Tuesday, July 27, 2010

kertas

aku berburu dengan waktu, terlampau sibuk dan terkesan tergesa-gesa. membuka laci penuh kertas, menutupnya kembali.. dalam hitungan menit, kembali membukanya, mengeluarkan seluruh tumpukan kertas tak beraturan yang terlanjur ada didalamnya. memasukannya kembali dengan kikuk, ragu untuk menutupnya, kemudian kembali mengeluarkan kertas-kertas tanpa arti itu. mencari-cari di sudut laci, merogohnya lebih dalam, menemukan sobekan kertas, menemukan beberapa pensil dan penghapus, mendapati mistar patah, beberapa kabel -yang entah kabel apa itu- tak terpakai. membaca sepintas kertas-kertas di tangan, meremasnya, beberapa aku cacah hingga mengotori lantai kamar.

terdiam sebentar, mengerutkan dahi sambil terus memburu kertas -entah yang mana- yang aku cari, bahkan dalam detik yang sama aku ragu apakah benar kertas itu ada di dalam laci penuh dokumen ini. melontarkan kertas-kertas yang sepertinya sudah aku baca ke segala arah, menumpuk beberapa yang masih aku anggap penting dan berguna. menutup kembali laci yang semakin berantakan, membalikkan tubuhku dan melihat kamarku yang sudah semakin tak berbentuk, bahkan aku tak dapat lagi melihat lantai keramiknya, seluruhnya tertutup kertas -baik yang terserabut maupun yang rata-.

kembali aku membalikkan badan ini dan bergegas meraih gagang laci, membukanya kembali dan sesigap mungkin kembali mengobrak-abrik isi laci tanpa ampun.

"sedang mencari apa aku ini?" pikirku.

dalam kesibukanku itu, seorang di lain ruangan mengetuk pintu kamarku. membukanya tanpa menunggu aku menjawab sebagai isyarat kebolehan untuk masuk. sudut mataku mendapati bayangannya, sementara aku tetap dengan kerecohanku dengan banyak kertas di tangan. masih juga aku sibuk mencari dalam laci itu dan membiarkan bayangan itu terdiam tanpa peduliku. lambat laun teralih pula konsentrasiku, aku mengendurkan kecepatanku, perlahan membuang pandanganku dari tumpukan kertas kepada bayangan yang masih terdiam... aku mendapati senyum teduh pada parasnya. ia hanya berdiri tersenyum tepat di depan pintu kamar sambil mengulurkan tangan kanannya.

"terima kasih sudah mengalihkan aku akan pencarian yang tidak pernah aku ketahui." ujarku dalam senyap sembari menghamburkan diri ke dalam dekapnya.

Monday, July 26, 2010

for you

I'm so sorry,
I've been busy with myself lately
Been busy securing myself
Been busy enjoying my life
Been busy finding the way to be busy

I don't mean to forgetting you
Don't mean to be ignorant
Don't mean to be mean

I'm just trying to repair my mental disorder
Just trying to be a better me
But still I found myself an obsessive compulsive person

I'm just too lazy to explain this matter to somebody else
And the result is I'm not getting better
I'm worse than I used to be

I just want everything to be perfect in my way
But on the contrary, on my perfect-thought, I'm just hurting my surrounding, including you maybe..

You're not the one who forget me.
coz I'm the one who kept myself being forgotten.
I am, with total intention, running away from crowd.
Being so sarcastic and too sensitive in everything.

I am hinder myself to have a quality time with you, simply bcoz you are the only person who can read me precisely.

(This is applicable for work matters, heart matters, family matters, friendship matters which all come to me in the same time)

Again, I humbly sorry for my absence.


-for you, sent via email dated 15 July 2010-

Friday, July 23, 2010

salah?

