. bahkan aku tak kuasa mengingat bentukan jejakku satu langkah yang lalu. tak pantas rasanya menoleh ke belakang, sama tak pantasnya untuk memikirkan sebentuk pijakan kakiku pada satu langkah berikutnya. aku hanya dibolehkan menelaah sejenak sisa pijakan ini untuk kemudian meninggalkannya tanpa terdeskripsikan, tanpa sempat menggelayut di bawah sadar.

dengan hamparan pasir hampa ini, sungguh aku tak memiliki masa lalu, pula tiada harap akan masa depan. gurun ini hanya menyediakan angin nan panas memecahkan kulit, memberiku banyak matahari tanpa aku pinta dan dengan setia menyediakan kefatamorganaan di pelupuk mataku.

hatimu, kawan

ia menunggu di sudut pintu dalam sabar. sedikit sabar, padahal banyak sadar. ia termangu meratapi teknologi yang digenggamnya, sering dijelajahi tanpa sadar entah ingin mencari apa. lagi-lagi ia menunggu. sedikit keberanian untuk memulai, hanya sebatas mengejar nama lalu menelepon saja, ia ragukan. termakan pemikiran sendiri rupanya, terlalu takut disebut pengganggu, termakan gengsi yang meledak-ledak.

logikanya berpacu dengan hati, memakan hatinya sendiri. takut akan penghakiman, katanya, atau bahkan takut kekasihnya malah kemudian menjarak karena terganggunya. asumsi, asumsi dan asumsi saja. asumsi yang banyak tidak terbukti sepertinya. namun, terus saja ia telan bulat-bulat isi kepalanya tanpa bernegosiasi dengan isi hati.

sibuk sekali ia menanti sang kekasih. terlalu sibuk sampai lupa akan keberadaan manusia lain di sekelilingnya. lupa bahwa kami sedang tertawa, bersama-sama seharusnya. lupa bahwa detik ini seharusnya dinikmati. nikmati pedihnya penantian tanpa ujung. namun, kenapa harus menanti ujung? mengapa tidak kecapi yang ada saja? berapapun sakit dan senangnya, bagaimanapun ujung dan pangkalnya. bukankah yang penting adalah hari ini? karena besok adalah urusan lain, dengan bagian hati yang lain.

jangan kawatir, kawan. karena kisahmu atas sang kekasih juga akan lewat nantinya. sakitnya pasti ada. aku sudah berujar sejak awal, sakitnya pasti abadi, namun sakit itu pula yang akan menambah kosa kata dalam kamus hidupmu. nikmatilah.

Sunday, August 16, 2015

mengejarmu

aku tahu aku ada dimana. aku tahu aku ingin apa. aku nyaris tahu segala sesuatu tentang aku. maka, aku menjadi aku. namun, kadang ada masa dimana aku lelah dengan keakuanku. jenuh, jenuh saja.

seperti saat ini, rupanya. jenuh saja dengan rutinitas. padahal, segala hal yang dilakukan adalah sebatas rutinitas. jika pun ada hal baru dan dilakukan kembali, itu pula akan menjadi rutinitas baru. sesederhana itu, hanya sebatas pengulangan. mungkin, yang membedakan hanya manusianya, siapa lawan tandingku, atau jangan sebut lawan tanding-lah, rasanya, ada unsur kompetisi di kata itu. baiknya disebut rekan saja. rekan baru, dengan latar belakang menarik yang tentunya menambah wawasanku.

itu saja.

kala itu terjadi, aku akan menjadi terlalu fokus, terlalu rutin. sampai kembali pada rutinitas dan bersua dengan si jenuh. pengulangan.

sebut saja kala itu terjai saat ini. ketika pengenalan dan percapakan membukakan tingkap-tingkap sadar. seperti paru-paru, yang bersedia (atau mungkin wajib) membuka tingkapnya satu per satu sembari menyaring kumpulan udara, memurinkannnya menjadi O2 dan kemudian menghembuskan kembali keluar unsur lain yang, ya, bisa disebut tak termanfaatkan oleh tubuh.

namun, paru-paru bukan aku. analoginya bisa tepat pada beberapa hal tapi tak keseluruhan. ada bagian pengejaran yang selalu aku lakukan. bukan untuk memiliki, bukan. jangan terlalu percaya jika kamu merasa aku mengejar, berlari padamu. sengaja aku kesankan demikian untuk membuat rekan merasa berarti, diinginkan, dan bahkan sedikit "takut aku miliki".

tidak ada bagian posesifitas dalam pengejaranku. semudah karena aku tak ingin dimiliki. maka, berlaku sebaliknya. jadi, kamu, jangan terlalu termakan asumsi atau penghakiman sendiri di kepalamu atas pengejaranku. aku bahkan tak berminat sama sekali untuk tersandera dalam fase itu.

itu saja, car.

