Monday, October 31, 2011

kicauan

Lain kali kalo cabut dr training akan gw lakukan sndiri, tanpa nyetanin sapapun. Janji. Kecuekan gw ini bener2 berdampak buruk bwt sobat2 gw.

Lebih ga enak lg krn mrk bener2 takut + ga enak sm ibu itu, sdangkan gw masi nyari tau dimana salah gw. Apa namanya si dene kl bkn Egois!

Mrk peduli dan harus peduli krn mrk kenal sm ibu itu, gw? Ahh.. Bener2 MT gw jumat kemarin. Kalo gw bs apus smuanya. Gw apus pasti.

Gw cm ga mao ngebuat mrk susah, dan apa.. Jelas2 mrk susah skrg jdnya.. Sahabat yg baik kah gw?! *terjun dr lt. 21 gedung utama* :'(((

And I'm humbly sorry for what I've done that impact you both directly, mased + paldo :'(((

Ahh ngerasa bersalah sm temen itu berjuta kali lebih nyiksa drpd sm org yg ga gw kenal. Huhuhuuu.

*balada si introvert (atau pengecut) yang ga bisa ngomong langsung dan lebih milih buat berkicau di twitter bahkan tanpa mention orang2 yang dimaksud, padahal mereka punya account twitter*

Friday, October 28, 2011

istana pasir

Arsitek ini memberanikan diri keluar dari benteng bertingkap yang dibangunnya sendiri. Benteng yang ia dirikan dengan penjagaan ratusan kali lipat, dengan bata terbaik dan pondasi terdalam. Meski tanpa jendela dan pintu, benteng itu berhasil memproteksinya dari ganasnya dunia luar. Membuatnya merasa nyaman pada zona kenyamanan, tanpa perlu pengetahuan akan manis getirnya sapuan ombak yang dibawa arus dan kemudian teredam di pantai putih itu.

Arsitek ini akhirnya memutuskan untuk mencumbui amplitudo suhu di luar. Ia membawa sebuah kotak tertutup rapat bahkan kedap udara dan kedap cahaya. Meletakkannya tak jauh dari hamparan pasir putih dimana ia kini berpijak. Dengan ragu arsitek ini mengumpulkan butiran pasir yang tak terjumlah, mencampurnya dengan air laut yang menyapanya. Memadatkan dan memampatkan pasir putih menjadi bongkahan-bongkahan yang sempurna.

Dengan sejuta ketelitian akan suatu bangunan, arsitek ini mulai menyusun bongkahan demi bongkahan. Menambahkan dan mengurangi di sisi sana-sini, memastikan istana pasirnya sempurna berdiri meski tanpa pondasi. Meronggakan titik pusat kerajaan pasirnya dengan perhitungan luas tertentu.

Lalu arsitek ini meraih kotak yang dibawanya serta tadi, membukanya dengan air muka kekhawatiran yang melebihi batas normal. Meraih hati yang tersimpan didalamnya, dilampirkan dengan senyum pedih, ia meletakkan hatinya yang selama ini terlindungi dalam kokohnya benteng. Mempercayakan hatinya pada istana pasir yang dibuatnya tanpa pondasi, meletakkannya tepat pada pusat istana pasirnya, tanpa terjaga apalagi terlindungi.

Sungguh arsitek ini dengan seluruh kesadaran akan semesta telah mengetahui rapuhnya sang hati. Sungguh pula ia tahu bahwa kerajaan pasirnya akan tersapu ombak bila saatnya tiba, saat langit menjadi pekat dan pasang memburu ke pantai. Meluluh-lantakkan istana pasir ini tanpa sisa, menyeret hati yang diletakkannya serta. Meratap pada kepingan hati yang koyak, tanpa satupun anak manusia yang mampu menjadikannya kembali utuh.

Pedih. Sedih. Namun arsitek ini akan tetap mengumpulkan serpihan hatinya, kembali membawanya meski tak berwujud. Lalu ia akan kembali pada benteng kokohnya tanpa keluh. Kembali menyusun serpihan hatinya meski wujudnya tak akan pernah sama seperti sebelum.

Setidaknya ia mencoba, pernah mencoba.. meski satu-satunya kepastian hanyalah ia mempercayakan hatinya yang rapuh pada sang istana pasir yang sejak permulaan akan hancur tersapu laut.

