Friday, December 30, 2011

oksigen?

lalu ia datang tanpa pertanda apapun, menghampiri tabung oksigen yang menjadi satu-satunya harapan untuk aku tetap hidup, menarik tangkupnya dengan kasar memotong selangnya dan menyisakan bebunyian mendesis tanpa henti. keterkejutan otak ini bebanding lurus dengan sang pulmo, tersedak-sedak meraih oksigen dari kumpulan monoksida dan dioksida, mengerejap tak terarah pada semesta udara.

aku bertahan di tempatku menenangkan sebagian organ, mendominasi kepala dengan himpitan dogma bahwa oksigen adalah unsur pelengkap yang tak dibutuhkan oleh keseluruhan raga serta jiwa. aku akan tetap bertahan pada hidup tanpa hadirnya sang oksigen, bila hari lalu aku mampu, lalu mengapa dalam satuan waktu kemarin aku koma tanpanya? lalu mengapa tabung dan selang-selangnya menjamahi ariku, menyesakkan warnanya pada paru dan mengirimkannya pada setiap alur aliran darah, mengikatkan dirinya yang hebat di setiap juntai neuron. kemudian melumpuhkan segenap aku dan keakuanku yang berjaya tanpa terkendali nyaris dalam tiga dekade.

detik ini, dalam jalan kematianku tanpa sang oksigen, masih dapat aku lihat ia menatapku. menggenggam erat selang-selang oksigen yang masih berdesis, beranjak mendekat kemudian menjauh lagi.. jelas sungguh bergetar keseluruhannya, sakit mungkin melihat dirinya sendiri berhasil melumpuhkan aku sekaligus merenggut senyumku yang mulai terbiasa menemaninya dalam setiap degup harinya. terdiam ia dalam duka.. koyak mungkin hatinya sekoyak hatiku atas tindaknya.

aku paksakan kembali tersenyum untuknya meski paru ini mulai porak poranda, adiksi oksigen itu tak tertandingi.. aku membiru dalam senyum memaku.

dalam detik berikutnya, aku hanya dapat menangkap bayangannya.. pudar, kian memudar.. menghambur menghilang.. indera pendengaran ini menjadi jauh lebih tajam.. ribut, rusuh.. lalu senyap.

entah berapa lama kegelapan menyelimutiku sampai aku rasakan kembali sang oksigen merajai aku, menjajahku kembali dan sayangnya.. ia menghidupiku. kini senyumnya yang menghardikku untuk tersadar.. "selamat datang kembali di planet bumi, sayang" bisiknya.

Monday, December 12, 2011

perjuangan?


Siang ini terik luar biasa, sesi foto pre-wedding yang aku amini ini baru saja menyentuh titik diistirahatkan karena matari terlampau jumawa di atas sana. Sedang ceria rupanya akan hariku sehingga begitu bersemangat memancarkan sinarnya nan terik.

Teh botol dingin dan Black Menthol ini membawaku pada beberapa masa lalu ketika seorang temanku tanpa syarat menjabarkan kisahnya..

Kami dapat duduk berlama-lama pada hari lalu karena persamaan nasib. Mencintai cinta yang sama-sama telah memiliki cinta sebelumnya. Tapi ini betul cinta, dan tak terbagi oleh siapapun, meski disisi sana cintanya terbagi antara dia dengan kaum sejenisnya yang kebetulan lebih dahulu bersama laki-laki itu.

Kisah mereka tak dapat disimpulkan dengan mulus, terlalu banyak kelumit didalamnya. Pre-wed yang lengang dan kisah tersembunyi dari khalayak terus mereka susuri bersama. Mereka tak hanya menyantapi kerikil tajam dalam cinta, mereka meratapi batu besar hasil muntahan merapi yang mengamuk. Sang pria terikat dalam hubungan serius yang direstui kedua orang tuanya. Pula berencana menikah tahun berikutnya.

Mungkin ini hanya sebuah bentuk perjuangan akan cinta, menorehkan pengabadian dalam lembaran buku kehidupan. Temanku ini berjuang keras dalam mempertahankannya. Semata ia percaya sungguh cinta mereka sejati adanya. Menghalalkan jutaan cara untuk tetap bersamanya dalam suka dan sedih, dalam untung dan malang.

Nuraniku terusik di awal perencanaan temanku ini, mengejar moment katanya. Mempercepat pernikahan tanpa restu sebelum pernikahan yang direstui itu terselenggara. Mengabdi pada cinta yang dipercayakan oleh sang khalik untuknya, untuk mereka berdua.

Tepat siang ini mereka melegalisasikan kisah mereka, setelah perjuangan dan pengorbanan yang panjang dalam segenap kerahasian di muka umum. Ya, mereka melegalisasikannya.. menyeberangi selat malaka. Aku sebut perjuangannya membuahkan hasil, cinta mereka tetap berjaya meski bongkahan batu besar itu belum terlewati. Pula pernikahan berikutnya tetap harus dihadapi. Semoga ia, cinta dan rencananya sejalan dengan rencana ilahi. Semoga... Sementara aku berada disini, dalam peran sebagai fotografer untuk pre-wedding yang lain.

"Ne, yuk, mulai lagi, udah jam 3 nih" suara laki-laki calon mempelai itu memecahkan lamunan panjangku.

Sesi sore kembali dimulai, kembali aku mengintip dari lubang kamera, menghasilkan beberapa frame lainnya.. Tersenyum melihat kedua anak manusia ini mengikuti arahanku.

Sungguh, kesalahanku kali ini adalah berada disini, memeluk erat Alpha 200. Menyetujui sesi pengabadian cinta dua insan ini, karena sang calon mempelai laki-laki ini yang mengiba padaku kemarin malam.

Maaf, aku gagal memperjuangkan kita, darl.. Pintamu semalam telah aku penuhi kini. Tanpa gugatan, aku menjalankan peranku dalam pengabdian cintaku atasmu. Meski dalam relung ini jiwa menjerit meronta "seharusnya aku yang ada dalam tiap frame ini bersamamu, darl.."

semoga


Aku berdiri disini, menunggunya..

Ditemani alunan musik pengiring dengan kekhasan yang begitu membahana di telinga. Suasana manis menyeruak ketika aku menoleh ke belakang dan melihat semerbak warna-warni memenuhi rautnya yang tidak biasa.

Ia berjalan perlahan namun tegas, dalam jas hitam itu ia terlihat lebih dewasa dari hari-hari sebelumnya. Ia tersenyum menyapaku dari lorong ini, tegas dalam tekadnya yang tak dapat digugat oleh siapapun, termasuk oleh kedua manusia yang menghadirkannya ke planet bumi.

Kini ia tepat disampingku, menatapku lekat-lekat dalam gaun putih pilihan kita berdua. Tersenyum sekali lagi sebelum prosesi dilangsungkan. Sementara aku berbinar dan bergetar, sungguh tak pernah aku duga hari ini akan terjadi.

Hari yang aku tunggu dan aku mohon agar terjadi. Hari yang menegaskan kisahku bersamanya meski terselubung tanpa restu, meski harus melawan semua perintah bahkan walau harus melanggar kaumku sendiri.

Perempuan itu akan menangis melihat kenyataan ini. Maafkan aku, perempuan, namun aku juga mencintainya sama seperti kamu mencintainya. Aku membutuhkannya dan akan terus bersamanya meski maut memisahkan. Aku yang akan melumat kemarahanmu padanya, aku yang akan menjadi tameng untuknya pabila kamu menghardiknya. Sebab bila kamu menyakitinya, kamu menyakiti aku.

Vow telah diucapkan, sakral telah ditorehkan. Kita tidak lagi dua melainkan satu. Bantu aku mendapatkan persetujuan terakhir dari kedua orang tuamu, sayang. Semoga mereka mengerti akan cinta kita. Dan pembatalan pernikahanmu dengan kekasihmu nantinya tak akan pernah aku mohonkan. Semoga saja..

Sunday, December 11, 2011

luruh


Bungkus ke empat baru saja aku buka, botol ke tiga menemaninya. Ruang ini terlampau berasap seketika. Mereka berdesakan mencari ventilasi, membumbung ke langit-langit dan menjejalkan diri ke atas pintu yang sedari tadi aku tutup rapat.

Sejalan semuanya hari ini, sejalan dengan penat yang aku derita tanpa sebab. Kantung mata ini pula rupanya telah penuh, tak mampu lagi menampung air didalamnya. Pakaian ini pun masih utuh menempel pada tubuh, tepat seperti pagi tadi aku kenakan.

Tawa denganmu beberapa menit yang lalu ternyata hanya semerbak yang melintas tanpa menetap. Sebab dalam detik ini berita yang kamu sampaikan meluluhkan benteng tawaku. Meluruhkannya jadi debu, meninggalkan aku sendiri dalam tatapan nanar berbayang, tak fokus oleh sebab mata ini terpenuhi air yang mengamuk melepaskan diri dari rengkuhan kantungnya.

Lalu mengapa kamu harus hadir dan meluluh-lantakkan tingkap egoku? Kamu tak ubahnya semacam nikotin, kafein, alkohol dan MSG yang sungguh tidak aku perlukan namun aku butuhkan. Menyusup dalam aliran darah dan menjejalkan adiksi dan afeksi yang tidak biasa, menjadikannya sekelumit kebutuhan yang terus akan diminta oleh tubuh pabila hilang dalam jerat-jerat syaraf.

Kejahatanmu tak dapat ditoleransi, kamu menanamkan tumbuhan berakal tunggang pada hati yang keras. Menyelusupkan akar-akarmu sampai pada pusatnya. Seketika dalam hitungan detik kamu serabutkan tumbuhan itu dan meninggalkan liang tak tertutup sampai akhir hayat. Dengan persetujuan sang esa-kah kamu melakukannya?

Lalu mengapa jejak kaki kita harus bertemu, berjalan sejajar dan bersilangan? Jika pada akhirnya aku akan kembali melangkah sendirian?

Botol ke empat kembali menemaniku, melarutkan segala hal tentang kamu. Semoga waktu kembali menyembuhkan aku. Meretaskan batas sunyiku dalam kepulan asap yang semakin membiru.


*pict taken from http://www.tradebit.com/filedetail.php

Wednesday, November 16, 2011

Amarah

Dalam tingkap kesabaranku yang lekas menyentuh titik didih, kini kamu cobai sekali lagi. Dengar, aku bukan manusia para umumnya dan aku tahu bahwa bahwa terdapat unsur kesengajan dalam tindak tandukmu akan aku. Lakumu tak ayal dari sesah pada setiap nadiku, memaksaku merenggangkan aorta untuk memompa gabungan hemoglobin, eritrosit dan leukosit pada waktu yang sama. Memaksa mereka menemui sasaran dan bergumul di kepala, serta merta meningkatkan nada pada pita suara mengakibatkannya memberikan sensasi erangan yang tidak biasa.