"aku ga siap nikah nih, masi ada rasa bersalah yang ga pernah ilang.."
"gila ya kamu! ini tinggal tiga bulan lagi tau! jangan ngaco deh ah!"
"beneran, aku cuma gak mau rasa bersalah ini akan terus ada sampe aku mati."
"rasa salah apa sih? yang mana sih? salah ke siapa??"

kemudian kami menyudut di ruangan setelah keluar dari ruang ganti, sementara tubuhnya masih lengkap dililit kebaya putih bersih yang meredup karena senyum yang tiba-tiba hilang dari parasnya. aku terdiam dihadapnya, sementara ia mengumpulkan segenap jiwa yang tercecer untuk bertutur tentang pelik yang menghantuinya. sesaat kemudian ia menghela napas panjang untuk membagi kisahnya dengan aku.

air matanya meleleh tanpa diinginkan, ia menangis karena beban hati, ia menangis oleh sebab rasa bersalah yang tanpa kenal waktu menggeliat keluar mengikiskan senyum dan tawanya. rasa bersalah pada dua manusia yang mengakibatkan ia menapaki bumi ini, yang memberinya degup pada jantung dan yang melindunginya pada rahim. kesalahan akan perubahan yang telah ia pilih yang membuatnya kemudian bersebrangan dengan kedua orang itu. kesalahan akan pilihan yang mengakibatkan ia tidak lagi pergi bersama-sama dengan mereka pada hari minggu. kesalahankah itu, jika ia memilih untuk memuliakan sang kekal pada waktu-waktu yang ditetapkan sebanyak lima kali dalam satu hari? kesalahankah itu, jika ia menetapkan pilihannya untuk lebih teratur bertemu dengan sang esa?

aku tetap terdiam menelusuri serbuan kata-katanya yang berhamburan tanpa arah, aku biarkan ia menuntaskan segenap beban yang menggelayut di hati. menemaninya dengan sekotak tisu di tangan kananku dan segelas air putih di tangan kiriku. tersenyum sesekali setiap kali ia membalas pandanganku terhadapnya.

kini ia makin menghitam bersamaan dengan jeritan tanpa suara yang terproyeksi dimatanya. selimut rasa bersalah itu nampak semakin tebal melegamkannya. rahim tempatnya bernaung pada waktu lalu telah kembali menjadi abu. melebur bersama debu tanah tanpa menyisipkan restu untuknya. sementara jutaan butir pasir terus menampar sekujur tubuhnya tanpa ampun, mempersalahkan nuraninya akan salah satu rahasia semesta yang menimpa sang rahim yang berlalu tanpa restu.

geliat kesalahan kini berbaur dengan kemarahan. memojokan dirinya sendiri pada sudut kegelapan yang tanpa sadar diciptakannya. menyerap seluruh energinya dan meningkatkan kegeraman yang tak bertepi. telah diupayakannya ribuan pembenaran, namun tetap saja hanya berupa penyangkalan. telah ia hujamkan permohonan maaf pada pusara yang teduh, tetapi sedikitpun tidak mentahirkan hatinya.

abu dalam pusara itu telah menyatakan restu dan memeluknya dengan maaf. namun ia sendiri yang kian hari kian mengeraskan nuraninya tanpa ampun. ia sendiri yang tidak pernah memaafkan dirinya akan kesalahan semu yang seakan telah diperbuatnya. kesalahan yang akan terus bermunculan dalam waktu yang tak terduga dalam semesta yang tak hingga. dapatkah aku ungkapkan padanya, bahwa kesalahan utamanya adalah membiarkan dirinya tidak memaafkan diri sendiri, tidak mengampuni jiwanya, berseteru dengan nuraninya dan menjebak hatinya pada tudingan yang ia ciptakan sendiri? sementara ia terlalu sibuk mempersalahkan diri, sehingga ia menjadi buta dan tuli akan pelukan maaf dan selimut restu yang dikirimkan sang rahim yang terus melindunginya tanpa syarat. sungguh tanpa syarat apapun.

maafkan dirimu, sahabat. sebab hanya itu yang akan melapangkan hatimu.

Thursday, July 22, 2010

left it there

I left it there, I won't move it anywhere.. I let it stay there, with all bittersweets attached to it. I know it won't change, it will remain the same as it used to be. For all things that i know, that i ever knew and recognized. I simply don't wanna change anything, not even a little part of it. But still, i left it there perfectly and don't even try to touch it anymore.

I thank you for those things left behind. I thank you for trusting me with no particular reasons. And I thank you for growing me up, I heart it in every way. Just left all the stories behind and I promise I'll be a better me. I know that I will miss it a lot, and I always have a chance to get closer to it every time the missing feeling arise in me. Just to be closed to it with no willing to touching it.

I left it there, I won't move it anywhere.. I let it stay there, with all bittersweets attached to it.

