Sunday, November 18, 2012

kelumit kemelut

Lalu zona nyamanku diusiknya. Ekspresitas yang melekat pada ikatan-ikatan kromosom ini, ditariknya dengan paksa. Tidak muluk dengan bahan kimia ajaib yang sulit dijewantahkan.. Tidak rumit dengan istilah antariksa dalam astronomi semesta.. Hanya secuplik bisikan tapi cukup membuat kikuk dan hilang arah.

Lalu aku bergumul dengan batang terakhir di tangan ini. Hijau hitam kini berganti biru hitam, dalam kikuk belum juga aku putuskan untuk menhabisinya begitu saja atau menyimpannya untuk hari esok. Pintanya kembali menggeliat dalam tingkap kesadaran tertinggi. Kembali menusuk-nusuk egoku tak tentu arah. Menyesakkan, sangat!

Baiknya aku coba kali ini, kembali memasukan batang terakhir pada kotaknya.. Merelakannya untuk kembali mengalihkan konsentrasiku esok hari dan bukan saat ini. Pergumulan ini dimulai lagi, jeritan darah membahana terus meminta untuk aku jabarkan tuntas malam ini. Setidaknya untuk menenangkanku pada fase ini, seperti biasanya, adiksinya sungguh lebih dari dugaanku. Derunya makin memburu, kali ini jantung yang menggugat. Mengalahkan nurani dan otak sebagai pengendali utama jiwa raga. Kembali aku keluarkan batang terakhir ini, dan "klik"...

Perang apa ini? "klik" itu mengalahkan aku tanpa prasyarat. lebih rendah dari kata "menyerah".

Perang ini sungguh sudah dimulai, diawali dengan kekalahan nyata atas aku. Aku bergeming tepat di hadapku dalam kelugasan yang tak pernah aku miliki. Kini aku bergelut melawan ekspresi, harus membungkamnya sampai pada perut bumi, membiarkannya lenyap bersama nyamanku. Minor, madani yang terpinggirkan.

Kejayaannya membalikkan keadaan dalam ekstrimitas manusia biasa yang tak biasa. Aku merelakannya merenggut yurisdiksiku tanpa perlawanan. Menjadikan aku seolah benda asing. Pahit ketika introversi merebak, mengokupasi hati yang terproyeksi langsung pada aksi.

Aku kembalikan batang terakhir itu, menyisakannya kembali bertemu dengan sang fajar. Tersungkur dalam diam di tengah kecamuk nurani yang memaki. Namun sungguh, jangan salahkan aku bila gugatan perubahan ini menjadi permanen. Sebab hati, bahkan, adalah rangkaian kromosom yang diusiknya dalam lembutnya gugatan itu.

Wednesday, August 29, 2012

sebats

"sebats" yang dengan setia menandai perginya waktu menemani keriaan. menghantarkan akhir mimpi dalam peluk malam yang bergegas memaksakan bilah mata pada rekahan pagi. mengembalikan tingkap kesadaran pada kenyataan yang dengan gemulai menghardik bahwa mimpi hanyalah serabut sempurna dari celakanya kehidupan.

"sebats" yang menyuratkan bahwa kumparan detik bukan hanya terbang, namun menghentak gelombang khayal bahwa sang waktu sungguh mahal ketika kita bersisian. frekuensi sebats yang tak terbantahkan, menyadarkan kita pada gemerlap matari yang tak mau ditunda untuk memamerkan kesombongannya.

"sebats" yang mengakhiri lepasnya kuk pada ringkihnya bahu ini. menghadirkannya kembali lekat-lekat pada rumitnya hari esok. mengenakan topeng yang sama dalam hirup-pikuk keseharian, mengimbangi sang gengsi yang riuh-rendah mewarnai pelangi hitam-putih. berupaya bertahan sampai bersua dengan sang malam lagi.

"sebats" yang sungguh tak ingin aku dengar, sebab ia selalu mengakhiri mimpiku yang rupanya adalah jati diriku sendiri.

Friday, June 29, 2012

sisian

dia bertahan di hadapanku sembari berbisik...

"kemarin aku hanya membantu temanku untuk skripsinya dan marahmu tak reda sampai hitungan hari penghukuman. ingat bagaimana aku harus selalu mengalah ketika tiba-tiba anakmu sakit atau suamimu terpapar kumparan rindu? siapa yang prioritas siapa sesungguhnya?" "ironis"

ya, ironinya bersisian dengan cintaku pada jiwanya yang sempurna adam, namun terperangkap dalam format yang sama: perempuan.