Aku menghardikmu tadi, mengumpatkan kata yang wajar aku lontarkan namun kali ini dalam dentuman suara yang tidak umum. Sungguh kali ini kamu telah memperdayaku tanpa aba-aba. Kamu sungguh memuakkan!!! Berjaya di sana dengan keangkuhan tak terperikan, tersenyum di atas pedihku yang merintih akan kasih. Sementara aku meranggas tanpa batas, di sini aku memaki tanpa henti.

Khianatmu tak kan terhapuskan meski darah berhenti berotasi pada tubuh mortal ini. Tipuan dan muslihatmu tak akan terampuni walau bumi luruh jadi debu. Sungguh, bahkan segenap jagad raya ini tak akan mampu memaafkanmu, seberapapun kamu bersimpuh, memohon dan mengaduh. Kejahatanmu tak mungkin lekang oleh sang waktu. Dalam masa Berikutnya, khianatmu akan dipersamakan dengan sejarah dunia, tertoreh dalam kitab raja-raja.. Keduanya akan sama buruknya dengan masa kegelapan Roma Katolik pada abad pertengahan. Dan aku mensejajarkan kamu dengan kisah-kisah terburuk dalam fana.

Dengar wahai kamu sang arogan, serapahku akan menyertaimu sampai pads akhir zaman! Khianatmu atas kasih putih ini akan menghentikan langkahmu dalam pencarian akan sejatinya cinta. Teruslah mencari dan teruslah mengetuk setiap pintu hati. Sebab sejak mula-mula hatimulah yang tak diberkahi pintu oleh sang Khalik. Meranalah di kemudian sebab hal itu sungguh setimpal dengan kedukaan hatiku yang kamu ganti dengan pelepah arang.

Thursday, November 3, 2011

aku dan hujan



aku terpaku di sini, dalam rapatnya kesesakkan jakarta, ditemani genderang klakson yang meronta memekakan telinga. menerawang menembus jendela yang basah penanda penghujan telah menyapa bulan ini, menyempurnakan pikuk jakarta raya dengan kepadatan lalu lintasnya di jumat malam ini.

pada detik berikutnya aku memutuskan untuk menghentikan laju argo burung biru ini, menghamburkan diri dalam sisa gemericik hujan. melangkah memilih jejak yang tak tergenang, berkutat dalam hirup pikiran yang hilir mudik membuncah pada gurat dahi. aku putuskan untuk menghirup kotornya polusi jakarta ini, berharap ia akan mengotori alam pikirku yang terlampau keruh. dengan niat teguh aku biarkan diriku terguyur gerimis sekadar hanya untuk melunturkan isi kepalaku yang penuh akan dirimu...

aku yang melangkah gamang dalam alur kisah yang terjal, menyala dan merona pada hari kerja, lalu kamu matikan pada akhir minggu. aku yang kamu biarkan terbang tinggi meski dengan syarat yang tak terbantahkan yang kamu usulkan. aku yang menjajal hati dengan hati, meski dengan kesadaran penuh kamu sungguh tanpa hati.

gontai aku teruskan langkahku dalam jarak pandang yang buram. hujan membahana, melumatkan tiap jengkal keringnya tubuh ini. sekeras apapun sang hujan ini berusaha, tak satupun keping pikirku terlepaskan bersama sang hujan.. bagian-bagian ini masih tertata dengan baik memenuhi cerebelum dan cerebum. semua tentangmu masih meraja dalam alam khayal dan nyataku. pula masih aku nikmati keberadaan dalam ketiadaanmu sesuai hari dalam samsiah.

ya, setidaknya sang hujan kini berhasil menutupi luapan air mataku yang tak terbendung lagi sejak tadi.


*pict taken from http://www.flickr.com/photos/zi-sky/4295120976/

Monday, October 31, 2011

kicauan

Lain kali kalo cabut dr training akan gw lakukan sndiri, tanpa nyetanin sapapun. Janji. Kecuekan gw ini bener2 berdampak buruk bwt sobat2 gw.

Lebih ga enak lg krn mrk bener2 takut + ga enak sm ibu itu, sdangkan gw masi nyari tau dimana salah gw. Apa namanya si dene kl bkn Egois!

Mrk peduli dan harus peduli krn mrk kenal sm ibu itu, gw? Ahh.. Bener2 MT gw jumat kemarin. Kalo gw bs apus smuanya. Gw apus pasti.

Gw cm ga mao ngebuat mrk susah, dan apa.. Jelas2 mrk susah skrg jdnya.. Sahabat yg baik kah gw?! *terjun dr lt. 21 gedung utama* :'(((

And I'm humbly sorry for what I've done that impact you both directly, mased + paldo :'(((

Ahh ngerasa bersalah sm temen itu berjuta kali lebih nyiksa drpd sm org yg ga gw kenal. Huhuhuuu.

*balada si introvert (atau pengecut) yang ga bisa ngomong langsung dan lebih milih buat berkicau di twitter bahkan tanpa mention orang2 yang dimaksud, padahal mereka punya account twitter*

Friday, October 28, 2011

istana pasir

Arsitek ini memberanikan diri keluar dari benteng bertingkap yang dibangunnya sendiri. Benteng yang ia dirikan dengan penjagaan ratusan kali lipat, dengan bata terbaik dan pondasi terdalam. Meski tanpa jendela dan pintu, benteng itu berhasil memproteksinya dari ganasnya dunia luar. Membuatnya merasa nyaman pada zona kenyamanan, tanpa perlu pengetahuan akan manis getirnya sapuan ombak yang dibawa arus dan kemudian teredam di pantai putih itu.

Arsitek ini akhirnya memutuskan untuk mencumbui amplitudo suhu di luar. Ia membawa sebuah kotak tertutup rapat bahkan kedap udara dan kedap cahaya. Meletakkannya tak jauh dari hamparan pasir putih dimana ia kini berpijak. Dengan ragu arsitek ini mengumpulkan butiran pasir yang tak terjumlah, mencampurnya dengan air laut yang menyapanya. Memadatkan dan memampatkan pasir putih menjadi bongkahan-bongkahan yang sempurna.

Dengan sejuta ketelitian akan suatu bangunan, arsitek ini mulai menyusun bongkahan demi bongkahan. Menambahkan dan mengurangi di sisi sana-sini, memastikan istana pasirnya sempurna berdiri meski tanpa pondasi. Meronggakan titik pusat kerajaan pasirnya dengan perhitungan luas tertentu.

Lalu arsitek ini meraih kotak yang dibawanya serta tadi, membukanya dengan air muka kekhawatiran yang melebihi batas normal. Meraih hati yang tersimpan didalamnya, dilampirkan dengan senyum pedih, ia meletakkan hatinya yang selama ini terlindungi dalam kokohnya benteng. Mempercayakan hatinya pada istana pasir yang dibuatnya tanpa pondasi, meletakkannya tepat pada pusat istana pasirnya, tanpa terjaga apalagi terlindungi.

Sungguh arsitek ini dengan seluruh kesadaran akan semesta telah mengetahui rapuhnya sang hati. Sungguh pula ia tahu bahwa kerajaan pasirnya akan tersapu ombak bila saatnya tiba, saat langit menjadi pekat dan pasang memburu ke pantai. Meluluh-lantakkan istana pasir ini tanpa sisa, menyeret hati yang diletakkannya serta. Meratap pada kepingan hati yang koyak, tanpa satupun anak manusia yang mampu menjadikannya kembali utuh.

Pedih. Sedih. Namun arsitek ini akan tetap mengumpulkan serpihan hatinya, kembali membawanya meski tak berwujud. Lalu ia akan kembali pada benteng kokohnya tanpa keluh. Kembali menyusun serpihan hatinya meski wujudnya tak akan pernah sama seperti sebelum.

Setidaknya ia mencoba, pernah mencoba.. meski satu-satunya kepastian hanyalah ia mempercayakan hatinya yang rapuh pada sang istana pasir yang sejak permulaan akan hancur tersapu laut.

Tuesday, October 25, 2011

jejakmu



aku berhenti kali ini, bibir pantai ini terlampau panjang bila aku menoleh ke belakang, pula terlampau pedih jika aku menatap ke depan. kini aku tertunduk, meratapi perihnya telapak kaki yang kadang tersapu buih ombak, namun lebih sering menapaki pasir nan panas melukai jemari. penampang jejak yang lalu masih tersisa pada wajah pantai, menyisakan jejakku yang tak terguyur air asin itu. sementara jejaknya sirna digulung angin darat menyertakan kembali pasir panas pada sisa tanda kehadirannya.

sungguh aku tidak meradang, kami berjalan bersama dalam hari yang lalu. sungguh rekam jejak-jejak itu semestinya empat, tak hanya dua. sungguh kemarin itu nyata dan bukan fatamorgana. ia menemaniku di sini, menyusuri pantai yang tak berkesudahan ini. disertai gelak tawa dan perselisihan, dikawani nikotin dan pelukan, sesekali saling menghindar untuk tetap berjarak pada kenyamanan.

lalu ia hilang tanpa pesan, kemudian ia pergi dalam lengahku. mungkin seharusnya aku tidak terpulaskan malam tadi, seharusnya aku tetap terjaga sambil menelusuri lekuk ketegasan pada rautnya dan setidak-tidaknya seharusnya ia masih di sini. di sini bersamaku menjalani batas darat dan laut yang sungguh tak bersahaja.

kejapnya melebihi kecepatan satuan cahaya, ia hadir saja serupa ia pergi saja. ia menorehkan arti mimpi, mengajariku bermimpi.. ia memandang pada seluk, tak hanya sedangkal permukaan.. ia memuja harap tanpa melecehkan, menelusup dengan segala kemampuan yang diberikan semesta padanya.. membunuh tanpa mematikan.. menyeruakkan alter egoku tanpa permisi dan berjaya tanpa sempat aku menggugat.

ia, jejakku yang lain, yang seharusnya masih tertoreh tegas pada himpitan pasir ini. jejak yang menggenapkan dua menjadi empat. semestinya.. seharusnya, setidaknya dalam kuasa khayalku.