Tuesday, October 25, 2011

jejakmu



aku berhenti kali ini, bibir pantai ini terlampau panjang bila aku menoleh ke belakang, pula terlampau pedih jika aku menatap ke depan. kini aku tertunduk, meratapi perihnya telapak kaki yang kadang tersapu buih ombak, namun lebih sering menapaki pasir nan panas melukai jemari. penampang jejak yang lalu masih tersisa pada wajah pantai, menyisakan jejakku yang tak terguyur air asin itu. sementara jejaknya sirna digulung angin darat menyertakan kembali pasir panas pada sisa tanda kehadirannya.

sungguh aku tidak meradang, kami berjalan bersama dalam hari yang lalu. sungguh rekam jejak-jejak itu semestinya empat, tak hanya dua. sungguh kemarin itu nyata dan bukan fatamorgana. ia menemaniku di sini, menyusuri pantai yang tak berkesudahan ini. disertai gelak tawa dan perselisihan, dikawani nikotin dan pelukan, sesekali saling menghindar untuk tetap berjarak pada kenyamanan.

lalu ia hilang tanpa pesan, kemudian ia pergi dalam lengahku. mungkin seharusnya aku tidak terpulaskan malam tadi, seharusnya aku tetap terjaga sambil menelusuri lekuk ketegasan pada rautnya dan setidak-tidaknya seharusnya ia masih di sini. di sini bersamaku menjalani batas darat dan laut yang sungguh tak bersahaja.

kejapnya melebihi kecepatan satuan cahaya, ia hadir saja serupa ia pergi saja. ia menorehkan arti mimpi, mengajariku bermimpi.. ia memandang pada seluk, tak hanya sedangkal permukaan.. ia memuja harap tanpa melecehkan, menelusup dengan segala kemampuan yang diberikan semesta padanya.. membunuh tanpa mematikan.. menyeruakkan alter egoku tanpa permisi dan berjaya tanpa sempat aku menggugat.

ia, jejakku yang lain, yang seharusnya masih tertoreh tegas pada himpitan pasir ini. jejak yang menggenapkan dua menjadi empat. semestinya.. seharusnya, setidaknya dalam kuasa khayalku.

Wednesday, October 12, 2011

tengkar

bukankah kita sudah sepakat untuk bertengkar malam ini! bukankah kamu yang mengaminkan permulaan pertengkaran ini? dan aku hanya mengikuti arusmu, alunan pertikaian yang semula kita titih bersama tadi. tapi lihat sekarang, lihat ini.. kamu membungkam di sana. meninggalkan aku dalam keganjilan asa tanpa petunjuk.

kita berjarak puluhan kilometer saat ini, namun amarahmu menghardikku tepat pada bilah mataku. mengiris jera kesunyianku dalam kepadatan yang sama, menyesahku dalam tatap dinginmu tanpa ampun. ribuan huruf sudah aku torehkan dengan penuh makna, sebuah penjelasan yang sungguh aku susun tanpa cela nyata dari dalam jiwa. lalu apa jawabmu? lalu apa katamu? tidak lebih dari diam membeku.

kita sepakat untuk saling menjatuhkan tadi, kita sepakat untuk saling memahitkan tadi.. lalu mengapa aku yang tersudut kali ini? lalu mengapa jerat kepanikan akan kehilanganmu menyeruak tanpa pesan sebelumnya terhadapku? lalu mengapa kamu tetap saja membisu disana, membungkam dalam sekam. sungguh jika jarak ini dapat aku eliminasi dalam sekejap sapuan mata, akan aku lakukan. merengkuhmu meski dalam kesunyian di antara kita, walaupun hanya sebuah penegasan bahwa kamu tetap ada di sini, setidaknya hanya itu yang dapat aku gugat. sebuah gugatan tanpa alas hak atas keberadaan kita.

menghardiklah, mengumpatlah, buat aku paham akan kebekuan ini. kepanikan ini telah beririsan dengan kedukaan tanpa batas. menelusup tanpa arah pada batang otakku dan mematikan aliran darah pada vena dan aorta. keduanya mengakibatkan bilur-bilur kejujuran yang lama aku mampatkan ini terserabut tanpa seijinku. melepaskan harga diri yang aku junjung sejauh dasar bumi dari nirwana. menumpahkan tiap serpihan hati yang tersembunyi dengan manis di dalam rongga dada, melukaiku ketika kesemuanya tertumpah padamu.

hina saja aku setelah pengetahuanmu kini sempurna terhadapku. terbahaklah atas pengakuan-pengakuanku ini. lihat aku yang kini tertunduk dalam cekam yang membiru, menangisi diri sendiri karena telah melampirkan rapuhnya hati ini tepat pada keseluruhan dirimu.

Monday, October 10, 2011

chocolate molten cake

"hey, kamu dapet salam dari chocolate molten cake, jam 6 ya!"

pesan melalui jejaring sosial itu terbaca tepat saat notifikasinya bergetar, mengubah kelip cahaya hijau menjadi merah. kecanggihan teknologi ini sungguh dapat mengalihkan skala prioritas, kicauan jejaring sosial ini terasa lebih penting dibanding rentetan pesan lainnya. hebat.

kemudian demi rentetan pesan itu aku merunut padatnya jakarta, duduk termenung pada kotak besi raksasa sembari melemparkan titik fokus pada gemerlap warna merah berderet tanpa putus. pendarnya kadang menusuk mata, walau tak terlalu menyakitkan jika disejajarkan dengan bebunyian yang dihadiahkan para penemu pada kuda besi serta umpatan kasar dari liang tenggorok para pengendaranya. ya, inilah jakarta.

sampai juga akhirnya aku pada pintu merah itu, menunduk sedikit sebelum membukanya, memastikan pengirim pesan sudah menunggu dengan buruk, seburuk ketepatan waktuku pada janji-janji pada umumnya. ia mengangkat pandangan ketika aku membuka pintu, tersenyum penuh makna dengan gelengan kecil yang sengaja dibuatnya.

