Thursday, October 22, 2015

Kalian

Perjalanan jauh lalu membuat aku menemukan bagian dari aku. Aku masuki setiap gang dan gemerlap pertokoan. Menatap sejenak dan lalu terlintas wakah kalian. Pada masa tertentu ada keraguan apakah akan ada senyum terkembang di wajah kalian ketika aku tiba nanti. Memilih, memilah, melanjutkan langkah kepada gang yang lain. Mencari ketepatan, menduga raut wajah nantinya. Menyadari kebutuhan atau mungkin hanya sebatas keinginan yang pernah aku dengar dari celoteh kalian.

Menyediakan waktu sampai dengan mereka tutup, sebagian malah mengusirku karena aku terpaku terlampau lama di dalam gerainya. Pada waktu berikutnya, aku memotret tanpa ijin pemilik hanya untuk memastikan kalian akan tersenyum ketika menerimanya. Menunggu dalam pikuk yang tak wajar untuk memastikan kirimanku berbalas. Menunggu lagi dan lagi.

Bagian lainnya aku tidak dapat memutuskan karena kamu suka keduanya. Bukan sisaan, bukan. Kamu utama hingga aku mengambil keduanya. Lalu aku berjalan lagi tanpa henti tanpa peduli luka di kaki dan tangan yang membeku.

Lalu aku kembali ke kota ini. Kota yang adalah rumahku sendiri. Kota dimana aku menemukan kalian yang aku sebut sahabat. Mungkin salahku tak mengukur waktu dan getaran. Sebab ketika ku cari kalian menyublim pada jiwa baru yang asing bagiku. Kemudian aku hanya diam, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Meneriakan isi hati atas kesendirian. Satu wajahpun tak aku dapati dalam pencarianku kemarin. Tulisan, kita hanya bersua melalui tulisan.

Ada hal apa yang aku lewati, sahabat? Ada apa? Aku sudah merendahkan harga ini di muka kalian. Serendah-rendahnya. Memekikan kerinduan adalah kerendahan yang luar biasa. Menjabarkan rasa merupakan tingkap kesalahan berikutnya. Tidak jika memang benar sahabat, jika bukan?

Thursday, October 1, 2015

dengar, dengarkan!

jika kamu menjadi takut akan aku, itu masalahmu, bukan aku. pernyataanku kemarin, ya hanya untuk hari lalu itu. tidak aku bawa sampai mati, tidak juga hari ini.

kamu pikir, aku seterkesan itu atasmu? oh, jangan terlalu cepat menyimpulkan seperti temali, kawan. aku bisa dasarkan banyak doktrin di kepala dan hati (jika ada) untuk menjadikan semua biasa saja. tenang saja tentang itu. dan, ya, ini bukan sangkalan. ini aku, yang kamu tak sangkakan.

takutlah terus, atau menjadi semakin takut sajalah, aku akan membantu dengan banyak cara hingga ketakutanmu semakin meradang. mari bermain, kawan. mari mainkan!

Monday, September 28, 2015

alter ego

Alter ego, apakah aku cukup terlambat jika mengujarkan maaf? Aku terlampau egois siang ini, lebih parah dari parasit lajang yang mencari keperjakaan atas nama jiwa muda. Aku melewati tingkap cinta diri dan penyelamatan diri. Kamu adalah alter ego, yang semestinya miliki ego; bukan malah aku. Tapi ini apa! Aku malah merampas bagianmu dengan semarak tanpa teriak. Lalu kamu, dengan empati seluas bima sakti membiarkan aku merengkuhnya. Menindas hakmu atas hakku.

Kini aku porak-poranda. Karut-marut dalam pengertianmu. Mejajal kesabaranmu sampai tapal batas. Menyangkal serupanya kita. Aku ngeri padamu, sungguh menakutkan kamu untukku. Kamu terlalu aku untukku. Kesamaan yang selalu aku dengungkan dalam pencarian yang sepanjang pengetahuanku tak pelak aku temui dalam planet bumi ini. Tidak akan sampai pada keadaan itu. Tidak!

Lalu kamu datang dalam diam. Menelisik sudut mataku karena kekaguman tanpa aroma yang berlebihan. Sendiri. Sendiri saja seperti selalu. Kemudian, dalam langkah yang tanpa dugaan, aku remuk-redam. Terdiam seperti kamu namun dalam jeritan lantang. Penyangkalan keras atas kehadianmu dalam yurisdiksiku.