Sunday, May 20, 2012

(harap)an

seingat saya sejak satu dekade kemarin, saya berjanji untuk tidak berharap. doktrinisasi hebat yang membuat saya bertahan hingga hari ini. tapi belum juga genap dua belas jam lalu, saya berharap. tergelontorkan begitu saja dalam teriak, dalam amarah.

inkonsistensi. lagi-lagi inkonsistensi. memilukan. memalukan. bisa jadi merupakan ucapan paling menjijikan yang terlontar dalam himpitan huruf. harapan. menistakan doktirnisasi saya. menjadikan saya serasa sama dengan manusia-manusia itu. harapan adalah kekejian.

sem.pur.na

kadang manusia lebih memilih untuk tidak bahagia selamanya. banyak manusia yang seperti itu malah. terlalu gerah dengan kebahagian, tawa dan bahkan senyum. kesempurnaan itu hadir bila kesedihan menemani keriaan. mereka bersisian terlalu rapat hingga kadang tak berbatas. sakit itu harus ada dalam setiap kesenangan. tangis itu harus siam dengan tawa lepas. mungkin itulah kesempurnaan. ketika keduanya hadir dalam silang hari. sehingga manusia ini tak terlampau jumawa dalam kebahagiaan, tidak pula terlalu kandas dalam kesedihan. seimbang, sempurna.

mungkin itu sebuah penjelasan sempurna atas pertanyaan mengapa aku memilih kamu. sejalan dengan pertanyaan mengapa kamu memilih tetap bertahan dengan aku. sempurna. seimbang.

Pluto

Ia hanya ingin sama dengan planet lain. Berpusat pada matahari dan setia berotasi padanya. Mungkin ia aneh, tidak wajar karena meski sama sumbu tapi garis rotasinya janggal dari planet lainnya. Menanggung risiko lebih banyak oleh karena tumburan dan singgungan dengan planet lainnya lebih dimungkinkan.

Ia memang tak semenawan bumi yang biru. Tidak membakar semangat seperti merahnya mars. Bukan bintang kejora yang indah semacam venus. Jauh dari gemerlapnya saturnus yang bertahtakan cincin. Tak pernah seakrab merkurius yang selalu lekat dengan sang matari. Terlampau jauh dan gelap, ia setia berpusat dan terus mengorbit pada matahari meski hanya mengintip.

Statusnya tak jelas. Kadang disebut planet kadang hanya ditahbiskan sebagai benda langit yang tak bertuan. Minor! Namun sungguh ia setia. Terus saja memuja sang matari sebagai pusat kehidupannya. 

Ia tak pernah mendekat. Jarak nyamannya tetap terjaga dalam satuan milyar juta tahun cahaya. Langkahnya tetap tertata sehingga gesekan pun tak pernah dirasa oleh planet lain yang lebih dekat dengan sang pusat. 

Kehadirannya tak dirasa, sebab ada atau tidakpun dirinya, sungguh tak akan mengubah jenjang semesta. Namun sungguh, ia lebih intim dengan sang pusat daripada keberadaan neptunus yang diakui. Jaraknya yang semu memperlihatkan kedekatan yang berteriak dalam diam dan tanpa deklarasi. Lalu salahkah ia memuja matari?

Betapapun janggalnya, seasing apapun dirinya, walau tanpa sebuah status keplanetan pada jagad raya, ia tetap nyata. Ia tak butuh pengakuan, sungguh, ia hanya lelah disangkal. Ia benar ada, ia Pluto, si Aquarius yang Minor.

Saturday, May 19, 2012

Gugatan Sendal Jepit

Dia masih diam saja di bawah meja kantor, tenang dan tak pernah mengeluh. Geliatnya terasa bila dikenakan, bahagianya nyata menyamankan sepasang kaki sang empu. Memberikan ruang lebih banyak tanpa memaksa sang kaki untuk sedikit merapat, bahkan dia tak pernah meminta untuk lebih dirawat.

Disejajarkan dengan sepasang hi-heels yang jumawa, bersih mengkilap karena lebih diperhatikan oleh sang empunya. Jika si hi-heels sedang pergi dalam rapat, dia biasa ditemani oleh si teplek hitam yang usianya tak belia. Teplek yang compang-camping di sana-sini, berdebu kadang basah, pertanda hidupnya lebih lama di perjalanan daripada berdiam di bawah meja kantor.

Ketiganya punya peran masing-masing, tepat dan sempurna bagi sang empunya. Tapi pernahkah sang empu berpikir atau setidaknya terbersit dalam nuraninya bahwa jepit ini iri? Si jepit yang nyaman dan sangat dipercaya ini berkeluh kesah. Dia hanya dikenakan saat sang empu merasa letih, lelah terhimpit hi-heels dan atas kelelahan itu, si jepit dengan setia memberikan kenyamanan. Melegakan sepasang kaki empu dan memberikan banyak udara tanpa batas ruang penyiksaan.