"telat.. yah namanya juga kamu, kalo gak telat bisa kebalik malah semesta"

aku melempar setengah tubuhku pada kursi hijau itu, mengaduk-aduk tas mencari pemantik api dan sekotak hijau penenang degup nadi yang berlebihan. membakarnya dan memulai percakapan ala kadarnya namun selalu menarik. tertawa lepas tanpa gugatan, menertawakan jagad raya yang tak berkesudahan. bersamanya memang selalu luar biasa.

"ada kabar apa? masih di pegadaian atau beneran kekunci di benteng?" ujarnya sambil mendesakkan cake cokelat dan es krim bersamaan ke dalam mulutnya. ah, masih juga terkait dengan hati yang dipertanyakannya. anggap saja ini bentuk kepeduliannya, sungguh bukan suatu sindiran. ia selalu berhasil menemukan jalan yang sempurna untuk menyelidik tanpa interograsi yang menyesakkanku.

"gw cuma minta sama Tuhan buat ngasih semua fakta kayak yang gw mao. sesimpel itu kok." setelah jawabku itu, tatapnya makin menyelidik dengan perlahan menelaah tiap kata yang telah aku lontarkan. "dan pasti dikabulin kan sama Tuhan lo?" selalu ada kata kepemilikan darinya jika menyangkut masalah keTuhanan. ia unik.

kembali aku meretaskan tingkat keangkuhanku kali ini, menggugurkan idealisme bersama yang diprasastikan dengannya. tertunduk dalam bisu kesadaran sempurna, menjabarkan kenikmatan akan kesalahan yang sedang aku sesapi perlahan. penjelasanku tak akan pernah selesai dalam hardiknya, dengan kenyamanan tertentu aku sungguh paham akan kelalaianku. perilaku 'ku kali ini sungguh bukan kelalaian, ini lebih pada kesengajaan yang didasarkan pada fakta-fakta ilmiah tanpa bantah.

"tapi gw gak pake hati kok, beneran deh, sumpah!"
"haha gw pikir malah udah dari awal dipake hati lo.. haha denial"
"isshh.. jangan baca gw lagi deehh. gak suka."

gelaknya menutup percakapan, membiarkan aku terkesalkan oleh tebakannya yang tepat. untuk kesekian kalinya, selalu tepat.

Tuesday, October 4, 2011

kabarnya, nantinya


Malam ini saya diiringi sebuah kabar kematian. Satu lagi nyawa manusia yang nampaknya telah lama gerah terkungkung dalam raga yang usang pergi begitu saja. Tanpa pesan dan tanpa alasan. Ribuan bahkan jutaan jerit doa menyertai pembebasan nyawa itu. Dalam gelak tawa ia menerawang menuju suatu tempat yang umumnya dinamakan surga, kerajaan tuhan.

Dalam keriaannya, saya tersentak. Dalam pelepasannya, saya termangu. Bercermin kaku pada segumpal nyawa yang masih menggelayut dalam rongga dadanya, yang membuatnya dikatakan hidup pada fana ini. Merayap dan beringsut-ingsut mencari cahaya dalam kebumian. Mencari nyaman, mencari cinta, ujarnya.

Nanti, kabar kematiannya mungkin akan disampaikan oleh angin malam yang menusuk rusuk, atau mungkin tercerna begitu saja oleh angin muson pembawa penghujan. Berita pelepasannya mungkin tak akan tiba tepat pada waktunya pada kedua bilah telingaku. Tetiba ia telah terendam dalam gundukan bumi yang arogan, menelannya tanpa ampun. Tanpa belas kasih akan pengetahuan atas clostrophobianya.

Dalam sejuta semesta ini, saya akan menerimanya jika hanya tersisa pusara. Sungguh sebab nisan yang akan tertorehkan namanya akan meniadakan dosa diantara saya dengan dia. Sungguh melegakan daripada menemukannya terkapar tanpa nama, tergeletak dalam ruang gelap kamar kematian pada rumah bersarang penyakit, atau bahkan terkubur bersama puluhan manusia lain tak bernisan. Tak dikenal.

Jika dapat saya memohon pada sang khalik, biarkan saya mengabdi satu kali dalam ritme sang bima sakti ini. Pinta saya hanya agar mengantarnya pada peraduan terakhir di planet biru ini, jika tiba waktunya. Hanya sebuah pengabdian untuk seseorang yang memberikan degup pada jantung ini, untuk seseorang yang disebut ayah, dimanapun ia berada saat ini, detik ini.