Monday, January 17, 2011

monoton

Adakah seseorang atau sesuatu dalam ruang fana dan maya ini yang dapat menjawab sekelumit pertanyaanku akan keberadaanku? Hariku berotasi dalam suatu garis lurus tanpa hilir, di tiap sisinya hanya terdeskripsikan dengan gambaran monoton yang berulang, berulang dan kembali berulang. Bila pun pengelihatan ini kembali direnggut oleh sang empunya, sungguh aku tak akan menggugatnya. Ambillah, sebab aku sungguh hafal akan setiap sisi dari garisku ini. Semudah itu sejak aku menjajakan nyawa dalam fana ini dan ditinggalkan oleh kedua perisaiku.

Mohon jawab tanyaku, bahkan dalam hal yang sungguh terus aku lafalkan ini segenap inderaku tetap bersandar pada gemingnya kesadaran. Benak ini tiada hentinya mengokupasi segala tindak, menelaah tiap sudut bajik dan anarkiku. Keangkuhannya dapat menerka rekam jejakku bahkan untuk jejak yang belum ‘ku pijak. Sungguh aku tak pernah bersua dengan kebaruan, benak ini mengikat erat setiap warna yang telah ditoreh pada lembaran rasa. Memenuhi satu halaman, mematrinya dengan sempurna, tanpa kemampuan untuk menghapuskannya.. tanpa kemampuan untuk membalik pada halaman berikutnya.

Benak ini tetap mengotori lembar yang sama, mengulangnya dan berulang.. monoton, melelahkan. Ia menepiskan asa, mematikan rasa.. dan aku? Bahkan aku tak bernyali meronta. Terkapar di sini dengan tatapan nanar tanpa harap. Benak ini benar telah memperluas wilayah jajahannya atas aku. Menyihir aku dengan pengulangan yang tak terperikan. Menampilkan wujudnya dalam satuan warna serupa, hitam dan putih. Hanya hitam.. dan putih..

Satu dari keseharianku dengan sang benak yang telah terbiasa ‘ku kecap ini menggugah asaku, kilatan cahaya menghardikku dalam kelembutannya. Ia hadir dengan lampiran warna asing pada jendela jiwaku, memperkenalkanku pada merahnya amarah, hijaunya dekapan, birunya hati, jingganya percakapan, dan tatapan mata yang magenta.

Keberadaanya dengan sempurna menambahkan warna pada lembaranku. Menyempurnakan torehanku dengan sapuan warnanya, menggugah kegalauanku dari hari lalu dan menukarnya dengan jutaan harap. Ia sungguh sempurna dalam satuan napas lengkap dengan kejumawaan, kemarahan, keluhan, kerumitan dan ketidakmampuan untuk diterka. Seketika kenyamanan menyeruak dalam keakuanku, menindas egoku kemudian meninggikan khayalku.

Tinggallah dalam aku, setidaknya sampai angan akan ajal memanggilku untuk kembali. Meski akirnya ia akan menjadi monoton dalamku...

No comments:

Post a Comment