Wednesday, October 12, 2011

tengkar

bukankah kita sudah sepakat untuk bertengkar malam ini! bukankah kamu yang mengaminkan permulaan pertengkaran ini? dan aku hanya mengikuti arusmu, alunan pertikaian yang semula kita titih bersama tadi. tapi lihat sekarang, lihat ini.. kamu membungkam di sana. meninggalkan aku dalam keganjilan asa tanpa petunjuk.

kita berjarak puluhan kilometer saat ini, namun amarahmu menghardikku tepat pada bilah mataku. mengiris jera kesunyianku dalam kepadatan yang sama, menyesahku dalam tatap dinginmu tanpa ampun. ribuan huruf sudah aku torehkan dengan penuh makna, sebuah penjelasan yang sungguh aku susun tanpa cela nyata dari dalam jiwa. lalu apa jawabmu? lalu apa katamu? tidak lebih dari diam membeku.

kita sepakat untuk saling menjatuhkan tadi, kita sepakat untuk saling memahitkan tadi.. lalu mengapa aku yang tersudut kali ini? lalu mengapa jerat kepanikan akan kehilanganmu menyeruak tanpa pesan sebelumnya terhadapku? lalu mengapa kamu tetap saja membisu disana, membungkam dalam sekam. sungguh jika jarak ini dapat aku eliminasi dalam sekejap sapuan mata, akan aku lakukan. merengkuhmu meski dalam kesunyian di antara kita, walaupun hanya sebuah penegasan bahwa kamu tetap ada di sini, setidaknya hanya itu yang dapat aku gugat. sebuah gugatan tanpa alas hak atas keberadaan kita.

menghardiklah, mengumpatlah, buat aku paham akan kebekuan ini. kepanikan ini telah beririsan dengan kedukaan tanpa batas. menelusup tanpa arah pada batang otakku dan mematikan aliran darah pada vena dan aorta. keduanya mengakibatkan bilur-bilur kejujuran yang lama aku mampatkan ini terserabut tanpa seijinku. melepaskan harga diri yang aku junjung sejauh dasar bumi dari nirwana. menumpahkan tiap serpihan hati yang tersembunyi dengan manis di dalam rongga dada, melukaiku ketika kesemuanya tertumpah padamu.

hina saja aku setelah pengetahuanmu kini sempurna terhadapku. terbahaklah atas pengakuan-pengakuanku ini. lihat aku yang kini tertunduk dalam cekam yang membiru, menangisi diri sendiri karena telah melampirkan rapuhnya hati ini tepat pada keseluruhan dirimu.

Monday, October 10, 2011

chocolate molten cake

"hey, kamu dapet salam dari chocolate molten cake, jam 6 ya!"

pesan melalui jejaring sosial itu terbaca tepat saat notifikasinya bergetar, mengubah kelip cahaya hijau menjadi merah. kecanggihan teknologi ini sungguh dapat mengalihkan skala prioritas, kicauan jejaring sosial ini terasa lebih penting dibanding rentetan pesan lainnya. hebat.

kemudian demi rentetan pesan itu aku merunut padatnya jakarta, duduk termenung pada kotak besi raksasa sembari melemparkan titik fokus pada gemerlap warna merah berderet tanpa putus. pendarnya kadang menusuk mata, walau tak terlalu menyakitkan jika disejajarkan dengan bebunyian yang dihadiahkan para penemu pada kuda besi serta umpatan kasar dari liang tenggorok para pengendaranya. ya, inilah jakarta.

sampai juga akhirnya aku pada pintu merah itu, menunduk sedikit sebelum membukanya, memastikan pengirim pesan sudah menunggu dengan buruk, seburuk ketepatan waktuku pada janji-janji pada umumnya. ia mengangkat pandangan ketika aku membuka pintu, tersenyum penuh makna dengan gelengan kecil yang sengaja dibuatnya.

"telat.. yah namanya juga kamu, kalo gak telat bisa kebalik malah semesta"

aku melempar setengah tubuhku pada kursi hijau itu, mengaduk-aduk tas mencari pemantik api dan sekotak hijau penenang degup nadi yang berlebihan. membakarnya dan memulai percakapan ala kadarnya namun selalu menarik. tertawa lepas tanpa gugatan, menertawakan jagad raya yang tak berkesudahan. bersamanya memang selalu luar biasa.

"ada kabar apa? masih di pegadaian atau beneran kekunci di benteng?" ujarnya sambil mendesakkan cake cokelat dan es krim bersamaan ke dalam mulutnya. ah, masih juga terkait dengan hati yang dipertanyakannya. anggap saja ini bentuk kepeduliannya, sungguh bukan suatu sindiran. ia selalu berhasil menemukan jalan yang sempurna untuk menyelidik tanpa interograsi yang menyesakkanku.

"gw cuma minta sama Tuhan buat ngasih semua fakta kayak yang gw mao. sesimpel itu kok." setelah jawabku itu, tatapnya makin menyelidik dengan perlahan menelaah tiap kata yang telah aku lontarkan. "dan pasti dikabulin kan sama Tuhan lo?" selalu ada kata kepemilikan darinya jika menyangkut masalah keTuhanan. ia unik.

kembali aku meretaskan tingkat keangkuhanku kali ini, menggugurkan idealisme bersama yang diprasastikan dengannya. tertunduk dalam bisu kesadaran sempurna, menjabarkan kenikmatan akan kesalahan yang sedang aku sesapi perlahan. penjelasanku tak akan pernah selesai dalam hardiknya, dengan kenyamanan tertentu aku sungguh paham akan kelalaianku. perilaku 'ku kali ini sungguh bukan kelalaian, ini lebih pada kesengajaan yang didasarkan pada fakta-fakta ilmiah tanpa bantah.

"tapi gw gak pake hati kok, beneran deh, sumpah!"
"haha gw pikir malah udah dari awal dipake hati lo.. haha denial"
"isshh.. jangan baca gw lagi deehh. gak suka."

gelaknya menutup percakapan, membiarkan aku terkesalkan oleh tebakannya yang tepat. untuk kesekian kalinya, selalu tepat.

Tuesday, October 4, 2011

kabarnya, nantinya


Malam ini saya diiringi sebuah kabar kematian. Satu lagi nyawa manusia yang nampaknya telah lama gerah terkungkung dalam raga yang usang pergi begitu saja. Tanpa pesan dan tanpa alasan. Ribuan bahkan jutaan jerit doa menyertai pembebasan nyawa itu. Dalam gelak tawa ia menerawang menuju suatu tempat yang umumnya dinamakan surga, kerajaan tuhan.

Dalam keriaannya, saya tersentak. Dalam pelepasannya, saya termangu. Bercermin kaku pada segumpal nyawa yang masih menggelayut dalam rongga dadanya, yang membuatnya dikatakan hidup pada fana ini. Merayap dan beringsut-ingsut mencari cahaya dalam kebumian. Mencari nyaman, mencari cinta, ujarnya.

Nanti, kabar kematiannya mungkin akan disampaikan oleh angin malam yang menusuk rusuk, atau mungkin tercerna begitu saja oleh angin muson pembawa penghujan. Berita pelepasannya mungkin tak akan tiba tepat pada waktunya pada kedua bilah telingaku. Tetiba ia telah terendam dalam gundukan bumi yang arogan, menelannya tanpa ampun. Tanpa belas kasih akan pengetahuan atas clostrophobianya.

Dalam sejuta semesta ini, saya akan menerimanya jika hanya tersisa pusara. Sungguh sebab nisan yang akan tertorehkan namanya akan meniadakan dosa diantara saya dengan dia. Sungguh melegakan daripada menemukannya terkapar tanpa nama, tergeletak dalam ruang gelap kamar kematian pada rumah bersarang penyakit, atau bahkan terkubur bersama puluhan manusia lain tak bernisan. Tak dikenal.

Jika dapat saya memohon pada sang khalik, biarkan saya mengabdi satu kali dalam ritme sang bima sakti ini. Pinta saya hanya agar mengantarnya pada peraduan terakhir di planet biru ini, jika tiba waktunya. Hanya sebuah pengabdian untuk seseorang yang memberikan degup pada jantung ini, untuk seseorang yang disebut ayah, dimanapun ia berada saat ini, detik ini.

Tuesday, September 27, 2011

labirin

biarkan aku menyeruput segumpal karbon dioksida dari sudut ini. sungguh aku lelah berputar pada pusaran labirin yang pekat, tak berujung dan tak berpangkal.salahkan aku yang memutuskan untuk menapakinya, terkungkung di dalamnya dengan sejuta keingintahuanku tentang keberadaannya. ya, saat itu aku putuskan untuk menapaki labirin ini dan akan aku sesapi seluruh pelik dan peluknya.

sungguh aku tidak menyerah padanya, aku hanya ingin terpojok di sini, terpuruk dalam sudut kengeriannya. menikmatinya... menatapi dan meratapinya dalam siang dan malam. labirin ini penuh dengan dinding yang sama dan tak pernah berubah, ruang yang sama penuh liku, sungguh sudah aku lafalkan keseluruhannya. kini aku menerawang menyapa bintang pada malam, berharap tetap ditemani meski berjarak sejauh itu, yah.. setidaknya aku tidak sendirian.

bahkan keingintahuanku sampai saat ini belum terjawab, sungguh jejak langkahku dalam labirin ini tak kunjung usai. hanya perasaan yang terbangun, di suatu masa serasa ruang yang ini belum aku jelajahi, walau pada detik berikutnya aku yakin bahwa sungguh jejak langkahku masih tertoreh pada dasar ruang ini. membingungkan. mengesalkan.

kini aku marah pada jiwa ini. marah pada labirin yang tak berkesudahan ini. andai sebuah tangisan dapat menyelesaikan segalanya.. andai bintang itu dapat menunjukkan akhir dari labirin ini.. andai aku temukan jawabannya di sudut sana tepat setelah jalan menikung di depanku.. andai.. andai.. lagi-lagi hanya sebatas pengandaian.

pengulangan yang sama, candu yang sama. labirin ini jelas menyihirku dengan pesonanya. memabukkan.

Thursday, September 22, 2011

membiru

dalam kecamuk kelam dan kisruhnya ruang fana aku terjerembab dalam segenggam ketenangan. ketika duniaku dipenuhi roda waktu yang berpacu dalam liku, menukik tajam dalam pembuluh siang dan menggelayut hebat dalam gelapnya malam, ternyata tanpa sadarku ada sejumput keriaan yang tak terujarkan. ia tak semewah secangkir kopi, tak sesemarak taburan bintang pada langit, hanya sebuah petaka biru dalam padatnya detik yang melaju, terselip manis dalam sebuah percakapan. meronakan sebutir senyum dalam peliknya rutinitas, sungguh hanya untuk berbagi dan bernyanyi.

kisahnya mengadiksiku tanpa sebab, dendamnya menyayatkan arti persahabatan, keduanya terproyeksi sebagai sebuah kekaguman untuknya. pengetahuannya akan kesalahan dan keangkuhan mengetarkan sisi kemanusiaaku. membangkitkan emosi tanpa erosi, membuatku lekas-lekas mengerenyitkan dahi dan membakar batang berikutnya dari kotak hijau-hitam. mendebatnya dengan singit dengan segala pengetahuan hidupku, menegaskan kelugasan yang 'ku miliki tanpa cadar yang harus 'ku kenakan.

atas kerumitan argumentasi, lagi-lagi dirinya berjaya akan aku. mengemasnya dalam tawa yang adiktif, sungguh sebuah kekalahan yang aku alami berulang kali yang dengan cerdasnya dikemas tanpa kesenjangan. serupa rajaman nikotin yang berharu-biru dalam ikatan-ikatan hemoglobin, menyesakkan dan mencanduinya dalam satu satuan waktu yang sama.

dengar.. jangan mengurangi jarak yang ada, tetaplah pada lingkupmu dan aku akan bertahan dalam rentang ini. sungguh jangan mendekat, jangan biarkan aku tercekat pada pesonamu dan acuhkan saja aku dalam kebiruanku ini. setidaknya ini upaya terakhirku untuk menyusun kembali tingkap-tingkap keselamatan hatiku yang lama rapuh.