Jepit ini kemudian menggugat, ia dikenal oleh orang dekat dan para sahabat sang empu bahkan pengakuan dideklarasikan dengan lantang di hadapan mereka. Namun tak pernah ia dibawa ke muka umum, tidak dalam rapat seperti si hi-heels, bahkan tidak jua dalam perjalanan seperti si teplek, meskipun renta dihantam debu dan hujan, setidaknya teplek itu berada di ruang lepas tanpa batas. Diperlihatkan pada keluarga, sahabat-sahabat dari kantor lain dan bahkan dikenalkan pada orang tak dikenal selama perjalanan. Jepit ini merana, diakui hanya sebatas hati tanpa sebuah proklamasi. 

Terlampau tinggi mungkin harapannya jika terkait dengan khalayak ramai, bagaimana dengan perhatian? Jepit ini tak pernah mengenal tisu, lap apalagi semir. Pilu benar ia menatap perhatian ekstra sang empu untuk si hi-heels yang gemilang, didandani semir yang menawan, diharumkan oleh tangan bodyshop atau setidaknya diusap manis oleh tisu yang lembut. Yahh, bahkan dijadikan sederajat dengan si teplek pun tidak pernah. Si teplek masih sering bersua dengan tisu basah dan menjadi pasien sang semir sekurang-kurangnya sekali dalam tiap bulannya. Sedangkan si jepit...

Lalu benarkah si jepit sungguh memiliki arti bagi sang empu?

Thursday, April 19, 2012

binar hampa

langkahnya segontai tentara yang kalah dalam medan perang, lebih porak poranda karena luka-luka yang tak kasat mata. layu.

"gw pikir akan sampe mati, sayangnya ternyata ga pernah sampe di 4 purnama"

aku pernah melihatnya dalam tingkap terendah, ia terhenti di bagian bawah dari roda kehidupan pada saat itu. nyaris sama seperti malam ini. tapi binar matanya tetap ada pada saat itu, sekotor apapun asap yang menyelimuti selaput matanya, binarnya tak pernah seredup malam ini. kemana dia? ada apa dia?

candu dan nikotin itu pernah merajainya di hari lalu. menjadi lupa dan terlupakan akan seluruh kemelut yang dihadapinya. namun tawanya selalu hadir pada setiap hari, meski iris dan pupil yang tampak hanya separuh dari seluruh, namun lingkar hitam itu bernyawa. hidup. alkohol dan kimiawi lainnya itu tak pernah mengalahkan matanya. percikan semangat di dalamnya tak pernah pudar meski diterjang ketidaksadaran. hidup dan terus hidup.

sungguh bahkan aku tak kuasa bertanya malam ini. ia tepat di hadapku dan melemparkan pandangannya jauh ke utara. terdiam di situ dalam tangis yang tak henti. bukan luka biasa sepertinya atau setidaknya bukan sebentuk luka yang lalu, sebab air itu mengalir tenang tanpa gugatan, tanpa upaya. matanya meredup nyaris tiada, gelap dan tak berjiwa. yah, mungkin terserabut air mata, pikirku. pemikiran itu yang tersisa untuk sebuah ide positivitas yang dipaksa hadir. sungguh ini bukan dia, bukan manusia yang biasanya aku akrabi. sungguhpun bukan seperti mata yang aku kagumi sebelumnya. ada apa ini? hilang dimana dia? terkalahkan dari apa?

masih di sini, kini ditemani semerbak rekahan matahari di ujung timur yang mulai menggeliat menembus selimut malam yang mulai memuai. harapku cahayanya dapat membangkitkan kembali binar pada bilah matanya, sungguh aku telah bergumam dalam doa agar talentanya kembali. sekuat doaku untuknya, sekuat itu pula tak terkabulkan. ia beranjak dari hadapku, membuang puntung ke lantai atap dan meneroboskan senyum yang mengada-ada. getir. aku terburu-buru menanggapi geraknya, gagap, limbung. masih dengan raut terhimpit jutaan pertanyaan yang sama.