Sangkalan ini sedashyat sangkakala penanda kiamat, melumat aku dalam pekat. Lalu aku menggugat! Menghardikmu tanpa ampun, menyalahkanmu bertubi-tubi dalam bilur yang aku ronakan sendiri. Merenggut masa-masa nyamanku tanpa peluh tapi memeluk. Kamu seharusnya tiada, alter ego. Meski aku ingin kamu ada. Jangan pergi kali ini, jangan. Jikapun ditakdirkan, tolong tunggu aku di persimpanganmu, ketika kamu menyadari bahwa aku adalah kamu yang lain.

benteng bolong

"lagi ngapain? kok tumben turun."

"kemarin terasa dingin, kayak ada angin masuk. makanya turun."

"ini bolong? kok bisa?"

"ga tau, kayaknya udah pakai beton berlapis-lapis, tapi kok bisa bolong ya?"

"siapa yang sandar?"

"orang baik, rasanya… tapi kok pakai segala ngebolongin ya? lagian gimana cara bolonginnya ya?"

"ga terasa sama sekali apa? bener-bener cuma tiba-tiba dingin gitu?"

"iya, aneh ya. gak enak dingin gini. harus turun pun benahin dinding."

"orang baiknya kemana?"

"hmm… gak tau juga. seperti yang lain palingan, sandar aja tanpa sadar."

"sakit ya? sabar ya…"

"iya. pasti kok, tanpa henti."

"saya bawa kopi, nih, pasti gak mau makan kan? cuma mau kopi, rokok, kopi, rokok."

"…"

simpang empat

ah, aku berhenti lagi di persimpangan semacam ini. rasanya hanya memutar saja, setiap sudutnya sudah di luar kepala. tempat ini mirip seperti yang sebelumnya, atau memang aku hanya terjebak dalam kumparan? entah lah yang pasti rasanya tidak menyenangkan. menyesakkan malah.

padahal kemarin telah aku ukur benar semuanya, memastikan aku tidak berbelok ke kiri lagi karena pasti akan bersua pada sudut keji ini. aku mengarah ke kanan tadi, namun ternyata malah lebih memuakan daripada ke kiri. aku muak pada pukauan ini. terlalu sempurna di semua lini. terlalu sempurna, hingga aku terjebak dengan sadar. ini lebih menyebalkan daripada tanpa sadar. sungguh!

lalu apa kali ini? rasa yang nyaris sama tapi lebih menyesahku. terlalu luas ruang geraknya sampai aku tidak dapat mengingatkan syarafku untuk terus terjaga. jangan tertidur apalagi terlena, peringatanku pada aku. sayangnya, ini lebih dari terlena, ini memukau, mencengangkan!

dan aku membiarkan sebagian jiwa ini menikmatinya terus-menerus. ini namanya kekejian atas diri sendiri, tanpa tedeng aling-aling. mampus kau, aku! mampus! tersesatlah dalam kesedihan, Tuhan sudah memberikan tandanya, dan aku malah terpikat pada simpang empat.


Sunday, September 27, 2015

bisik dari Jakarta untuk Amsterdam

aku pergi untuk kamu. ah, tak yakin juga sesungguhnya untuk apa dan untuk siapa. mungkin untuk aku sendiri. hanya lagi-lagi, kamu jadi alasan. aku pergi tanpa berpikir, bahkan tanpa bertanya kepada kamu apakah kamu bersedia menemui aku.

jarak kita tidak dekat, memang, 5 jam lebih dahulu di belahan bumiku dibanding kamu. sejauh sebelas jam perjalanan dalam kecepatan di atas tiga ratus kilo meter per jam. sejauh itu, bahkan aku sejahat itu tidak bertanya terlebih dahulu soal kesediaanmu. jika ternyata kamu tidak bersedia, apakah aku akan luntang-lantung tanpa atap di negeri mantan penjajah? ah, tak apalah, masih ada Tuhan untuk dipersalahkan jikapun itu terjadi.

tanda yang kamu siarkan sepertinya kamu bisa menerima kehadiranku nantinya, setidaknya dalam asumsiku. kekejian asumsi yang memaksakan kamu untuk menerimaku sebenarnya. terlampau, ya?