Monday, September 19, 2011

waktuku

kemana sang waktu? pergi kemana ia? sirna kemana ia? sibuk aku mencarinya, namun hilang saja dia tanpa jejak, tanpa asap. ujarnya ia akan menetap, berdiam ramah dalam selubung yang tersirat dalam degup darah dan hela napas. lalu aku mencarinya... mencarinya dan terus mencarinya... menyibakkan tabir kenisah dalam gelisah, tanpa sejumput pesan, ia lenyap tanpa sebab.

kilaunya masih terasa sampai lubuk mata, kecapnya masih tertinggal dalam rupa bisikan lirih, sulit terlupakan, sulit terungkapkan. dan aku berkutat disini tanpa gerak meski dalam senyap. menantinya tanpa aturan, merenungkannya dengan melawan hukum. dimana gerangan dirinya?

geram ini jatuh luluh dalam tatap matanya. bayangankah? fatamorganakah? benarkah sang waktu yang sibuk itu bersemayam dalam kilat matanya. saat ia memicing, jelas aku temukan sang waktuku dalam rupa sinisnya. benarkah ini akhir pencarianku? dalam bentuk yang berbedakah kali ini dirimu bernaung, hai sang waktu? berikan sedikit saja tanda. bersitkan sedikit saja kata, yakinkan aku kali ini... sungguh lelah jiwa ini menemukanmu.

dimana kamu sang waktuku? jangan permainkan aku lagi kali ini. terlampau rutin aku gagal, hingga bersua sang nadir. deru luka lama belum juga pulih darimu, maka rendah hatilah kali ini padaku. biarkan aku bersandar sejenak dalam kamu, tanpa harap, tanpa janji-janji belaka.

Thursday, July 21, 2011

dimatikan

pada alur ini, aku memutuskan untuk keluar dari cerita.. kisahnya masih bergulir meliuk bersama arus yang kadang terjal namun kadang membuai. sedangkan aku? aku telah menyingkirkan diriku sendiri dari gugusan kisah itu. peranku dimatikan oleh sang penulis. selesai.

aku selesai sebelum aku menjadi pengganggu, aku dibunuh sebelum aku mulai menjadi pengerat dan aku dihilangkan sesaat ketika aku berpikir akan merengek, memohon dan memelas.. tersungkur bersimpuh di bawah kaki si pemeran utama yang berkepribadian-ganda. aku tepat dibuang dari pigura novel ini sebelum aku menjadi terlalu antagonis dan melankolis.

kini aku berdiri di luar buku yang bersampul manis dengan warna merah jingga. dalam getir dan pahit di sudut ini aku tersenyum. sedikit mengembang oleh sebab peranku nyata memadatkan keindahan kisah tak berujung meski aku tak pernah mencapai ujung. banyak bangga oleh sebab aku cukup berani untuk dimatikan, sebelum sungguh aku menjadi duri perengek dalam buku kisah cinta mereka meski harus menyeberangi selat malaka.

Monday, July 11, 2011

RuangBiru

Ruang itu biasa aku sambangi pada waktu lalu, biasa memelukku erat pada hari lalu. Menyapa kenyamananku pada bidang persegi khas dengan warna biru hangat yang memanjakan mataku. Ruang itu lengkap dengan bebunyian yang sangat mudah aku lafalkan, setia menyapa genderang telingaku untuk menyampaikan pesan manis pada neuron-neuron dan pada detik berikutnya gumamanku menjadikan nada pengiring yang mencerahkan vena.

Memompakan para hemoglobin lebih cepat ke dua belah pipi, meronakannya dan menampilkan semburat tipis menandakan senyum dalam irama yang sempurna. Ruang itu dipersenjatain oleh bentuk-bentuk penyerap cahaya yang siap benderang cemerlang ketika bola lampu dipadamkan. Kembali Ruang itu membawaku jauh pada langit-langit malam yang artifisial, mendekapku dalam gubahan kerling orion yang tak sedetikpun memperbolehkan aku lepas memujanya.

Ruang biru itu mendayu dalam kelam pekat ditemani oleh bintang temaram yang ikut menari dalam irama petikan gitar terus menyihirku untuk kembali. Disempurnakan oleh bebauan yang menyeruak masuk dalam dinding-dinding tenggorok, berdesir bersama alveoli-alveoli pulmo. Pada tiap semerbaknya dapat aku kenali keberadaannya dengan jelas walau pengelihatan ini termampatkan.

Malam ini, aku berjarak tiga langkah pada sang Ruang. Tanpa perintah maupun kebolehan untuk menjejak kembali. Tiga langkah dari kenyamanan abadiku yang selama ini disirnakan oleh kamu. Kamu yang lagi-lagi tanpa penjelasan akan kehausanku pada himpitan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Kamu kembali membatasiku, menahan kerinduanku pada sang Ruang. Menyisakan aku yang hanya terpaku berdiri tak beranjak, hanya merapat pada dinding sisi luar dari sang Ruang. Sungguh aku termangu di situ, tanpa butiran kata.

Jangan persalahkan aku kali ini, rinduku membuncah tanpa arah. Bulir-bulir tangis ini sekali lagi menemaniku seorang diri. Semoga kali ini bukan lagi dosa sebab aku merindumu dalam redupnya kesedihan dan kesepian.

*11 Juli 2011, untuk kamu yang jumawa

Monday, July 4, 2011

(maha)karya

dalam perjalanan ini sudah terbayang dalam benakku sebuah rangkaian bait dengan tarian not balok yang tak pernah aku mengerti. aku perdengarkan berulang-ulang untuk memastikan patahan-patahan iramanya tepat dengan deskripsi yang akan aku selipkan didalamnya. untaian nadanya benar tepat sejajar dengan kecepatan dan percepatan gerbong-gerbong besi yang mengantarku kembali ke bilik privatisasi ruangku.

malam itu aku sibuk menghamburkan kertas, menuliskan barisan huruf yang berpadu memberi arti meski tanpa makna. menorehkan pada satu sisi dan menegaskannya di sisi yang lain.. mengabadikannya dalam cermin teknologi berpadu dalam selipan irama dalam gubahan karya yang telah aku jatuhkan pilihan sebagai bingkai bernada.

aku melakukannya dengan sepenuh hati tanpa pernah aku sadari. aku menciptakannya dengan senyuman tertulus dan tarian jemari yang gemilang tanpa pernah aku duga akibat akan segala karyaku itu. aku lepaskan helaan manis dan raut kebanggaan pada saat aku nyatakan karyaku sempurna, setidaknya sempurna bagiku. aku menjadikannya sesempurna benakku, tersenyum saat menyelesaikannya dan tersipu pada saat pengalihannya tepat di hadapmu. sebuah ciptaan sempurna untuk sahabatku.

setelah pengalihannya, kini aku menyingkir.. menjauh daripadamu dengan tertunduk. kembali tertunduk untuk sekian kalinya. aku hanya dapat meratapi tiap tetes peluh dan tiap jengkal keluh yang berkecamuk hebat dalam rongga hati dengan getaran infrasonik. memekik tajam dalam diam.

maafkan aku sahabat, kita tak akan pernah benar bersahabat karena aku tidak dapat menepiskan cinta ini yang terlampir tepat pada dirimu.


*20110604 - the birthday song by corrinne may*

penghakimanku

aku menghakimimu. ya.. aku menghakimi dirimu dalam sebuah aklamasi. keriaanmu telah aku padamkan dalam jarak secangkir kopi dan sebatang rokok. kesukaanmu sungguh telah aku bungkam tanpa kebolehan daripadamu. aku sungguh muak akan muluknya duniamu yang dengan penuh kesadaran menciderai hati yang kamu untai sendiri.

tarian percintaanmu tak ubahnya dengan perzinahan keduniawian. pelukan hangatmu menajiskan tahta lembaga perikatan yang kabarnya diatasnamakan dengan cinta sejati. aku memang tidak pernah percaya cinta sejati. aku memang tidak pernah percaya kesetiaan abadi, toh kesemuanya hanya sebuah permainan politik.. selalu bersama jika masih bermanfaat. oportunis, dan tidak pernah lebih mulia dari itu. aku apatis akan cinta? ya.

kamu menukarnya dengan manusia baru. manusia baru yang menurut pengelihatan fanamu jelas jauh melebihi kesempurnaan cintamu yang lalu. lembaga perikatan itu mungkin amat membosankan bagimu, terlampau membebaskan dan tanpa aturan. setidaknya itu yang dapat aku sarikan pada perbincangan kita kemarin dan kemarin lagi. kamu menemukan hati yang baru, cinta yang baru dengan banyak aturan dan kerapian yang jumawa. lalu kemudian kamu tukar kebebasan itu dengan rintihan aturan tanpa ujung. itu cinta? teori apalagi kali ini?! bukankah cinta itu membebaskan??

dalam pertanyaan atas cintamu ini, aku masih menunggu argumentasimu, penjelasanmu dan penjabaran berakal atas sikap polahmu yang sungguh menistakan nuraniku. jabarkan pembenaranmu atas legalitas cinta sejati itu kepadaku. deskripsikan nelangsamu akan pencarianmu pada sang kekal, pula kerinduanmu akan sang khalik. sepengetahuanku, semestinya perkara itu menjadi perkara pribadimu dengan sang esa. bahkan kamu tidak memerlukan agama untuk bercakap dengannya. lalu lihat sikapmu kali ini, kembali menyebut diri telah disalib bersamanya setelah dalam sepasang tahun yang lewat menyembahnya dengan khiblat ke arah barat!

aku menghamikimu kali ini. hati lamamu yang siap kamu singkirkan melalui meja hijau itu sungguh kebetulan memujanya pada keagungan jumat. sedang pujaan hatimu yang kini sungguh kebetulan bermazmur pada kemurnian minggu. aku menghubungkan keduanya tanpa alasan mengada-ada. hanya sebatas gunjingan kecurigaaan yang menggelitik serat logika pada kepulan aroma dari secangkir kopi.

coba runutkan padaku koneksitas antara penemuan cinta sejati pada kekasih barumu ini dan alasan spektakuler dalam kerinduanmu akan pencipta semesta. sungguh pendosa ini menghakimimu atas dasar keapatisan cinta dan tanpa teori keagamaan yang cemerlang. aku hanya sebentuk pendosa tanpa pengampunan akan jiwa raga. pembenaran perjudianmu akan cinta dan agama seketika memampatkan kemanusiaanku.

dalam penghakimanku ini tolong jawab rentetan pertanyaanku atas sikapmu.. "dimana nuranimu, malaikat hitam?"