Wednesday, July 21, 2010

3 kali

batas toleransiku hanya tiga kali. ketiganya bukan merupakan kebetulan dan ketiganya bukan merupakan kejadian belaka. ketiganya jelas merupakan peringatan sang esa akan suatu hal yang harus aku lewati dan putuskan untuk meninggalkannya. entah sebahagia apapun, entah sesakit apapun.

dan aku telah sampai pada kali ketiga untuk beranjak. untuk memutuskan bahwa aku harus bergegas berlalu dari zona kenyamananku kali ini. menanggalkan segenap keindahan yang masih 'ku kecap, melepaskan tiap jengkal tawa dan tangis, melayangkan titik-titik semu di hari yang lalu. menghadapi cercaan sinar matahari pada babak baru, menantang desiran angin sebagai upaya adaptasi kembali, bertahan untuk terus melangkah mewarnai alur hidup yang tak akan pernah terjawab. dengan tegas bergegas mengumpulkan riak jiwa yang sempat koyak untuk mengejar sang fatamorgana.

seindah aku meraih sang fatamorgana, pada masa itu pula aku akan menanggalkannya kembali. kembali menyesuaikan diri dengan peringatan semesta, peringatan yang akan datang sebanyak tiga kali untuk memecutku berlari mengejar fatamorgana yang lain. mungkin ini rotasiku pada hidup atau karma leluhur yang tak terbayarkan. namun aku adalah aku. yang hanya percaya pada teguran ketiga untuk perkara yang sama. setidaknya setiap kali aku pergi, itu untuk memburu fatamorgana baru yang sama sekali berbeda. dan untuk fatamorgana itu, tentu akan aku peroleh bagian jati diri berikutnya. sehingga ketika seluruh bagian jati diriku terkumpul, ia akan membawaku kembali pada sang kekal.

mendendam

tolong jangan rusak seleraku dan jangan buyarkan bangunan semangatku untuk hari ini. hari ini bahkan masih terlalu muda untuk keberadaanmu. aku baru memulainya, baru sejenak menjajakan segenap jiwaku untuk menikmati akan jalannya hari ini yang tiada akan pernah terduga. aku hanya ingin menapakinya dengan senyum, dengan lebih ringan, dimulai dari detik ini.

sungguh jangan coba usik aku melalui segenap upayamu. tidak dengan kehadiranmu, tidak dengan rentetan suaramu, tidak dengan media maya yang menghilangkan ruang dan waktu, tidak dengan cara apapun. setiap keberadaanmu menjadi duri bagiku. setiap upaya pembenaranmu akan waktu lalu tidak lain merupakan penistaan akan diriku. simpan seluruh energimu saja, bingkai indah ditempatnya tanpa perlu sejentikpun aku ketahui. sebab semakin berjarak antara kau dan aku, maka akan semakin mudah untuk memuliakanmu.

dengarlah, hanya satu inginku, "jangan ganggu aku, ayah. maaf."

Friday, July 16, 2010

telinga dan mulut

Sang telinga sedang sangat amat iri pada mulut. Lelah tampaknya ia berdiam disana tanpa aksi dan reaksi. Dengki terdalam pada mulut yang dapat mengeluarkan suara, memadukan kata-kata atau bahkan hanya berdecak. Sungguh sangat cemburu pada si mulut yang dapat mengeluarkan liur atau bahkan mengosongkan isi perut. Sang telinga bahkan tidak pernah bergerak. Diam. Tak kuasa berkeluh kesah akan kelelahannya menjalani peran. Kebosanan menjalarinya sampai pada bagian terdalam. Ia hanya dapat bertukar pada saluran eusthacius, terhubung tanpa benar-benar bertukar peran.

Dalam detik ini juga, sang telinga memaksakan kodrat ilahi. Merenggut mulut dari singgasananya dan mengkudeta perannya. Pada detik berikutnya sang telinga menjabarkan keluh kesahnya tanpa ampun. Kemudian dengan lunglai kembali menahtahkan si mulut pada daerah yang diokupasinya tadi.

Kembali pada perannya, sang telinga dengan sadar kembali pada perannya.