aku akan hadir tanpa rencana, namun bukan hanya wacana. semoga ini bukan akan menjadi bagian yang menghambat selesainya tugasmu. sungguh, semoga aku dapat membantumu, meskipun dalam diamku yang sering gagap dan tak tanggap.

jenuh, penuh.

aku lelah, aku butuh keluh sampai berpeluh. aku lelah berputar pada rotasi yang sama, aku muak dengan kata-kata yang tak terlaksanakan. aku sungguh pilu menyusun kata, aku lelah bicara padamu. lebih dari itu, aku sungguh lelah mendengarkan. mataku kemudian menjadi pedih hanya dengan menyerap tatap matamu yang selalu keji.

cerita ini seharusnya tak begini. semestinya menyenangkan, setidak-tidaknya cerita ini menebarkan senyum tipis di sudut mata. tapi ini apa? kemurungan tanpa akhir. menghabiskan sisi dunia, melelahkan. setidaknya bagiku melelahkan, menyerap semburat bahagia yang selalu aku pijakkan di pagi hari.

kamu tahu? aku luar biasa pemurung, aku lebih dari negatif. jadi seharusnya kamu bersyukur kepada Khalik ketika aku mau menyerap negatifmu. kebingunganmu menghitamkan hatiku yang dengan penuh kepayahan telah aku putihkan pada setiap malam menjelang subuh merekah. aku bahkan yakin kamu tak akan pernah paham bagaimana sulitnya memutihkan hati yang sudah hitam sejak semula. lalu kamu datang setiap hari dengan kisah bahagia yang kamu muramkan! sarkastik!

jatuh cinta itu biasa saja, jangan dilebih-lebihkan negatifnya.

sudahlah, telingaku sudah bungkam kali ini. sudah sampai pada nadir kali ini. pergi sekarang, atau aku yang pergi!

ia, rusa dan kasih

ia datang kali ini, membawa serta murung yang gelap tanpa sekat namun tercekat. di kanannya dijinjing rusa muda dengan mata membelalak. darahnya menetes tipis, sisa pertempuan tampaknya. tak perlu jua aku ujarkan pakaiannya, tak pantas pula.

dibakarnya batang pertama tanpa sapa. selayak pulang ke rumah yang kosong mungkin, hingga aku tak kasat mata baginya.

setelah api menghabiskan batang pertama sampai ke filter, ia mulai membuka mulut. jatuh cinta, katanya. kesalahan yang akan dilakukan semua manusia… jatuh cinta. lalu segera diperbaiki istilah yang ia gunakan: main hati, tanpa arti. ia tersesat dalam percakapan, terjebak dalam kebiasaan dan keberadaan. bukan mencari, bukan! tak ada lagi ruang baginya untuk mencari sebab yang dicari pun sudah ditemukan dalam hitungan tahunan lalu.

menit kemudian ia mencaci dirinya, menyesali perkenalan karena selalu ada perpisahan setelahnya, seperti saat ini. saat ia menghabiskan darah sang rusa sehabis-habisnya.

matanya kembali terbalik, mengenang rasa yang sempat ada, bahkan masih ada sampai kini mengisi rongga hati yang sayangnya masih kosong meskipun telah penuh. kehadirannya sebatas untuk meyakini dan menemani sang kasih baru yang meragu untuk masuk dalam kelembagaan. ketika pandangan menjadi dibatasi, ruang gerak dan kebebasan juga terhempas, kesetiaan seakan menjadi harga mati lebih dari melayani. lembaga yang paling posesif di muka bumi; bahkan Tuhan saja tidak segitunya.

tugasnya tergenapkan, sang kasih tetap ada di jalan yang seharusnya. seharusnya, bukan sebaiknya. semoga saja yang seharusnya juga adalah sebaiknya, semoga.

lalu ia kembali di sini. menemukan telinga untuk dibagi, bukan dengan intensi, namun kadang manusia tahu kepada siapa ia harus diskusi tanpa menghakimi. hidup harus jalan terus, suka atau tidak. setidaknya rongga penuhmu sekarang benar penuh, kawan. tersenyumlah untuk fajar berikutnya.