Sunday, March 13, 2011

maaf

getar suaranya masih menggema hebat dalam gendang telingaku, pula bayangan mata ini masih tergambarkan pelik kesedihannya yang tak kuasa ditahannya untuk tidak menangis. jatuh sudah air matanya yang mendeskripsikan kepiluan dan beban hatinya yang tak pernah terujarkan kepada siapapun di permukaan bumi ini. aku sungguh berada pada waktu dan tempat yang tepat, yang diperuntukan oleh Sang Esa untuk hadir di hadapnya dan melihatnya meratap.

hati ini telah lama bungkam, tak berasa dan tertutup oleh ketidakpedulian yang meraja dalam jangka waktu satu dekade. kepelikan yang sama yang dihadapinya juga aku hadapi, hal itu yang melegalkan tindak sikapku untuk terus tiada peduli akan setiap untaian masalah yang terjadi di sekitar aku dan dia. aku terlalu lelah terjerembab dalam kubangan yang sama, berada dalam himpitan problematika yang sama yang menyesakkan aku dan dia. kelelahan luar biasa memperdayaku untuk seakan keluar dan pergi meninggalkan kotak pandora itu. meninggalkannya sendirian di dalamnya, tanpa peduli seberapapun tersiksanya dia dalam kotak pandora. aku sungguh telah menutup mata dan hati untuk sejenak saja mendengarkan keluhnya.

kini aku dipaksa kembali ke dalam kotak pandora itu oleh Sang Empunya Semesta, ditarik kembali untuk menghadapi dan mengatasi kekeruhan kotak pandora, tanpa satu kesempatanpun untuk bertahan atau membela diri. kini aku terdiam di dalamnya, berhadapan kembali dengan bayangan-bayangan kelam masa lalu, menemaninya dalam kepedihan hati yang terucap tanpa tarikan napas. ia memuntahkan kegalauannya padaku diiringi tangisan yang sungguh tak kuasa untuk aku acuhkan. aku biarkan ia terus berceloteh demi sebuah kelegaan, meski kehadiranku tiada bersamaan dengan solusi, namun aku ada dan bergeming di hadapnya dan kali ini, sungguh tanpa gugatan lebih lanjut.

pilu hatinya oleh sebab ditinggalkan oleh patahan hatinya, kini diperparah oleh kedengkian tak berkesudahan dari sang buah hati. makian yang ditelannya bulat-bulat, kesalahan-kesalahan yang tak dilakukannya tetap terus disudutkan kepadanya oleh sang buah hati. berkali-kali ia terdiam, berulang kali ia berdoa, namun serasa kesemuanya hanyalah untaian kesia-siaan yang tak kunjung padam. cercaan itu bertubi-tubi menghantamnya tanpa ampun dan lagi-lagi hanya sebait doa yang dapat mentahirkan hatinya untuk tetap bertahan dalam kotak pandora ini.

dalam keluhnya aku hanya dapat bertutur dalam hati, "maafkan aku telah meninggalkanmu selama ini dan berlari dalam kesibukanku untuk menghindarimu, ibu."

karyaku, katamu

Perbincangan malam itu masih tertoreh pekat dalam rongga ingatanku, malam dimana aku berhadapan dengan sisi lain kamu. Sisi yang tak pernah aku sangka sebelumnya, tidak sedetikpun terlintas dalam ruang khayalku tentang kamu. Ketegasan yang didominasi kegetiran meraja pada pilihan kata-katamu untukku malam itu.

Serasa bercakap dengan orang asing yang dalam tiap bulir kalimatnya menjatuhkan dan menyingkirkan kemanusiaanku. Sesahmu terhadapku sungguh tak terperikan, menyisakan luka lama yang menggelayut abadi dalam alam sadar dan bawah sadarku. Penghinaanmu atas aku mungkin kamu ujarkan tanpa sadar dan tanpa niat dari liang hatimu, namun sungguh, setiap kata dan gerak ekspresimu telah terpatri sempurna sebagai perendahan akan harkat dan martabatku sebagai anak manusia.

Mungkin aku memang bukan apa-apa bagimu, hanya sepintas rasa penghibur dalam malam kelammu yang tanpa teman. Sehingga kamu bercakap semudah ini padaku..

"Jadi lo maonya apa? Jangan bilang lo ga tau mao apa, mendingan mati aja lo kalo ga tau maonya apa."

Hardikmu itu terngiang hebat sedemikian rupa sehingga menjatuhkan sejuta harap yang telah aku ukir dalam temaramnya langkah kehidupan. Senaif itu aku berpikir kamu juga menyayangiku dan berharap ini bukan rasaku sendiri. Menyedihkan.

Lantunan kejumawaanmu kamu lanjutkan dalam beberapa baris kata serupa ini..

"Buat apa curhat sana-sini di twitter kayak sampah, tulis di blog supaya banyak orang tau kalo lo kenapa-kenapa? Gw ga butuh kayak gituan, gak ada hasilnya."

Kamu tahu, sayang, kamu boleh melihatku jatuh. Sungguh aku perbolehkan kamu berada dalam koordinat tanpa helai benang pembatas yang terlampir pada diriku. Bahkan atas keseluruhannya itu, kamu sungguh memiliki hak untuk tidak menyayangiku sama sekali, karena kamu manusia bebas sama seperti aku yang sama-sama beryurisdiksi. Namun untuk menyudutkan karyaku sampai di bawah titik nol? Sama artinya dengan kamu telah melanggar batas eksklusivitasku, mengokupasi yurisdiksiku dan mencarut-marutkannya seakan itu wilayah jajahanmu.

Percayalah, kasih ini akan tetap sama meski dalam kediaman. Rupawan benakmu akan terus berjaya atasku, serupa keagungan sabuk orion yang menerus aku puja. Tapi jika terus saja penjajahan ini tak berkesudahan, aku katakan padamu, gerilya karyaku tak akan pernah mampu kamu hentikan. Bahkan hingga lelah okupasimu di atasnya, hingga kembali berdebu dalam ruang ragu.

Pembuktiannya akan terjadi dalam satuan angka manusia. Bila masa itu datang, ia akan menghampirimu tanpa dendam, dengki maupun amarah.

Saturday, February 19, 2011

nurani

hp ini berkali-kali menjerit, menyisakan kedipan berwarna merah pertanda peringatan adanya pesan. aku meliriknya sesekali tanpa keinginan untuk meraih dan membacanya. tingkat kepedulianku sudah sampai di titik nol, dengan asumsi bahwa pesan ini dari orang yang sama. aku meraih gelas berisi kopi dan kembali membakar rokok, tepat saat hp itu berbunyi lagi. kali ini ia menelepon, mungkin karena keheranannya oleh sebab aku tidak langsung membalas seperti biasanya.

untuk apa aku menjawab kesemuanya, kembali mendengarkan keluh kesahnya, membuang waktuku yang terlampau berharga hanya untuk perkara yang sama, kisah yang sama dan kepanikan yang sama. kalau saja ia cukup berakal, bahkan aku telah menjabarkan segenap gagasanku akan perkaranya, resiko yang mungkin terjadi, pertimbangan untuk bertahan atau untuk menyerah. namun tak satupun yang dilakukannya, ujarnya ia hanya ingin menikmati kebahagiaan dalam kepelikan ini. dan baiknya aku biarkan saja ia berenang dalam luluknya sampai kehitaman melegamkannya.

lagi-lagi ia datang kembali dalam kebingungan, dalam kegalauan yang jelas-jelas telah aku jewantahkan dengan lugas sebelumnya. mengeluh tiada tepi tentang keinginannya untuk bertahan pada kekasih barunya namun tak pernah ingin meninggalkan legitimasi perkawinan. ia ingin keduanya dan sungguh itu mengusik tingkat nuraniku yang terdalam.

"kenapa lagi sih?" jawabku saat akhirnya 'ku putuskan untuk menjawab panggilanya.
"gw bingung, suami gw tau tentang hubungan gw!!"

"ya udah sih, balik ke suami lo dan tinggalin dia"
"lo kenapa sih? galak amat"

"gw cape denger lo"
"maaf ya.."

"gak usah minta maaf ama gw, bukan gw yang lo sakitin. suami lo itu."
"gw bingung beneran deh"

kemudian aku biarkan dia berceloteh dengan keluahan yang sama, aku biarkan telinga ini memanas karenanya. setiap untaian katanya menusuk-nusuk nuraniku kali ini. pemakluman atasnya sudah amat terlalu, aku telah mewajarkan hubungannya demi sebuah kesenangan dan kenyamanannya. tak mengapa sebab itu merupakan hak pilih dalam sekali putaran hidupnya, selama pelaksanaan hak itu tidak melanggar hak suaminya. kini ia sungguh telah melawan batas hak dengan sepengetahuan sang suami. menyakiti dengan sangat dan menjatuhkan harga diri sang suami sampai pada inti bumi. kemudian ia bertahan membela sampai tetes nafas terakhirnya untuk kekasih barunya.. sungguh bahkan ia tidak tahu apa untuk apa ia berjuang, sedang sang kekasih telah menyerah untuk bersamanya. fatamorgana yang ia pertahankan kali ini sungguh amat menyesakkan aku.

jujur, aku bukan malaikat, juga bukan Tuhan, aku juga melakukan dosa yang sama. sungguh aku juga pendosa.. pengulang dosa-dosa yang sama bahkan. namun pendosa ini masih bernurani sedikit lebih banyak daripada kamu untuk hari ini.

lalu telepon gengam ini kembali menyalak, aku meraihnya dan menyapa lawan bicaraku dengan hangat...

"hey sayang, aku udah di cafe yang biasa yah, kamu udah jalankah?" tanyaku lembut
"honey, suami kamu dateng ke kantorku sore ini. and we've talked, he knows about our affair, hon."

Friday, February 18, 2011

3 kata

tawamu menahanku untuk pergi.

ekspresi keriaan yang tulus dari wajahmu menarikku kembali di hadapmu, terbenam di sampingmu tanpa banyak merenung. mengalirkan serpihan jiwa dalam celoteh dan kicauanmu hari ini.. sungguh sebenarnya dapat aku abaikan jika aku mengeraskan hati, semudah memicingkan mata yang terserang kilauan matahari. namun aku tak ingin, hanya tak ingin.

aku telah melakukan kesalahan pada hari-hari lalu. membiarkan hati ini menguasai diriku tanpa kendali, mendidihkan titik-titik harapan yang seharusnya tidak ada. kesemuanya diperparah dengan konstanta yang terus bertambah dalam bentuk pernyataan lantangku kepadamu. sebaris kata "aku sayang kamu" yang terus aku ujarkan kepadamu dan terus berulang mengakibatkan doktinisasi pada bawah sadarku. sehingga kepemilikan menyelinap di antara kita, di dalamku lebih tepatnya. itu kesalahanku.

kini aku menggeliat, mencabut akar kebinasaan dalam bentuk pernyataan. menyimpan lekat-lekat tanpa terkatakan padamu, sungguh tak akan pernah terucapkan lagi. biarkan tiga kata itu berjaya dalam hatiku, tanpa perlu terdengar olehmu. doktrinisasi ini harus berhenti sehingga ia tidak akan mengkerdilkan hatiku. dan kita? kita dapat menjelajahi ruang sampel tanpa konstanta. bercengkrama dengan seluruh variabel dalam semesta peluang dan terus menyatukan mimpi dalam penjelajahan planet bumi.

sungguh, tawamu telah menahanku untuk pergi.