Thursday, July 8, 2010

serakan serpih


kesalahan terbesar saya terhadap anda adalah membiarkan diri saya sendiri untuk tidak meyekatkan hati dan menjadi terlalu setia terhadap anda. terlalu percaya dan menutup segala bisikan dan sudut mata yang mencuri lihat akan ketidakwajaran yang terjadi. membiarkan diri saya seutuhnya menjadi tuna netra berikut tuna rungu bahkan tanpa nurani akan tanda-tanda alam yang disajikan tepat di hadapan saya.

atas kesemua kesalahan saya itu, resiko yang saya telan bulat-bulat adalah saya harus kembali memungut serpihan-serpihan hati yang pecah menjadi bagian-bagian kecil. meraihnya satu demi satu, menyusunnya kembali dengan perekat jiwa dan kembali memasangnya pada tempat ia seharusnya bernaung.

meski saya sadar bahwa tahap memungut serpihan terserak itu akan kembali menodai telapak dan jemari dengan perih. menyusun dan merekatkan bagian yang satu dengan yang lain akan kembali menjadi kabur karena air dan darah. dan seketika hati itu kembali diletakkan pada hulunya, antar serpihannya itu akan menyakiti sarangnya, mengakibatkan sayatan di sana-sini tanpa dapat disembuhkan pada waktu yang bersamaan. serpihan itu menghasilkan luka, lukanya mengakibatkan luka baru. lukanya menyayatkan kembali luka lama yang telah separuh tahir, meradangkan pembuluh darah dan memfokuskan serabut syaraf untuk menyampaikan pesan rasa sakit pada penjuru fisik.

jadi, akankah saya biarkan ia berserakan, setidaknya masih dapat saya ratapi.. atau baiknya saya jumputi satu per satu dan mengembalikannya pada singgasana, meski akan berulang kesakitan yang sama?

*pic taken from google

pusaran

lalu aku berjalan dalam satu pusaran kehidupan, bagian dari keseluruhan kehidupan yang mungkin harus aku telusuri keindahannya karena aku sendiri telah menetapkan pilihan untuk menelaah pusaran ini. jalannya terlalu berliku, melelahkan seakan menghisap seluruh unsur nyawaku ketika aku berada didalamnya, namun pusaran ini sekaligus menyenangkan, sangat nyaman sehingga membuat aku tidak ingin beranjak lebih cepat untuk menemukan titik pusatnya.

tapak-tapak milikku tersisa jelas pada tanah yang aku lalui. aku tidak membutuhkan cahaya untuk melihat titian langkahku, gelap pekat namun tiada sesak. aku tidak memerlukan percikan bunyi untuk mengetahui kelok di depan jalanku. pusaran ini seakan menyesuaikan keberadaannya dengan diriku, sapuan gumpalan udara memelukku dengan sangat hangat setiap kali aku menginginkannya. dan aku biarkan diriku menelusuri pusaran ini sedikit lebih lambat dari pusaran yang sebelumnya. sungguh, hanya pusaran ini yang mampu membuatku ingin terus berada dalam dekapannya.

pada jejak langkahku sampai pada hitungan dua ratus, pusaran ini menghimpitku tanpa pertanda. memaksa aku membelalakan mata, memasang telinga lebih tajam, memekik keras dan meronta kesegala arah. pusaran ini melontarkanku pada kumparan cahaya yang membutakan mataku, menusuk-nusuk liang telingaku dengan bebunyian ultrasonik tanpa petujuk dan menghempaskan tubuhku pada jutaan kubik air hitam legam serta berbau menyesakkan tanpa ampun.

keseluruhan penderiaan yang menghantamku pada waktu yang sama itu sungguh sangat menyakitkan aku, namun akar kekecewaanku berada pada kudeta kepercayaan. kepercayaan akan indahnya pusaran yang semula seakan melindungi segenap jiwaku tanpa syarat, yang kemudian berbalik arah menghisap keseluruhan jiwaku pada liang kesengsaraan. meninggalkan aku terperosok dalam pedihnya hati yang buyar menjadi serpihan-serpihan kecil tanpa wujud.

kekecewaan ini yang menggugahku untuk segera berlari sampai habis tuntas kekuatanku. berlari tanpa arah dalam pusaran yang seakan tak berkesudahan, berlari menyelamatkan diri dari deburan penderitaan yang tak kunjung padam. berlari dan terus berlari, berharap dalam detik berikutnya aku dapat melihat gemericik cahaya penanda ujung lorong pusaran ini. namun semakin kuat aku mencari, semakin menderu penderitaan ini menghampiriku dalam kecepatan suara. menyisakan sayatan-sayatan tak terperikan yang dengan jelas memilukanku tanpa aku dapat melihat dalamnya bilur-bilur itu meronakan tubuhku.