"somehow, a person is just meant to be failed in lovelife, kan Ne..."

ia berlalu, sementara aku masih mengerenyitkan dahi, meninggalkan aku dalam tanya dan menyisakan rekaman warna hampa pada dua belah matanya.

gelap

katamu menciderai aku. dalam usik jiwamu lontaran katamu itu sempurna melukaiku. tepat seperti sempurnanya sang nyaman yang selama ini hadir tanpa kusuk. meruntuhkan mimpi utopis milikku sendiri. merobohkan rangkaian tawa dalam sebuah kata. meleburkannya bersama asap yang berhambur di udara. ruang ini mungkin maksiat. jiwa ini mungkin sakit semenjak muasal. tak heran kau lantas berjarak, pergi menjauh dari rengkuh.

mati sudah lampu-lampu temaram yang kadang menyilaukan dalam nyamannya ruang ini. mereka biasa menari lincah dalam keceriaan yang tak terbendung. dan kini, bahkan tak menyisakan setitik sembulan cahayapun pada sudut. gelap, pekat. nyala korek api inipun terbenam dalam gulita. kalah dalam sebongkah kesunyian.

ruang ternyaman yang pernah melengkapiku seketika menjadi neraka di bumi yang tak ingin aku tinggali. dan kamu bergeming saja di ambang pintu tanpa hasrat untuk meraih. permintaan ini sudah percuma rupanya. argumentasi ini sudah sia-sia rupanya. matamu sudah terlalu dingin dan aku.. aku jijik dengan keberadaanku pada ruang ini! nista!!

terima kasih telah mematikan semua lampu dan menyerap seluruh cahaya.
terima kasih untuk menutup semua pintu.
terima kasih atas tatapan dingin itu. ia sungguh meluluhkan asa dan benar terpatri sempurna tiap aku memejamkan bilah mata. terima kasih.

Sunday, April 8, 2012

perasa(an)

"Kalo kamu punya perasaan, kamu gak akan ngomong gitu."

Kalimat itu menyambar rusuk sampai ke lubuk. Mengerutkan dahiku tanpa makna, mengerenyitkan amarah yang menyalak-nyalak sejak semalam. Dalam detik setelahnya, seketika oksigen menjadi barang langka yang nyaris punah di tempat ini. Ini, detik dimana aku merasa sangat berperasaan, penuh menyeruak sampai aliran darah malah ditudingkan tak berperasaan? Kejahatan apa yang telah aku perbuat?

Aku perintahkan seluruh detektif dan penyidik yang berdiam dalam tubuh ini mencari delik pidana yang dituduhkan itu. Sementara tangan ini kembali menyusuri kalimat-kalimat di atas, menyediakan mata yang membelalak mencari kesalahan. Menegatifkan seluruh rangkaian kata dan kosa kata, sepertinya tak ada makna terselubung dalam tiap huruf ini. Kriminalitas tertinggi yang harus dibumihanguskan jika itu memang terbukti. Aku mencari bersama para penyidik dan detektif. Menghilangkan tameng dan benteng pertahanan, membiarkan diri kalah dan salah. Tanpa sangkal secuilpun, tersangka ini menyerahkan diri, menjadikan dirinya terdakwa dan kemudian terpidana.

Sementara para detektif dan penyidik itu akan terbahak, menyeringai mendapatiku dalam keadaan ini. Atau malah mereka akan menangis dan tercengang sebab melihatku ditelanjangi oleh salah? Ekstrimitas yang nyata, pengakuan akan perasaan yang tak pernah menyembul sedetikpun. Seketika dirobohkan oleh kalimatmu tadi, tepat ketika aku merasa sangat amat menggunakan perasaan.

":)"

Lambang multi-intepretasi lagi yang menjelaskan. Tak perlu, kalimat tadi sudah terpatri, dipertegas dengan simbolmu yang sungguh permanen serupa tato suku dayak dan mentawai. Misil maaf sudah aku lontarkan pada satu kota, dan segalanya hanya bergeming di sana, tak tersentuh. Porak poranda sudah seranganku kali ini. Merapikan pasukan yang sudah tak bernyawa. Hanya sisa-sisa jasad dirundung roh gentayangan meratapi sang jasad. Percuma. Sia-sia.

Gerilyawan ini sudah mati ditelan senyum dan kalimatmu. Tolong torehkan kata maaf pada nisannya, semoga dimaafkan dan dilupakan salahnya oleh kamu. Sebab ia bukan sang empunya hak untuk menghapuskan kalimatmu yang terucap.

"Maaf"

Monday, April 2, 2012

:)

dia tercekat di sini dalam pekatnya raut yang meneduhkan. menjauhkannya dari kata bosan meski ia seorang pembosan, setidaknya itu yang ia kenal tentang dirinya sampai detik dimana alur hidupnya beririsan dengan alur hidup manusia itu. rontanya telah kian menipis, beralih kepada sebuah syukur tanpa batas ukur. kerutnya terurai tanpa sadarnya, dibasuh oleh kulum yang meronakan rupanya. ia menyerah pada akhirnya, bukan pada kalah namun pada nyata. asingnya pada sosial beringsut menjauh dari medulla spinalis, meniupkan kecap baru pada segenap syaraf yang menghardiknya pada kesadaran kenyataan.