*46, are you still here (with me)?

ego

teriknya siang hari ini meninggikan egoku, biarlah aku berkeluh dalam kucuran peluh yang menguap secepat kehadirannya. maafkan aku sahabat, aku sedang amat keruh dengan pemikiranku tentangmu. maafkan aku yang sedang tidak ingin mendengarkan berat bebanmu yang menimpa jiwa dan ragamu dalam hari-hari ini. saranku telah habis sudah 'ku rangkai dengan khidmat dan kesabaran pada umumnya ketika aku dengan setia mendengarkan hatimu. namun kali ini, kali ini sungguh aku tak kuasa lagi menanggung beban bagianku sebagai pendengarmu.

ini tak hanya berlaku untuk kamu, sahabat, seorang lain juga baru melimpahkan kegetiran dan kekawatirannya padaku dengan tingkap kepercayaan berbanding lurus denganmu. kering rasanya kesabaran ini, lelah mendengarkan dan mengolah das sollen dan das sein, sungguh keduanya telah terenggut semangat dan kepercayaanku akan arti kasih sayang mula-mula, oleh sebab terlalu banyak mendengar intrik-intrik kepalsuan terlampir kebodohan pada kalian.

kali ini aku harus menyelamatkan diriku, banyak memaki dan berseteru dengan kamu, sahabatku. maafkan akan keseluruhan tindak burukku akan kamu. kamu membuat aku menjadi apatis dan skeptis; sinis dan sarkastik pada waktu yang bersamaan. ketidaksetiaanmu pada seorang yang disebut suami sungguh memuakkan aku. aku katakan padamu, mungkin raga memang tiada akan pernah berharga, sebab sang raga akan terus memburuk seiring dengan senjanya usia. tapi jiwa, hati yang bernaung dalam jiwa, tidak akan pernah membusuk jika kamu sedikit saja meluaskan batas toleransimu untuk seorang yang kamu ikat dalam lembaga perkawinan.

menyingkirlah dari hadapku, sahabatku, maafkan aku karena menghakimimu dalam benakku. kamu akan tetap seorang sahabat sampai aku tak berkutik dalam pusaraku. namun kali ini, tolong menyingkir sejenak, negatifmu mulai merasukiku, maaf.. tapi aku sungguh tak ingin tertular samparnya.


*so sorry kun

Wednesday, February 16, 2011

orion belt


kini aku terduduk di sudut nuraniku, tempat ternyaman dalam lubuk kehidupan, tempat dimana kebajikan dan kebinasaan tak kan pernah dapat menyentuhku. bintang-bintang menemani dengan setia, aku tengadahkan kepala ini memastikan sabuk orion itu tetap berada ditempatnya mengawasiku. kemudian aku hela nafasku seakan detik berikutnya aku tak akan bernafas lagi. aku raih kotak hitam-hijau dan mengambil satu batang dari dalamnya, menyalakan api, menyulutnya dan menghembuskan sisa-sisa sari berupa kepulan asap putih yang menyengat. merekatkan tangan kananku pada kaleng minuman campuran gandum dan hops yang terfermentasi. seketika dinginnya menyeruak dalam rongga jiwa yang sedang sesak, sedikit melegakan, kemudian kembali sesak.

peran apa lagi ini dalam jelajahku pada planet bumi ini? rasa yang menyamankanku kemarin aku renggut paksa atas dasar logika. sungguh berharap bahwa keputusanku benar adanya atau setidaknya merupakan kebenaran absolut untuk diriku sendiri. walaupun akibatnya rasa yang kini aku kecap tak ubahnya serupa aku tenggelam dalam kubik air yang marah. menghantam aku dari segala arah, menghentikan hakku untuk bernafas dan merampok tubuhku untuk meronta mencari kembali kenyamananku pada hari lalu. semakin kuat aku berusaha membebaskan diri dan menuju permukaan, semakin erat rengkuhannya pada kesengsaraan.

aku biarkan jiwa ini merana, meratap tanpa pertolongan. mengadunya dengan tingkap-tingkap logika yang menyembul pada garis idealismeku. aku bertahan untuk sebuah alasan, alasan yang belum tentu dibenarkan oleh awam, alasan untuk lari dari kenyamanan yang sebenarnya telah aku cari selama ini.

kembali aku menengadahkan kepala ini, mencari keberadaan Alnitak, Alnilam dan Mintaka sembari berkutat dalam peperangan antara logika dan hati. dalam kerumitan benak ini, aku hanya tepekur, andai aku dapat sedikit saja menyita waktumu untuk berbagi kegalauan ini, andai aku dapat menjabarkan kepeninganku sedikit saja bersamamu, akan aku jabarkan deretan kosa kata ini kepadamu...

kepergianku dari hadapmu bukan karena perubahan rasaku atasmu, bahkan sedikitpun tiada yang berubah dalam palung hatiku untukmu. inginku hanya kamu bahagia, meraih segenap cita dan asa sebab masa depanmu terentang luas dan cerah di depan sana. pencarian jiwamu masih akan panjang dan akan sangat tidak adil, pula tak bijaksana bila aku paksakan untuk menghentikan mimpimu hanya untuk bersamaku. semata fajar yang memecah gelapnya malam, demikianlah kisah hidupmu saat ini. sedang aku? aku merapat pada senja, aku akan tertelan selimut malam dalam waktu dekat. adilkah aku jika menarik sang fajar bergegas pada sang senja?

sesederhana itu argumentasiku untuk pergi, sungguh aku harus pergi sebelum aku banyak meminta padamu. argumentasi sederhana yang dilengkapi dengan kenyataan bahwa kamu dan kasihmu bertahan untuk seorang perempuan. perempuan yang kamu kasihi dalam putaran enam kali samsiah bahkan sampai dengan detik ini. logikaku kembali menyalak, memerintahkan aku untuk berlalu dari kenyamanan bersamamu. jika memang telah dituliskan oleh sang esa bahwa dalam satuan hidupmu akan bersua dengan perempuan lain, aku pastikan perempuan itu bukan aku. maaf, tapi sungguh bukan aku.

maafkan atas ingkarku atas pernyataanku untuk terus bertahan, maafkan aku atas pelanggaran perjanjian itu. aku tidak diberi kuasa untuk menjadi perempuan lain, tidak untukmu dan untuk yang lainnya. bertahanlah di sana bersamanya sehingga kepergianku tak menjadi sebuah kesia-siaan. sungguh ruang-ruang hatiku tak akan tergantikan selain kamu.

tegukan terakhir dari kaleng ini baru saja aku habiskan tanpa sisa, lalu aku kembali mendongakkan kepala memperhatikan sabuk orion yang bertahan pada langit malam, diiringi doa agar aku dapat bertahan dengan sang logika walau pekikan hati ini tak berhenti merana.


*inspired by no one else but you.

jantungnya

tepat seminggu yang lalu dalam dua hari berturut-turut ia tersedu di ujung sana. bahkan getar nadanya masih bertalu-talu dalam gendang telingaku ini. dukanya luar biasa tak terdefinisikan oleh aku, tanpa banyak menceramahi pun aku hanya dapat berujar sabar dan memompa sedikit semangat untuknya. harapku, semoga saja terlintas butiran semangat itu pada nyawanya walau hanya sejenak.

suara yang nyaris sama kembali hadir pada telinga kananku, sesaat sebelum aku beranjak dari kediamanku untuk mengumpulkan kembali jiwaku yang tengah terserak. getar suaranya masih sama namun kali ini terkobar ketegasan dan permohonan agar aku tinggal bersamanya malam ini. tanpa getaran keputusasaan itu aku pun tak pernah menolaknya, terlebih saat ini dengan getirnya getaran itu.. aku urungkan segala niat dan rencana, kini aku ditemani secangkir kopi menunggunya.

ia menyerahkan jantung yang masih berdegup dengan irama tergesa. diletakannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan kopi dan asbak yang mulai penuh, sembari berujar bahwa ia tak memerlukannya lagi, bahkan aku dapat membuangnya begitu saja tanpa permintaan darinya untuk dikembalikan. jantung, sumber segala nyawanya diberikannya kepadaku, kerumitan wajahnya seakan dapat menjabarkan segala pelik yang dihadapinya belakangan ini.

ia menyandarkan punggungnya, membakar rokok dan sesekali menghirup kopi hitam yang disuguhkan oleh pelayan rumah kopi ini. sepanjang pengetahuanku atasnya, bahkan kopi susu dapat menyakiti lambungnya dengan sangat, kini ia melahap kopi hitam? rupanya ia ingin merasakan kesakitan lain pada fisiknya untuk mengalihkan kesakitan utamanya. biarlah, jika itu mampu menenangkannya...

aku meraih jantungnya, terlalu miris melihatnya berdegup di atas meja. meraihnya dan membungkusnya dengan bajuku, seharusnya ini ia serahkan kepada satu dari dua lelaki yang mencintainya dengan sangat. semestinya ia cukup memupuk keberanian untuk memilih sebelum datang masa ini dimana ia pada akhirnya ditinggalkan oleh keduanya semacam yang terjadi saat ini. tiada sepenggal kata pun terucap dariku.

setelah habis gelas ketiga, ia meninggalkanku tanpa pesan. ia berlalu dengan senyum tipis dan menghilang di kerumunan manusia. aku kirimkan sebait pesan pada telepon nirkabelnya, apapun keputusanmu atas jantung ini, aku tetap ada di sini, sahabat, pada koordinat negatifmu, menjaga jantungmu meski keduanya meninggalkanmu.

Monday, February 14, 2011

memenangkan kekalahan

dengan tergesa ia menghampiri aku yang sedang termangu dimanja oleh cahaya lampu kota yang menyemut. seketika terlihat kalut dalam rautnya, namun warna simpul senyuman mendominasi sorot matanya. dengan sigap ia menarik bangku di sampingku dan meletakkannya tepat di depanku. wajahnya memperlihatkan kegusaran berlapis pedih disertai binar kebanggaan pada pelupuknya, pertanda ia telah memenangkan sesuatu.

kegamangan menyeruak alam sadarku, menyisipkan jutaan pertanyaan yang sedemikian rupa aku lontarkan saja padanya tanpa sempat diolah oleh saraf-saraf sensorik ini. mengapa ia dapat begitu murung dan riang pada waktu yang bersamaan? dari mana ia sesungguhnya? apa yang terjadi dalam putaran waktu manusia terhadapnya? kalimat-kalimat tanya itu tersembur tanpa titik dari rongga mulutku untuknya. dan ia.. ia tepat di hadapku dan hanya tersenyum.

pemantik menyala, membuyarkan konsentrasiku atas pertanyaanku yang belum juga terjawab. kemudian disusul kepulan asap putih yang berirama keluar dari liang mulutnya, senyumnya masih berjaya di wajahnya, ia menghisap paduan nikotin dan tar makin dalam, lagi-lagi tanpa sepatah kata pun.

akal sehatku seakan mati, keingintahuanku membabi buta tak terkendali, kali ini Tuhan sedang tidak memberikan kesabarannya kepadaku. aku menghardiknya, memaksanya untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya sehingga ia tiada henti menampilkan senyum dingin-getir pada sudut bibirnya. kembali, jawabnya hanya kepulan asap yang memudar disapu pekatnya angin malam kota Jakarta.

kali ini aku biarkan ia terduduk ditemani asapnya yang terus disambungnya, aku menjarak dua meter jauhnya, kembali mengumpulkan konsentrasi menikmati kilauan lampu kota. lama terdiam.. lama bergeming.. sunyi..