    

Tuesday, August 4, 2015

Maaf, sahabat.

Aku meninggalkanmu karena aku cemburu. Harusnya aku jabarkan ini sejak mula-mula. Aku cemburu karena suatu malam kita duduk bertiga. Namun yang bicara hanya dua. Dua itu selain aku. Aku sungguh cemburu sejak itu.

Lalu aku pergi dari kamu untuk menghindari amarah. Supaya aku tidak menghardik setelahnya. Supaya aku tidak mengumpat dan membiarkan kalian mengerti aku cemburu.

Aku berlari untuk sembunyi. Hanya sisa gerutu dalam senyap dan mungkin tangis dalam alunan sigur ros. Aku cemburu karena aku yang sengaja mengenalkan kalian. Aku cemburu akan akibatnya.

Seharusnya aku yang di situ. Bukan malah menatapi cengkrama kalian yang makin intim tanpa jeda. Menutupi seakan aku mengerti apa yang kalian diskusikan.

Aku pergi saat itu juga. Menghindari kebersamaan. Karena hanya itu pengetahuanku jika patah hati. Sendiri. Sendiri saja, melewatkan segala bentuk kemesraan kalian.

Aku tahu akibatnya, segala tak akan lagi sama. Aku tidak lagi menunggumu di tangga itu sambil mengunyah bakwan malang abang-abang yang dipisahkan pagar kawat. Aku tak lagi datang malam-malam dan menetap di 33. Aku tidak lagi mengucapkan "berangkat dulu yaa, ayoo kamu bangun siap-siap", sementara kamu masi separuh sadar dengan hidung mampat. Kita tidak lagi berlama-lama di toko mini untuk bicara apa saja tanpa syarat.

Aku tahu konsekuensinya, aku akan merindu sejadi-jadinya. Karena semua tidak lagi sama. Aku tahu aku kehilanganmu, bahkan ketika semua alasan ini sudah panjang lebat aku jelaskan. Kita tak lagi sama. Aku mengerti akibatnya, kecemburuan adalah kematian. Maafkan aku, jika masih pantas memohon, sahabat.

Benteng

Benteng ini serupa mercusuar. Tinggi menjulang tanpa pintu dan jendela. Di dalamnya punya jutaan anak tangga, entah untuk menuju kemana. Sengaja aku buat semacam itu agar bahkan semutpun undur diri untuk mencoba naik.

Benteng ini sempurna tanpa pengusik dari luar. Meski di dalam kerap gaduh, namun aku tahu pusat gaduh itu dari mana. Kegaduhan yang tetap terukur karena tanpa aksi reaksi dari manusia lain. Nyaman.

Sayangnya benteng ini lupa aku pasangi selaput anti bebauan. Sehingga kerap ada saja yang menyesap masuk. Meninggikan rasa penasaranku untuk sekadar menembuskan pandangan pada asal bebauan. Sampai saat ini, tetap tak terusik karena tiada yang istimewa. Manusia hanya lewat atau bahkan menyandarkan diri pada dinding luar. Lelah berjalan mungkin, lelah menapaki langkah selanjutnya. Namun kemudian manusia itu akan kembali melangkah. Kembali melangkah.

Aku di dalam sini menjaga yang perlu aku jaga. Mungkin bahkan lebih tepatnya menghindari nyata. Karena ini nyamanku, tak terusik, tak mengusik.

Aku hanya takut jika nanti dalam satuan waktu kemudian ada manusia lain yang berhenti melangkah pada benteng ini. Atau bagaimana jika ia berucap bahwa benteng ini adalah tujuannya sehingga hentilah langkahnya!

Baiknya aku pikirkan reaksiku lain waktu, karena tiada kausalitas tanpa reaksi, bukan?