"gw udah senang dalam 7 tahun blakangan! percaya kalo hidup gw ga akan berubah dalam bentuk yang drastis!"

hentaknya masih terasa bersama dalam deburan angin malam di sini. hari dimana ia datang untuk menyangkal, sangkalan pertama terhitung selama dekade persahabatan. malam itu, aku hanya dapat tersenyum di hadapnya. menikmati kegamangan yang mulai menjamahi relung rasa yang dilindunginya dalam tujuh kali samsiyah. setangguh itu ia membangun pertahanan, tersusupi juga akhirnya oleh musuh abadi terkasih.

rokok kesekian sudah aku habiskan tanpa hadirnya. intuisi ini berbisik bahwa kali ini murni bukan muslihat, hingga singitku tak terbangun sedikitpun dalam tunggu. ia akan baik tanpa kekurangan namun pasti tergenapi. terima kasih untuk hadir dalam cara yang ajaib untuk sahabatku, kamu.

Friday, March 9, 2012

ever


sudah aku bilang jangan mendekat! jangan pernah mendekat.. aku ini asing, lebih asing dari asteroid yang terhampar pada semesta. lebih aneh dari alien yang banyak digunjingkan anak manusia. bahkan aku merasa asing pada diriku sendiri. tak mengenal, tak pernah mengenal apalagi mengerti. ujarku sekali lagi, bahkan aku tidak pernah mengerti diriku. lalu mengapa kamu mendekat? untuk apa? atas perintah apa? untuk hadir dan disakiti olehku? karena tiada hal lain yang akan kamu peroleh selain sakit. semakin jarak ini menghilang di antara kita, semakin sempurna rasa sakit itu terpapar jelas padamu.

manusia ini terlalu terbiasa sendiri, mengalir tanpa arti. mengindari nyata dengan restu sang kuasa. membiarkan seluruh nyata jadi abu-abu hanya semata terkungkung rasa takut yang teramat hebat akan nyata sehingga aku terikat pada fana. terlampau jengah berinteraksi, menjauh dari reaksi atas aksi, memilih kebendaan mati yang tak akan bereaksi meski himpitan aksi telah dilimpahkan bertubi-tubi. terlalu lama dalam sepi menghasilkan kesempurnaan akan sebuah kata.. egois.

baiknya kamu perhatikan benar hari ini. hari dimana hujan yang sama hadir pada dua bulan yang lalu. hari yang sama dimana aku memutuskan untuk menjadi larut dalam gerimis berharap ia dapat menyembuhkan keterasingan dari orang asing ini. hari yang sama dimana aku menyakitimu lebih dari yang lainnya. situasi yang serupa yang mengakibatkan aku menyakitimu lebih kali ini, lebih dari hari itu, dua bulan kemarin. keadaan dimana aku meminta lebih, lebih dari umumnya yang pernah aku pinta. keadaan yang manusia lain menyebutnya sebagai keegoisan, memegahkan diri sendiri tanpa peduli akan kamu.

lihat hari ini, ketika aku mendefinisikannya sebagai kerinduan yang melampaui titik nadir, tanpa sadarku batas toleransi juga telah terlampaui. hilang ditelan egoisme manusia yang tak dapat dimanusiawikan. seberapa aku telah menyakitimu dengan niat hari ini. tanpa sejumput pengertian membuatmu ada dan harus ada. tanpa sudut kepedulian akan keadaanmu yang sulit, jauh lebih sulit karena keinginanku ini malah menyudutkanmu pada tingkap kesulitan yang optimal. torehan kerinduan ini pupus dalam pengertianmu yang melebihi batas asa dalam getir perlawanan akan panasnya raga yang melemahkan sinar matamu.

lalu aku hanya dapat menggelontorkan kata maaf yang tanpa arti. beroleh hasil negatif pada keberadaan hati yang membumbungkannya kepada pemikiran. menyakiti diri sendiri adalah jawaban terakhir sebagai pembuktian bahwa egoisme yang menguasaiku hari ini telah menyakitimu. kesalahanku untuk kesekian kalinya atas kamu. tergoda akan benda tajam yang dapat menandakan kesalahan sebagai luka, godaannya melebihi keinginan akan alkohol dan nikotin yang merupakan bagian dari keseharian yang biasa. luka kamu atas aku harus sama jadinya pada diriku, itu disebut balasan setimpal dan sepadan oleh doktrinisasi kepalaku. menandai diriku sendiri akan kesalahan fatal yang aku lakukan atas kamu, berharap sebagai pengingat yang sempurna sehingga aku tak melakukannya kembali.

lihat ini, camkan hebat pada bawah sadarmu, bahkan ketika kerinduanku menyeruak, aplikasinya tak lain hanya melukaimu dengan parah.. maka pabila untuk kemudian kamu menyerah dan mentahbiskanku kembali pada keterasingan, sungguh aku dapat pahami, sayang, sungguh...