"aku menang dan kalah pada saat yang bersamaan" ujarnya datar memecah kesunyian, mengheningkan desiran bising angin dalam ketinggian 46 lantai dari permukaan tanah. aku tertegun menatapnya, menyusupkan ribuan kata-kata dan menyusunnya dalam rongga otak besar, mengartikannya menjadi kalimat dan merasakannya dengan hati yang penuh.

ia menang dan kalah pada saat yang bersamaan. ia menjuarai pertempurannya dengan dirinya sendiri, menjunjung tinggi nurani dan idealismenya setinggi pencakar langit membelah angkasa. kemenangan yang tepat diiringi dengan porak porandanya harapan akan cintanya pada seorang lawan jenis. sepanjang ingatanku, lama telah ia tak mencinta, kali ini ia sungguh mencintai dengan segenap hati, namun harus kalah oleh diri sendiri. tragis..

ia menepiskan egonya untuk keriaan manusia lain, ia memenangkan peperangan atas egoisme kemanusiaan. ia mengalahkan dirinya sendiri atas nama cinta terhadap sesama jenis meski harus meranggas akan cintanya kepada sang lawan jenis. sesederhana idealisme, ia hanya inginkan dua anak manusia itu bahagia tanpa tapal batas, serupa tepat ketika dirinya belum hadir di antara mereka.

kembali ia memantikan api, entah pada batang keberapa.. senyum kemenangan mirisnya masih menggelayut pada rautnya. ia menatap jauh entah pada titik mana, desir angin kembali berbunyi setelah bungkam tertindih percakapan kami. kemudian sunyi.. kembali sunyi.


Inspired by 46.

Saturday, February 12, 2011

monolog

"Apa kabar disana?"
"Hey, hehe sayangnya ga baik"

"Kenapa?"
"Tak apooo"

"Lagi bingung deh pasti"
"Ahaha, kurang lebihlah"

"Seumur hidup gw kenal lo, yg bisa bikin lo begini ya cuma hati, yakaan yakaann!"
"Ahahaha iya, kebaca ya?"

"Lumayan kebaca lah, kenapa?"
"Sekedar mengandaskan harap ajah"

"Too good to be true?"
"Aahaha lebih kepada totally impossible"

"Jadi akirnya dikandaskan?"
"Dibiasakan untuk menjadi biasa, tepatnya"

"Ga bisa dibiarin dulu kah? Dijalanin aja kayak lo sebelumnya?"
"Terlalu pake hati ternyata karena udah kelamaan ga dipake ini hati, jadi terlampau semuanya. Ini juga dijalanin kan namanya hehe"

"Lah malah bagus kan pake hati, manusia namanya bukan hewan"
"Dia gak mau kalo terlalu"

"Ahh akirnya lo jatuh cinta!!"
"Apaan si? Gak lahh, belooomm"

"Loh, ini buktinya, lo mau bertoleransi dengan melakukan apa yang dia mau, yakaan yakaann. Cinta itu toleransi."
"Ahaha ya sebut aja gitu deh, pun udah kandas gw"

"Haha bahkan kekandasan lo ini lo lakukan buat dia kan? Biar dia nyaman dan ga kebeban dengan ketulusan hati lo ke dia kan"
"Hmm kind of.."

"Harusnya dia bersyukur karena ada lo"
"Ahahaa not even close cross his mind kayaknya apa yang lo bilang ini, not even close"

"Hehehe cari lagu gih, biasa buat OST kan kalo lo"
"Ahahaha"

Sebuah Monolog seorang anak manusia dalam Rakib dan Atid

Saturday, January 29, 2011

jarak

jarak ini mencideraiku, dera yang ditawarkan tak ayal melukai perih telapakku. menorehkan luka baru setipis mata pisau yang entah sengaja maupun tiada maksud untuk tertera padanya. ia menumpukkan goresnya pada bagian telapak yang pernah terluka, mengulangi rasa pedih yang sama namum entah mengapa lebih terasa. panas yang disemburkan pada semburat awal, sungguh melebihi sengat yang pernah aku rasa. kemudian leleran merah berduyun-duyun keluar dalam ritme yang tak seragam, memadamkan panas menyengat sebelumnya. menyunggingkan senyuman tipis pada mulutku yang terkatup. sengat yang mula-mula kini beringsut terhapuskan dengan warna yang 'ku inginkan. lalu cecair merah itu terhenti, meninggalkan semburatnya pada kulit yang tak menyatu, memberikan ruang kepada semilir angin untuk menelusuk masuk pada dinding-dinding yang terbuka. kemunculan bisikan angin itu sejajar dengan krenyit di dahi dan guratan pada wajah, hanya untuk menahan pedih.. menyadarkan jiwa bahwa aku kembali tersayat, terluka dan terlupa.

buku-buku jari ini semula membiru, dingin tanpa teman. garis dan baris yang memenuhi wajahnya terlanjur menjadi runtutan monoton pada sang telapak. biasa tersendiri dan mengganjili, hingga aku kehilangan arti penting sang penyeimbang. dinginnya telah menjalar pada palung terdalam jiwaku. sampai pada malam yang biasa, tanpa rencana, menyergapku dalam kesunyian.

aku hanya ingin berbagi malam, berbagi langit buatan dengan taburan bintang artifisial ditemani alunan alat musik yang beraturan memanjakan telinga, meneduhkan hati yang selalu tergesa-gesa saat matahari tinggi. aku hanya bercakap sampai terlelap, tanpa permintaan muluk lainnya.. sampai pada kau berikan aku dekap dalam lelap. hangatnya menyeruak, memanggil satuan sel-sel sarafku dan memerintahkan sang motorik untuk bereaksi pada sang aksi. aku melebur dalam hawa yang tak biasa ini.. terlarut dalam sebongkah bangunan asing yang tak terlihat dalam kasat mata, aku mengalir tanpa arah.. hanya percaya tanpa siaga. mungkin aku terlalu lelah untuk terjaga, untuk terus waspada.. hingga tepat saat kau tawarkan sebilah dekap tanpa perisai keangkuhan, ia melumatku dalam keyakinan akan kamu.

saat ini kamu pada lintas benua dari keberadaanku.. jarak ini sungguh dapat meredupkan kilau logikaku. gemingmu di sana melahirkan serbuan ketakuatan akan sekelumit perubahan. pertanyaan bertalu-talu dalam rongga kepala, menusuk-nusuk tajam jiwaku yang semula nyaman, tolong kurangi jarak ini dan berhentiah diam! tahirkan aku dengan kembali di sini.. kembali pada letakmu, jangan bergeser, jangan tanggalkan aku meski aku hanya sebentuk lampiran. namun sungguh, kamu bahkan tak akan berharga tanpa lampiran.

kembalilah di sini.. hilangkan jarak yang membentang kejam.. kembali berbagi langit denganku, bercakap tentang kepastian akan dunia eksaktamu dan keabu-abuan akan dunia sosialku. mengalunkan petikan-petikan nada dinamik yang merambat dalam rongga pendengaran, mengecup gurihnya bebunyian yang dihasilkan oleh kekasih abadimu tanpa titik jenuh singgah dalamku.. pengertianmu yang tak berbatas menyita nyawaku untuk kembali memanusiawikan diri sendiri.. memantikkan pelita nurani dengan jerih payahmu dimana tindakmu itu serta merta memadamkan kejumawanku akan dunia soliter tempatku bernaung.

lepaskan jarak ini, bergegaslah kemari, jangan renggut nyamanku.. jangan dan tidak saat ini.


*inspired by you..

Tuesday, January 25, 2011

sandaran


hadapi aku kali ini, temani aku dalam kegelisahan akan pencarianku.. jangan tinggalkan aku seperti yang mereka perbuat, mereka menyerah atas aku.. sungguh mereka menyatakan diri telah menyerah dalam menanganiku. ujar mereka, aku terlampau tangguh untuk didampingi. hujat mereka, aku terlalu dinaungi angkuh, diam dan dingin. pula tak sedap dipandang, tak mampu dimengerti. seumpama fenomena gunung es.. sederhana dalam kasat mata, namun rumit tiada tara terselubung dengan angkuhnya dibawah permukaan air.

bertahanlah disini, skali lagi jangan tinggalkan aku.. tidak untuk sejenak, tidak untuk sedetikpun.. aku sungguh lelah membangun jiwa sendirian, aku lelah ditinggalkan.. aku sungguh menyerah untuk kembali mencari. bersemayamlah di hadapku, hingga aku dapat menyandarkan kecemasanku, keraguanku dan jutaan pertanyaan dalam kepala ini. menyandarkannya sejenak, mengandalkanmu untuk tetap disini, bukan untuk menjawabnya namun lebih kepada menunjukannya pada patok-patok kehidupan.

jangan menyerah, aku mohon.. aku sungguh sadar bahwa aku terlalu negatif, terlalu kawatir akan langkahku, tak pernah percaya pada hatiku dan segala bentuk pemikiran realistis.. nyata-nyata kesemuanya merupakan bentuk pertahanan diriku akan kerasnya planet bumi, penyangkalan akan ketakutanku atas pedihnya hati yang ditinggalkan sendirian.

aku paham bahwa esok hari bukanlah milikku, namun aku terlampau ngeri mengadapinya, hingga bertumbuhlah pengakalan difensif yang tiada terperikan. bahkan buah pikirku ini menyakiti diriku sendiri, menyergap asaku tanpa pedulikan aku. serangan terakhirnya padaku adalah khayalku akan kamu pergi meninggalkan aku seperti yang dilakukan mereka. aku meranggas setelahnya, mencoba bertahan.. kemelut ketakutan berlebihan mencengkramku, bahkan hal ini hanya buah pikir, tidak nyata.. belum terjadi, namun ia berjaya menyakiti aku dari dalamku sendiri dengan caranya.

'ku mohon bertahan untukku, bahkan pada saat aku tak mampu lagi bertahan dan telah kalah pada diriku sendiri.. biarkan aku bersandar padamu tanpa tenggat waktu.