aku harus terus berlari dan meninggalkan pusaran ini.. harus!! harus!! helaian napas terakhirku aku buang bersama dengan pekikan panjang yang terhenti bertepatan dengan dobrakan tubuhku pada selaput membran penutup lorong pusaran. dan kemudian gelap...

dimana aku?

perang

pada akhirnya ia kembali kepadaku dan aku menyambutnya dengan senyum dan pelukan hangat yang menurutku benar ia butuhkan kali ini. ia hadir kembali di hadapku, tidak dengan keriaan ketika ia meninggalkanku, tetapi dengan paras lunglai dan mata sembab akibat banyak air mata yang ditumpahkan daripadanya. dalam dekapku, air mata itu berlomba keluar tanpa kendali.

kembali dalam keadaan porak poranda, perang telah usai untuknya dan menyisakan carut marut pada fisik dan psikisnya. binar keriaan pada kedua matanya yang melekat erat dalam rekaman ingatanku pada saat ia pergi dariku, sirna tergantikan legam hitam yang kian meredupkan cahaya matanya pada mula-mula. entah perang serupa apa yang telah ia hadapi, entah untuk membela dan memperjuangkan apa yang dapat membuatnya tenggelam dalam perang itu. yang aku pahami, ia menyatakan perang dan terlebur didalamnya oleh sebab kesadarannya sendiri, tanpa bujuk rayu, tanpa provokasi, tanpa intimidasi dari pihak lain di luar nuraninya.

mungkin perang itu telah mengalahkannya sedemikian sehingga ia kembali padaku serupa ini. mungkin malah ia telah memenangkan perang itu, terlampau jamak asumsi padaku hanya karena aku tak kuasa bertanya padanya, setidaknya bukan saat ini masaku untuk mencari jawaban dari dirinya. yang aku mengerti hanya aku tetap tinggal di tempat yang sama disaat ia meninggalkan aku. aku tak beranjak sedikitpun, semata untuk meyakinkan bahwa aku tetap berada di tempat yang sama ketika ia kembali mencariku lagi seusai ia melalang buana.

sungguhpun ia koyak kali ini. beban yang diembannya pada waktu lalu mungkin lebih berat dari yang seharusnya ia tanggung. hanya guratan kekecewaan yang membekas pada rautnya ditemani pencilan-pencilan luka yang masih meradang dan tak kunjung pulih karena digenangi air mata yang tak kenal henti.

dan kini ia terdiam tepat disisi kananku, memandang pada satu titik api yang tak fokus. kembali menguraikan detik-detik peperangan dalam benaknya dan menegaskan semburat kepedihan lebih dalam pada tiap inci wajahnya. air matanya terus jatuh tanpa isakan dan ia membeku tanpa keluhan.

Wednesday, July 7, 2010

karet-condet

"kamu apa kabar?"
"aku? baik kok.. kenapa kamu?"
"gak papa, cuma kenapa gitu liat kamu tadi pas nonton bareng."
"beneran gak papa kok, cape aja kayaknya abis sidang"

"kalo hati kamu apa kabar?"
"hmm, aku harus jujur kali ini ke kamu."
"kenapa?"
"aku masih sama dia, aku udah berusaha melepaskan karena emang harus lepas."
"kamu yakin gak papa?"
"............................"

"ada yang bisa didenger, eh, dibaca?"
"aku capeeeeeeee!! aku cape sama rasa ini, kenapa si aku bego banget udah tau ini gak bener tapi tetep aja ga mao ngelawan!! kenapa sii.. kenapa harus gini.. KENAPAAA!!!"
"keluarin aja semuanya.. aku ada kok."
"kenapaaa,, kenapa aku pake nangis segala.. aku gak pernah minta apa-apa kok, tapi kenapa dapetnya begini!"
"nangis aja, aku gak akan banyak komentar."
"aku cape.. capeee banget sama semua ini. aku tau aku salah, tapi aku ga bisa.. ga mao ngelawan, bisa tapi gak mao.. ga mao sekarang!!"


"harusnya aku ada di samping kamu ya.."
"gak kok gak papa, kamu kan lagi sibuk sama tesis. maaf ya, aku simpen ini berbulan-bulan bukan karena aku ga percaya kamu. tapi gak tau kenapa kalo soal hati, aku emang ga pernah cerita ke siapapun sampe semua selesai.. tapi maaf kali ini aku gak kuaaattt!!!!"
"gak papa kok, aku ngerti."
"aku gak kuat, bener-bener gak kuat..."