*0903
*pic taken from http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc1/hs218.snc1/8531_1187094955171_1162226839_30562289_7904190_n.jpg

Thursday, March 1, 2012

...

apa ini? tanpa sadarku ternyata benda ini sudah tergeletak saja pada telapak tanganku. mengenali bentuknya saja aku tak mampu. memperhatikannya lekat-lekat tanpa mata sempat mengerejap. aku angkat tangan ini tinggi-tinggi, tepat di bawah terik cahaya, berusaha mengenalinya dalam terang. benda asing ini aneh, tak biasa tapi tak pula luar biasa, berdenyut-denyut seirama dengan detak jantung pada rongga. melelehkan cairan yang kemudian hilang terserap pori. apa ini?

lalu aku putuskan untuk melepaskannya dari telapak ini, meletakkannya dengan tenang pada meja kerja, tempat segala keresahanku terserap segenap dokumentasi. di sini aku tak pernah merasakan kesepian, tumpukan korespondensi ini menemaniku dalam pikuknya hidup, merobohkan batas sunyiku pada diriku sendiri. melunakkan getirnya pencarian akan jati diri. dan keputusanku meletakkannya di meja ini adalah kesempurnaan akan hari ini dan hari berikutnya. sampai kemudian aku temui bahwa itu adalah kesalahan. entah benda apa ini. ia rapuh. hancur berkeping dan mati di atas meja kerjaku.

kejap berikutnya kembali aku meraih serpihannya, meletakkannya kembali pada telapak. lalu ia berdenyut, berdegup, kembali seirama dengan gugup. mengumpul dan mengepul tanpa kendali, bergegas mencari bentuknya mula-mula. sungguh aku dibuatnya luar biasa takjub. apa ini sesungguhnya? detik yang lalu ia luruh, kini ia bernyawa. apa ini? mengapa ia mengejutkanku tanpa sebab?

ia beralun bersamaku di kemudian hari, menemani sibuknya siang, bersama dalam temaramnya senja dan mengintai pada pelukan malam, untuk kemudian menyapa pagi dengan ramahnya. perannya nyaris mampu menggantikan rumitnya korespondensi dengan kerinduan yang tersembunyi. mengendap-endap pada untaian sisi dunia, menjadikannya variable baru, infiniti. aku menempatkan jenis ini pada tersier, kasta terbawah dari strata kehidupanku, sampai benda ini ada dan menyergap rutinitasku.

apa ini? kembali kemudian aku bertanya-tanya. apa ini? apa ini yang menyelamatkanku pada pikuknya kesendirian? mengenaliku pada sebuah kata -ditemani-. lalu, apa ini?!!

Sunday, February 5, 2012

meranggas

Lagi, aku terbangun dan terdiam. Mengerejap sesekali mengumpulkan kesadaran. Dalam gamang antara fana dan mimpi, bergidik ketika potongan khayal yang singgah dalam tidur tadi kembali terkuak. Tergesa mengalihkannya pada nyata, sayangnya aku masih ada di ruang yang sama. Pedihnya bahwa bahkan hari belum berganti, belum pula bersua gelap. Matari masih tinggi meskipun telah condong ke ufuk.

Aku melirik jam pada dinding, 15.00. Lambat sekali hari ini, benar jam itu kah? Atau habis sudah energi dari baterai ciptaan manusia? Ah, hanya berharap.. Sementara otak kiri melaju, dalam ragu menanti keajaiban kecil pada hari lalu. Mengintip kemungkinan yang sempat terlintas, untuk kemudian mengurungkannya dalam senyap.

Hela napas ini kian memberat, semacam terhimpit dinding dan atap kamar, menyempitkan ruang gerak. Kerusuhan isi kepala ini kiat sengit, melompat-lompat tanpa arah pada kungkungan selaput otak. Sepanjang keakuanku lalu, hentakan dan hardikan yang meledak-ledak merupakan hasil optimal atas keadaan ini. Mencari korban atas nama peperangan emosi yang tak terbendung. Atau setidak-tidaknya rupanya akan seperti rengekan, gangguan tanpa batas akhir. Sepertinya kali ini sebuah pengecualian.

Seluruh energi kemarahan dan gangguanku terserap sesuatu. Bahkan amarah ini seperti kehabisan asanya, meredup tanpa gugup. Tanyaku kemudian: Seperih inikah yang pohon jati lakukan nyaris sepanjang tahun ketika kerinduan akan penghujan menguasainya? Meranggaskah aku akan kamu?

Saturday, January 28, 2012

kamu dimana?