Saturday, August 29, 2015

dari aku untuk si kamu

aku menunggumu di sini, tidak tahu juga dalam rangka apa. menunggu saja, membiarkan harapan tergantang saja. menantimu lagi, tanpa janji. aku tahu kamu tidak akan tahu. penantianku akan kamu adalah hal yang menyenangkanku dalam waktu-waktu ini. biarkan saja aku menikmati keberadaanmu tanpa kehadiranmu. itu saja sudah membuatku tersenyum mengembang.

jangan datang, jangan hadir. karena banyak dari kamu yang nyaris membuatku cemas. membuat duniaku berhenti bergerak tanpa sebab. membuatku gugup dan tercekat, yang sangat aku harapkan tak terlihat pada binar mataku. semoga kamu tak membacanya. jikapun kamu tahu, tolong diam saja, jangan nikmati aku yang tersipu. 

aku menunggumu lagi, seperti selalu. tanpa janji. sebagian jiwa ini semacam mencobai Tuhan, menjajal Semesta tanpa kata. belakangan ini, aku menunggumu untuk tidak hadir. tak tahu juga mengapa begitu. hanya memastikan Tuhan tidak selalu memberi walaupun hatiku menuntut.

jangan datang kali ini, aku terlalu takut melihat percik bintang terbakar di matamu yang sesekali sengaja kamu perlihatkan. membiarkan aku mengetahuinya. aku tidak suka itu. tidak seperti itu seharusnya. kamu tahu aku dapat melihatnya, lalu mengapa kamu biarkan itu?

jangan hentikan langkahmu, bukan padaku. jangan padaku. aku hanya akan melukaimu secara berlebih-lebihan. meninggalkan rongga yang abadi pada bilik kanan dan kiri. menyisakan serambi yang kepayahan dalam penyembuhan, jikapun kata tahir itu benar ada. sungguh, aku hanya seorang pembuat luka yang tak pernah pantas untuk dimanusiakan. jangan lebih dekat dari ini, tapi biarkan aku menantimu dalam kelamku karena hanya itu yang membuatku tetap ada. 

pasir

semerbaknya dapat aku kecap walau jaraknya sejauh fatamorgana di hamparan gurun pasir yang renta. jiwaku masih menikmati hadirnya dalam tahapan ini. walau kerusuhan di sana-sini kadang menghujam kejam dan kekawatiran menyeruak dalam waktu-waktu tak terduga. terus saja aku bertahan dalam terpaan hawa panas gurun yang kian lama kian menyerap cairan tubuh. sejajar dengan perolehan dehidrasi pada asaku, menyesakkan.. sungguh menyesakkan.

jejak tapakku tak lagi serupa, demikian cepat menghilang disapu angin pembawa butiran pasir. bahkan aku tak kuasa mengingat bentukan jejakku satu langkah yang lalu. tak pantas rasanya menoleh ke belakang, sama tak pantasnya untuk memikirkan sebentuk pijakan kakiku pada satu langkah berikutnya. aku hanya dibolehkan menelaah sejenak sisa pijakan ini untuk kemudian meninggalkannya tanpa terdeskripsikan, tanpa sempat menggelayut di bawah sadar.

dengan hamparan pasir hampa ini, sungguh aku tak memiliki masa lalu, pula tiada harap akan masa depan. gurun ini hanya menyediakan angin nan panas memecahkan kulit, memberiku banyak matahari tanpa aku pinta dan dengan setia menyediakan kefatamorganaan di pelupuk mataku.

hatimu, kawan

ia menunggu di sudut pintu dalam sabar. sedikit sabar, padahal banyak sadar. ia termangu meratapi teknologi yang digenggamnya, sering dijelajahi tanpa sadar entah ingin mencari apa. lagi-lagi ia menunggu. sedikit keberanian untuk memulai, hanya sebatas mengejar nama lalu menelepon saja, ia ragukan. termakan pemikiran sendiri rupanya, terlalu takut disebut pengganggu, termakan gengsi yang meledak-ledak.

logikanya berpacu dengan hati, memakan hatinya sendiri. takut akan penghakiman, katanya, atau bahkan takut kekasihnya malah kemudian menjarak karena terganggunya. asumsi, asumsi dan asumsi saja. asumsi yang banyak tidak terbukti sepertinya. namun, terus saja ia telan bulat-bulat isi kepalanya tanpa bernegosiasi dengan isi hati.