*i trust you.

kekejamanmu


semerbaknya dapat aku kecap walau jaraknya sejauh fatamorgana di hamparan gurun pasir yang renta. jiwaku masih menikmati hadirnya dalam tahapan ini. walau kerusuhan di sana-sini kadang menghujam kejam dan kekawatiran menyeruak dalam waktu-waktu tak terduga. terus saja aku bertahan dalam terpaan hawa panas gurun yang kian lama kian menyerap cairan tubuh. sejajar dengan perolehan dehidrasi pada asaku, menyesakkan.. sungguh menyesakkan.

jejak tapakku tak lagi serupa, demikian cepat menghilang disapu angin pembawa butiran pasir. bahkan aku tak kuasa mengingat bentukan jejakku satu langkah yang lalu. tak pantas rasanya menoleh ke belakang, sama tak pantasnya untuk memikirkan sebentuk pijakan kakiku pada satu langkah berikutnya. aku hanya dibolehkan menelaah sejenak sisa pijakan ini untuk kemudian meninggalkannya tanpa terdeskripsikan, tanpa sempat menggelayut di bawah sadar.

dengan hamparan pasir hampa ini, sungguh aku tak memiliki masa lalu, pula tiada harap akan masa depan. gurun ini hanya menerpakan angin nan panas pemecah kulit, memberiku banyak matahari tanpa aku pinta dan dengan setia menyediakan kefatamorganaan di pelupuk mataku.

sungguh peradangan luar biasa atas hati dalam perjalananku kali ini. gurun ini menawarkan dirinya dengan lapang, jujur di setiap keberadaannya. kerasnya hawa yang mencekik di siangnya berbanding terbalik dengan amplitudo suhunya di malam hari. dua wajah yang sama sekali tiada aku pahami, asing.. masih tetap asing untuk penggalan hatiku. sementara ia hanya ingin aku tetap berada dalamnya, menorehkan seluruh energi positif yang telah lama sirna pada dirinya. menyerapnya dari hatiku tanpa menampikkan egonya yang tiada peduli akan sisi negatifku dan segenap kekawatiran hatiku.

gurun ini dan kesempurnaan alamnya mengajarkan aku untuk mengeraskan hati. menyingkirkan naifku akan mimpi-mimpi kasih sejati, kembali membuatku tidak memiliki masa lalu dan masa depan.. ia mendidikku akan hari ini saja, kebaruan akan dirinya pada setiap harinya selalu mencengangkan aku,, menjauhkan aku akan kenangan terhadapnya pada hari kemarin dan menyadarkan aku untuk tidak banyak berharap padanya untuk esok.

dengan senyum ini terus saja aku ingkari kelelahanku, menelusuri teriknya pasir yang tiada berkesudahan. keluahanku akan menjadi kesia-siaan, ia bahkan tak dianugerahi indera pendengaran demikian pula dengan hati. gurun ini telah meletakkan hatinya jauh pada hari lalu hingga ia tiada merasa apapun terhadap kecemasanku. kerasnya alam yang meliputinya telah mengikis kelembutannya, menyisakan ketidakpedulian akan penyiksaannya akan hatiku, sadar ataupun tidak, ia sungguh menyakitiku dengan sangat.

dan aku, aku tak ingin beranjak daripadanya. aku akan bertahan dalam terpaan kekejaman badainya dengan sisa hati yang bersemayam dalam relungku. dengan sejumput asa agar hatiku dapat ditukar dengan hatinya hingga ia kembali berasa, tidak untukku.. tapi untuk pasangan jiwanya.

lalu aku? bahkan gurun ini tidak pernah peduli akan kesedihanku..

Monday, January 17, 2011

monoton

Adakah seseorang atau sesuatu dalam ruang fana dan maya ini yang dapat menjawab sekelumit pertanyaanku akan keberadaanku? Hariku berotasi dalam suatu garis lurus tanpa hilir, di tiap sisinya hanya terdeskripsikan dengan gambaran monoton yang berulang, berulang dan kembali berulang. Bila pun pengelihatan ini kembali direnggut oleh sang empunya, sungguh aku tak akan menggugatnya. Ambillah, sebab aku sungguh hafal akan setiap sisi dari garisku ini. Semudah itu sejak aku menjajakan nyawa dalam fana ini dan ditinggalkan oleh kedua perisaiku.

Mohon jawab tanyaku, bahkan dalam hal yang sungguh terus aku lafalkan ini segenap inderaku tetap bersandar pada gemingnya kesadaran. Benak ini tiada hentinya mengokupasi segala tindak, menelaah tiap sudut bajik dan anarkiku. Keangkuhannya dapat menerka rekam jejakku bahkan untuk jejak yang belum ‘ku pijak. Sungguh aku tak pernah bersua dengan kebaruan, benak ini mengikat erat setiap warna yang telah ditoreh pada lembaran rasa. Memenuhi satu halaman, mematrinya dengan sempurna, tanpa kemampuan untuk menghapuskannya.. tanpa kemampuan untuk membalik pada halaman berikutnya.

Benak ini tetap mengotori lembar yang sama, mengulangnya dan berulang.. monoton, melelahkan. Ia menepiskan asa, mematikan rasa.. dan aku? Bahkan aku tak bernyali meronta. Terkapar di sini dengan tatapan nanar tanpa harap. Benak ini benar telah memperluas wilayah jajahannya atas aku. Menyihir aku dengan pengulangan yang tak terperikan. Menampilkan wujudnya dalam satuan warna serupa, hitam dan putih. Hanya hitam.. dan putih..

Satu dari keseharianku dengan sang benak yang telah terbiasa ‘ku kecap ini menggugah asaku, kilatan cahaya menghardikku dalam kelembutannya. Ia hadir dengan lampiran warna asing pada jendela jiwaku, memperkenalkanku pada merahnya amarah, hijaunya dekapan, birunya hati, jingganya percakapan, dan tatapan mata yang magenta.

Keberadaanya dengan sempurna menambahkan warna pada lembaranku. Menyempurnakan torehanku dengan sapuan warnanya, menggugah kegalauanku dari hari lalu dan menukarnya dengan jutaan harap. Ia sungguh sempurna dalam satuan napas lengkap dengan kejumawaan, kemarahan, keluhan, kerumitan dan ketidakmampuan untuk diterka. Seketika kenyamanan menyeruak dalam keakuanku, menindas egoku kemudian meninggikan khayalku.

Tinggallah dalam aku, setidaknya sampai angan akan ajal memanggilku untuk kembali. Meski akirnya ia akan menjadi monoton dalamku...

Friday, January 14, 2011

terguncang


berapa banyak waktu yang kamu butuhkan untuk membuatku jatuh? tujuh kali dua puluh empat jam? setepat kamis kemarin bersua lagi dengan kembarannya pada satuan minggu yang berbeda? tidak.. sungguh kamu telah berjaya, membuat aku porak poranda dalam hitungan sebaris kalimat. sebaris kata asing "i guess i still have"

barisan huruf yang tersusun dengan jumawanya itu telah menghentikan kembali putaran jiwaku. menghardikku tanpa tepi, tanpa tanda-tanda kemanusiaan sebelumnya. hentakannya sungguh identik dengan kehadirannya pada saat mula-mula. pesonanya yang lalu dapat menghentikan rotasi duniaku, kini hadir dalam serpihan huruf singkat, sesingkat "i guess i still have"

kejahatan apa yang telah 'ku perbuat sehingga kepedihan semacam ini yang wajib 'ku tanggung! lupa akan apakah aku hingga dunia mempermainkan aku! tahap pembentukan apa lagi yang dilakukan pandai besi kali ini terhadap aku, sampai hati ia menyesahku tepat dimana aku menjadi sang excalibur.

kini aku kembali tertunduk, kalah dan salah.. hamparan rasa termalukan menjadi santapan pengelihatanku saat ini. diiringi lantunan cercaan pada benak yang terus berulang mendoktinisasi bawah sadar. lengkap dengan degup gugup untuk terus menghancurkan tingkap-tingkap harapan yang terlanjur porak poranda akibat ulahmu.

keaphaanku kali ini telah melanggar hak kaumku sendiri. sungguh aku telah berada pada koordinat terendah dalam kemanusiaanku.. maafkan aku, perempuan.

*pic taken from google

semesta

aku terjerembab dalam sebuah keharuan semesta, membeku dalam lidah-lidah api yang kian menghangatkan biduk. semakin aku meronta semakin pula aku melesak kedalamnya. stalagnit dan stalagtit pada semesta ini menggugahku, memaksa indera berkarya optimal, berakselerasi pada ujung-ujung syaraf serasa aku menyatu dengan keharuan yang membirukanku ini.

relung penyusun semesta ini mengadaptasikan dirinya padaku. mendekap pada saat yang tepat dan mengendur ketika jiwa ini merasa terancam. semesta ini melindungiku dengan caranya sendiri, tanpa banyak menggugat, tanpa sibuk bertutur. ia sepertinya memang harus ada, ada untuk kembali menyadarkanku untuk bersandar, ada untuk meyakinkan aku kembali percaya pada rapuhnya hati yang terlalu piawai 'ku jaga. kerapuhannya tak akan tahir bila terus saja aku tahtakan di sana. hati itu harus kembali pada sang hulu, seberapapun rapuhnya, ia harus kembali terjaga. ya, aku letakkan kembali ia pada semesta.

dalam ribuan detik yang terlewati, hati ini aku semayamkan disana, tak tanpa perisai dan tanpa pedang, tepat di tengah semesta. sempurna dengan segenap luka dan sisa bilur kepercayaan yang terpatri dalam palungnya. meletakkannya pada semesta sembari terus aku mengawasinya sejauh jangkauan meriam dan mortir.

aku sejarak itu dengan sang hati, menatapnya tanpa lelah, terus berjaga.. namun lelehan air mata ini tak tertahan, oleh sebab rasa takut yang menyeruak di pelupuk. kekhawatiran melenggang dengan gemulainya pada buah pikirku.. sang hati telalu lama terlindungi dalam nyaman, kini harus bergeming dalam kerasnya semesta.. akankah ia bertahan? mampukah ia kembali terluka? terlunta!

andai aku sanggup, sungguh aku akan berlari dan kembali menyelamatkannya. meraihnya dalam diam dan mendekapnya tanpa batas.. hanya untuk memastikan ia terselamatkan dari ganasnya sang semesta.

namun di sini aku, sejarak dengan sang hati.. hanya dapat menatap dan meratap diselip bisikan-bisikan doa agar hati tak tersentuh nelangsa.



*pic taken from google

Sunday, January 2, 2011

me, me and yaa

For all those years have passed, I simply be me.
The me that somehow I know it well.
The me that I love most.
The me that sometimes I don't understand.

They know me that much, each of them with their heart.
The way I talk, the way I mad, the way I laugh, the way I surrender, the way I high, the way I down, the way I die, and the way I drop.

And now I've met them all in a person.
Letting me in, letting you know me.
Letting me feel, letting your hug.
Letting me laugh, letting you take the part.
And I have you since then.

I do hate you simply bcoz you are so me!
I keep myself alone and need nobody.
I trust myself that I don't have any twin soul.
But my heart stopped by the time I see your mind.
I met my alter ego inside you.
I finally found myself as an angel with one wing and the other one is right at your back.
I found the part that I missed.

I've found you! Could you stay,, like forever.. in my mind?


*thx to grass that so insipiring :D