Kamu dimana? Mungkinkah kamu datang sejenak kepadaku? Atau bila tidak, beritahukan padaku dimana keberadaanmu. Dalam hitungan waktu manusia aku akan berada tepat di hadapmu, meski tanpa persetujuanmu. Kamu dimana?

Tidak semuluk hari yang lalu. Sungguh aku tidak akan berkisah, pula aku tak akan meracau dalam gelak maupun dalam debat. Aku hanya ingin di situ, tepat di hadapmu tanpa suara. Melebur dalam tumpukan dokumentasi tanpa kronologi dan menatapimu yang luntur dalam kesibukan pekerjaan. Kamu dimana?

Bolehkah aku menggugat untuk ditemani dalam senyap. Terhimpit dalam riuhnya kesibukan kita yang tanpa kebolehan untuk bernapas. Biarkan aku berdiam, menjelajahi kekisruhan yang terdeskripsi dengan sempurna dari kedua bilah matamu. Menemani kerusuhan lalu lintas yang terlindung dalam tempurung kepalamu. Bersemayam dalam tiap mili otakmu yang diciptaNya yang berjaya memenangkan pemujaanku.
Sungguh aku tak meminta sambutan meriah, tiada ingsut senyum pun juga tak mengapa. Aku hanya inginkan ada, tanpa patahan kata. Bergumam dalam indera perasa, sebab terkadang kita tak membutuhkan keempat indera yang seringkali memperdaya. Kamu dimana?

Gangguanku tak akan ku biarkan hadir, tidak pula mengintip bila pintaku dapat kamu kabulkan. Tak serumit hari kemarin, tak semewah hari esok. Aku hanya mengerti hari ini. Dan kekinian ini tak akan pernah meninggalkan resahnya, kecuali jika kita membagi ruang dan waktu dalam alunan yang sama. Sekadar untuk membuang waktuku denganmu. Tanpa kata, tanpa tanda baca, bahkan tanpa tatap namun jelas terasa. Kamu dimana?

Sebab berdiam denganmu dapat mentahirkan segenap gelayut resah jiwaku.

Wednesday, January 25, 2012

mencarinya

pagi ini aku dipaksa terbangun. tanpa kesadaran penuh, berulang memicingkan mata ke arah bulir-bulir berry hitam. memastikan cahaya yang berdenyut berwarna merah.

hijau... dan denyut berikutnya masih tetap hijau.

diamnya menghampakan aku. semalam-malaman hanya dapat aku ratapi layar itu. menunggu denting monoton yang biasa terdengar pada jam tertentu. menunggu dalam riuhnya tautan bunyi dari apel di sebelahnya. meletakkannya kembali untuk kemudian aku raih. keraguan menyeruak pada nadir setiap kali aku memberikan tekanan pada bulir-bulirnya.. detik berikutnya ku hapuskan. penyangkalan.

membakar batang berikutnya untuk mendinginkan tingkat kerisauan. keberadaannya terlalu biasa sehingga tak biasa bila tak ada. batang berikutnya lagi-lagi sebuah penyangkalan. sampai pagi menjelang. dan denyutnya masih juga hijau. keluh.

sangkalan ini dikalahkan sangkakala. rasa ini dikawani genderang perang. perisaiku luluh lantak dalam gencatan senjata. seni perangnya melebihi pengetahuanku akan arti pertempuran. ia merasuk, bukan menjajah. ia menyusup, bukan memecah.

kesekian kalinya aku mencuri pandangan pada berry hitam ini. hijau.. masih juga hijau. keluh.

Wednesday, January 18, 2012

terkalahkan

"siapa kamu!! beraninya datang tanpa permisi!" jeritku untuk kesekian kalinya.

sungguh aku marah, sungguh aku jengkel! manusia ini datang begitu saja dan meluluh-lantakkan rutinitasku. menghancurkan ritme hidupku yang telah aku susun dengan sempurna. mengobrak-abrik lapis demi lapis relung yang telah aku mampatkan dengan pondasi terdalam yang ada di planet bumi.

hadir saja dia dalam diam. menyusup dalam polah tingkah yang biasa. memendarkan cahaya temaram tanpa asa yang menyilaukan mata. hadir saja dia dalam sebentuk kata sederhana. menyesapkan aroma wangi yang tidak biasa. membiuskan kepedulian tanpa kata. menaburkan kerlip nurani tanpa dusta. hadir saja dia tanpa notifikasi. menyeruakkan nyaman yang telah lama bungkam. menghentikan rotasi hidupku. berhenti dan tak ingin bergerak.

lalu kemarahanku membuncah. aku telah menyelamatkan diriku sendiri dengan kesunyian. berkawan karib pada kesepian. memutilasi segala harap yang sempat terlintas hanya karena memang aku tidak pantas berharap. aku yang terlampau nyaman dipelukan sang malam. seketika beroleh pagi dalam keindahan rekahannya yang sederhana. memukauku pada sebuah ketulusan. lalu aku marah karenanya hanya karena sungguh aku tidak pantas mengecap tulusnya.