sibuk sekali ia menanti sang kekasih. terlalu sibuk sampai lupa akan keberadaan manusia lain di sekelilingnya. lupa bahwa kami sedang tertawa, bersama-sama seharusnya. lupa bahwa detik ini seharusnya dinikmati. nikmati pedihnya penantian tanpa ujung. namun, kenapa harus menanti ujung? mengapa tidak kecapi yang ada saja? berapapun sakit dan senangnya, bagaimanapun ujung dan pangkalnya. bukankah yang penting adalah hari ini? karena besok adalah urusan lain, dengan bagian hati yang lain.

jangan kawatir, kawan. karena kisahmu atas sang kekasih juga akan lewat nantinya. sakitnya pasti ada. aku sudah berujar sejak awal, sakitnya pasti abadi, namun sakit itu pula yang akan menambah kosa kata dalam kamus hidupmu. nikmatilah.

Sunday, August 16, 2015

mengejarmu

aku tahu aku ada dimana. aku tahu aku ingin apa. aku nyaris tahu segala sesuatu tentang aku. maka, aku menjadi aku. namun, kadang ada masa dimana aku lelah dengan keakuanku. jenuh, jenuh saja.

seperti saat ini, rupanya. jenuh saja dengan rutinitas. padahal, segala hal yang dilakukan adalah sebatas rutinitas. jika pun ada hal baru dan dilakukan kembali, itu pula akan menjadi rutinitas baru. sesederhana itu, hanya sebatas pengulangan. mungkin, yang membedakan hanya manusianya, siapa lawan tandingku, atau jangan sebut lawan tanding-lah, rasanya, ada unsur kompetisi di kata itu. baiknya disebut rekan saja. rekan baru, dengan latar belakang menarik yang tentunya menambah wawasanku.

itu saja.

kala itu terjadi, aku akan menjadi terlalu fokus, terlalu rutin. sampai kembali pada rutinitas dan bersua dengan si jenuh. pengulangan.

sebut saja kala itu terjai saat ini. ketika pengenalan dan percapakan membukakan tingkap-tingkap sadar. seperti paru-paru, yang bersedia (atau mungkin wajib) membuka tingkapnya satu per satu sembari menyaring kumpulan udara, memurinkannnya menjadi O2 dan kemudian menghembuskan kembali keluar unsur lain yang, ya, bisa disebut tak termanfaatkan oleh tubuh.

namun, paru-paru bukan aku. analoginya bisa tepat pada beberapa hal tapi tak keseluruhan. ada bagian pengejaran yang selalu aku lakukan. bukan untuk memiliki, bukan. jangan terlalu percaya jika kamu merasa aku mengejar, berlari padamu. sengaja aku kesankan demikian untuk membuat rekan merasa berarti, diinginkan, dan bahkan sedikit "takut aku miliki".

tidak ada bagian posesifitas dalam pengejaranku. semudah karena aku tak ingin dimiliki. maka, berlaku sebaliknya. jadi, kamu, jangan terlalu termakan asumsi atau penghakiman sendiri di kepalamu atas pengejaranku. aku bahkan tak berminat sama sekali untuk tersandera dalam fase itu.

itu saja, car.

    

Tuesday, August 4, 2015

Maaf, sahabat.

Aku meninggalkanmu karena aku cemburu. Harusnya aku jabarkan ini sejak mula-mula. Aku cemburu karena suatu malam kita duduk bertiga. Namun yang bicara hanya dua. Dua itu selain aku. Aku sungguh cemburu sejak itu.

Lalu aku pergi dari kamu untuk menghindari amarah. Supaya aku tidak menghardik setelahnya. Supaya aku tidak mengumpat dan membiarkan kalian mengerti aku cemburu.

Aku berlari untuk sembunyi. Hanya sisa gerutu dalam senyap dan mungkin tangis dalam alunan sigur ros. Aku cemburu karena aku yang sengaja mengenalkan kalian. Aku cemburu akan akibatnya.

Seharusnya aku yang di situ. Bukan malah menatapi cengkrama kalian yang makin intim tanpa jeda. Menutupi seakan aku mengerti apa yang kalian diskusikan.

Aku pergi saat itu juga. Menghindari kebersamaan. Karena hanya itu pengetahuanku jika patah hati. Sendiri. Sendiri saja, melewatkan segala bentuk kemesraan kalian.

