Tuesday, August 4, 2015

Benteng

Benteng ini serupa mercusuar. Tinggi menjulang tanpa pintu dan jendela. Di dalamnya punya jutaan anak tangga, entah untuk menuju kemana. Sengaja aku buat semacam itu agar bahkan semutpun undur diri untuk mencoba naik.

Benteng ini sempurna tanpa pengusik dari luar. Meski di dalam kerap gaduh, namun aku tahu pusat gaduh itu dari mana. Kegaduhan yang tetap terukur karena tanpa aksi reaksi dari manusia lain. Nyaman.

Sayangnya benteng ini lupa aku pasangi selaput anti bebauan. Sehingga kerap ada saja yang menyesap masuk. Meninggikan rasa penasaranku untuk sekadar menembuskan pandangan pada asal bebauan. Sampai saat ini, tetap tak terusik karena tiada yang istimewa. Manusia hanya lewat atau bahkan menyandarkan diri pada dinding luar. Lelah berjalan mungkin, lelah menapaki langkah selanjutnya. Namun kemudian manusia itu akan kembali melangkah. Kembali melangkah.

Aku di dalam sini menjaga yang perlu aku jaga. Mungkin bahkan lebih tepatnya menghindari nyata. Karena ini nyamanku, tak terusik, tak mengusik.

Aku hanya takut jika nanti dalam satuan waktu kemudian ada manusia lain yang berhenti melangkah pada benteng ini. Atau bagaimana jika ia berucap bahwa benteng ini adalah tujuannya sehingga hentilah langkahnya!

Baiknya aku pikirkan reaksiku lain waktu, karena tiada kausalitas tanpa reaksi, bukan?


2 comments:

  1. Jangan lupa, kadang ada orang yang ingin merebahkan punggungnya di dinding benteng. Bukan karena ingin berbalas peluk, melainkan tahu bahwa bentenglah tempat yang tepat untuk bersandar. sekuat itu.

    ReplyDelete
  2. Mati dong gw kalo ada yg bgituuu iiiiiiiiii

    ReplyDelete