"satu hari setelah tesis ini beres, mao duduk sama aku?"
"aku ga akan bisa cerita kalo ada disebelah kamu, malu."
"gak harus cerita gak papa kok, duduk aja, diem juga gak papa."
"aku nangis lagi, maaf ya..."

"kamu butuh apa?"
"....................."
"ne?"
"butuh bir yang banyak, butuh jeger meister yang banyak dan butuh ganja.. aku mao itu semua biar aku gak sadar. aku bener-bener gak kuat..."
"....................."

keparat

keparat! pergi kau dari hadapku!! pergi jauh hingga tak tampak oleh sudut mataku! pergi sejauh aroma tubuhmu menghilang dari jangkauan ingatan penciumanku! enyahlah dari sisi gelapku, bawa serta sisa tawamu pada hari-hari yang lalu! tinggalkan yurisdiksiku karena kau tidak lagi diperbolehkan berada dalam jangkauan teritoriku! jarakmu akan aku harus sejauh timur dari barat, sejauh utara pada selatan dan sejauh langit ketujuh pada neraka!

dengar keparat! tidak akan ada lagi kesempatan bernegosiasi kali ini, tidak jua tawar-menawar. sebab kepergianmu adalah penyelesaian terbaik yang pernah aku tetapkan dalam satuan hidupku di bumi ini. jangan mencoba melihat ke belakang, jangan pernah mencoba berada sejajar denganku. karena akibatnya hanya akan berupa muntahan kata-kata tanpa hikmat! dan jangan pernah mencoba kembali menyentuhku dengan untaian kalimat manismu, karena semuanya telah menjadi sia-sia seketika.

makianku tidak akan pernah sampai pada titik nadir, karena sisi putih hatiku telah kau bawa serta, menyisakan sisi hitam yang akan terus memekikan jajaran hinaan atasmu. dan kau harus ingat, keparat! enyahah dari jangkauanku, sebab hanya itu yang dapat menyelamatkanmu dari lumatan sesahku!!!

membusuk

"kamu pegang apa ditangan kamu? kenapa diumpetin di belakang punggung?"
"hmm, gak kok. gak pegang apa-apa, gak umpetin apa-apa."

dan aku cengkram makin erat bongkahan hati yang telah membusuk ini. aku pastikan tiada seorangpun akan menaruh curiga akan hati yang telah aku renggut paksa dari tempatnya berada. aku letakkan pada telapak kiri dan menutupinya dengan telapak yang lain, menyembunyikannya di belakang punggung tanpa seorangpun dapat menyadarinya oleh sebab aku membungkusnya dengan senyum dan gelak tawa pada paras.

hati ini tidak bekerja lagi sesuai fungsinya, sudah banyak kerusakan disana-sini. tidak hanya itu, terdapat satu lubang besar yang tidak dapat ditutup sebab tamanan yang sebelumnya berada telah terlanjur mencengkramkan akarnya sampai pada inti pusat hati. seketika tanaman itu harus dicabut tidak dengan suka rela, meninggalkan liang tak berdasar pada hati ini. akar tunggangnya yang semula tertancap kuat harus terserabut tanpa belas kasih, meninggalkan hati yang kemudian membusuk karena waktu.

hati ini harus aku renggut paksa dari susunan organ, jika tidak aku lakukan ia akan menjangkitkan kebusukan yang sama pada organ lain, dan pada akhirnya kesemuanya akan membunuhku dari dalam secara perlahan. aku memilih menyakiti satu hati ini dan menyelamatkan organ lainnya, setidaknya tindakan ini akan membuat aku tetap hidup.

coba biarkan aku tetap menggenggamnya pada telapak, memandanginya dan mengenang setiap perannya yang telah lalu. setiap torehan padanya menyunggingkan senyum tipis pada sudut bibirku bersamaan dengan air mata yang tak kuasa aku bendung untuk tetap menggenang pada kantungnya.

aku tidak akan membuang hati yang membusuk ini, juga tidak akan aku tempatkan kembali pada asalnya. ia akan tetap di sini, tepat pada kedua bilah telapakku yang bersemayam di belakang punggungku, tanpa seorangpun sempat menyadari keberadaannya. tak seorangpun dalam fana dan maya ini, kecuali kamu...


*pic taken from google