Aku tahu akibatnya, segala tak akan lagi sama. Aku tidak lagi menunggumu di tangga itu sambil mengunyah bakwan malang abang-abang yang dipisahkan pagar kawat. Aku tak lagi datang malam-malam dan menetap di 33. Aku tidak lagi mengucapkan "berangkat dulu yaa, ayoo kamu bangun siap-siap", sementara kamu masi separuh sadar dengan hidung mampat. Kita tidak lagi berlama-lama di toko mini untuk bicara apa saja tanpa syarat.

Aku tahu konsekuensinya, aku akan merindu sejadi-jadinya. Karena semua tidak lagi sama. Aku tahu aku kehilanganmu, bahkan ketika semua alasan ini sudah panjang lebat aku jelaskan. Kita tak lagi sama. Aku mengerti akibatnya, kecemburuan adalah kematian. Maafkan aku, jika masih pantas memohon, sahabat.

Benteng

Benteng ini serupa mercusuar. Tinggi menjulang tanpa pintu dan jendela. Di dalamnya punya jutaan anak tangga, entah untuk menuju kemana. Sengaja aku buat semacam itu agar bahkan semutpun undur diri untuk mencoba naik.

Benteng ini sempurna tanpa pengusik dari luar. Meski di dalam kerap gaduh, namun aku tahu pusat gaduh itu dari mana. Kegaduhan yang tetap terukur karena tanpa aksi reaksi dari manusia lain. Nyaman.

Sayangnya benteng ini lupa aku pasangi selaput anti bebauan. Sehingga kerap ada saja yang menyesap masuk. Meninggikan rasa penasaranku untuk sekadar menembuskan pandangan pada asal bebauan. Sampai saat ini, tetap tak terusik karena tiada yang istimewa. Manusia hanya lewat atau bahkan menyandarkan diri pada dinding luar. Lelah berjalan mungkin, lelah menapaki langkah selanjutnya. Namun kemudian manusia itu akan kembali melangkah. Kembali melangkah.

Aku di dalam sini menjaga yang perlu aku jaga. Mungkin bahkan lebih tepatnya menghindari nyata. Karena ini nyamanku, tak terusik, tak mengusik.

Aku hanya takut jika nanti dalam satuan waktu kemudian ada manusia lain yang berhenti melangkah pada benteng ini. Atau bagaimana jika ia berucap bahwa benteng ini adalah tujuannya sehingga hentilah langkahnya!

Baiknya aku pikirkan reaksiku lain waktu, karena tiada kausalitas tanpa reaksi, bukan?


Wednesday, July 29, 2015

Kalian!

Kemana kalian? Dimana kalian? Aku sudah di sini, tanpa permintaan, tanpa gugatan! Mana kalian?

Dekade ini sudah berlalu lagi. Namun, aku tak menemukan kalian. Tidak pernah. Tidak dimana aku membutuhkan kalian. Tidak ketika aku berpikir kalian ada. Descrates bilang, karena kita berpikir maka kita ada! Kalian mana? Sudah habis aku berpikir! Sudah lelah aku berharap. Mana kalian?

Bukan saat ini, bukan kemarin. Namun, selalu saja, setiap waktu. Salahku hanya berharap, berharap kalian ada. Ada di kepalaku, jelas lugas! Namun tak secuilpun ada di hadapku! 

Mengapa kalian selalu saja begitu?  Kalian, yang seharusnya ada untukku. Kalian yang seharusnya... Yang seharusnya.. Seharusnya! 

Tapi lihat ini!! Lihaatt!!! Selalu mereka, selalu! 

Lihat! Lihatlah! Air ini jauh lebih kental dari darah kalian yang berdegup di jantungku!

Sendiri

Kali ini nyata harus sendiri. Tanpa cakap dengan lain manusia namun ramai dengan si sendiri. Mengenalnya lebih dekat, menapaki kengeriannya, meniti ketakutannya. Sendiri. 

Si sendiri, mohon temani aku kali ini. Rasa ini terlalu rumit untuk dibahasakan. Aku hanya terlalu takut menghadapimu, sendiri.

Wednesday, March 4, 2015

Manusia

Perbedaan itu, saat yang satu memaafkan sebelum matahari terbenam, tapi satunya memaafkan dalam waktu 3 hari.

Perbedaan itu, ketika yang satu percaya surga ada di langit ke-7, tapi satunya yakin surga ada di langit ke-3.

Ah, manusia.