siapa manusia ini? apa maksud sang khalik akan kesemuanya ini? kemarahan ini sungguh tak berkesudahan. jutaan caci dan rentetan maki telah aku siapkan dengan kesadaran penuh. menunggunya di sini untuk menyesahnya dengan untaian kalimat kepahitan. getir ini harus ia terima. pekik umpatan ini wajib ia rasakan sampai ke dalam darahnya. menyakitinya sampai ke sumsum tulang. merasukinya sampai ke rusuk. ia harus merasakan tiap jengkal pedihku. ia harus terserabut sampai tuntas tak tersisa. ia harus tersiksa sejajar dengan jeratnya padaku. ia layak menanggung segala derita yang aku panggul tanpa sebab! harus!

kemudian ia datang. menghadapiku lagi-lagi dalam diamnya, dalam tenangnya. menelisikku dengan tatapnya yang teduh merengkuh kalbu. menghentikan datarnya putaran rutinitas hidupku lagi. memutarbalikkan kemarahanku dalam sekejap dengan murninya afeksi. adiksinya melebihi syahdunya cannabis.

"kamu apain sih aku!!" ujarku dengan tetap berupaya mengumpulkan sisa sang marah yang telah kandas karena hadirnya.
senyum tulusnya sebagai jawab menghadirkan kasih putih yang tanpa syarat.

dia pasti malaikat... bisikku pada sang nurani.

Saturday, January 14, 2012

detik

lalu detik berikutnya bergulir..
dalam kopi yang semakin pekat
pada kepulan asap yang semakin penat
terdiam di sana tanpa gugat, hadir hanya untuk ada

lalu detik berikutnya bergulir..
menghimpitkan parutan duka
menyapa manis dalam pakuan senyum dan sudut mata
menyempitkan rana dan mensejajarkannya pada rona

lalu detik berikutnya bergulir..
sungguh aku tanpa rencana
hanya ada untuk ada
menemani untuk ditemani, bersama

lalu detik berikutnya bergulir..
"berhentilah bergulir kali ini, wahai sang detik"
"perlambatlah saja, jika kamu tak mampu berhenti"
"biarkan aku pada nyamanku, kali ini, detik ini"

lalu detik berikutnya bergulir..

Sunday, January 8, 2012

sesah sesal

Penjabaranku melukainya tampaknya. Tanpa banyak berpikir, aku himpitkan ribuan kata dan suku kata padanya. Menghardiknya dengan tuduhan-tuduhan tak terarah hanya berdasarkan prasangka yang terlintas dalam benak. Menghempasnya tanpa memberinya ruang untuk bernapas. Membiarkannya terdiam dalam patahan peluang suku kata. Membenamkannya sampai ke perut bumi dan melumatkannya bersama dengan magma dan lava penghuni abadi di sana.

Sungguh ini suatu kejahatan tak terperikan. Itikad baikku sirna dalam pilihan kata yang membeludak. Kepedulianku salah serta merta karena sebentuk pelaksanaan yang salah.

Sesal ini menemaniku. Merajai setiap sudutku, mengasingkan aku akan diriku sendiri. Penjelasan yang salah lagi-lagi yang aku hadirkan, dalam penalaran akan kebijakan yang seharusnya berbuah kebajikan. Namun, jelas kini buahnya adalah petaka. Celaka atas diriku sendiri oleh sebab sebuah konsekuensi akan hari esok. Menatapi perubahannya dalam ratap. Tanpa ada lagi jawab-jinawab, sedatar dan selengang masa yang lalu.

Seharusnya kelumit kosa kata tadi tak pernah aku ujarkan.. Seharusnya negativitas ini tidak menjuaraiku! Menutup ruang-ruang logika yang biasanya ada. Semestinya ketakutan ini aku telan bulat-bulat untuk konsumsi sendiri. Sesalku memerdekakan pahit ini.

Bercakap banyak tak selalu benar rupanya. Pengalamanku akan pedihnya kebungkaman pada masa lalu nyata-nyata tak dapat diterapkan pada setiap jiwa berikutnya yang aku temuni, yang aku temani. Ego ini harus dilumpuhkan segera, sebelum ia makin menguasaiku pada hari berikutnya.

Lalu apa yang dapat aku perbuat untuk dia? Mengembalikannya seperti 24 jam yang lalu.. Memercikan kembali senyumnya yang tulus tanpa gugatan.. Bersimpuh dalam maaf pun tak akan mengobatinya. Salahku ini, sungguh ini salahku. Maaf.

salahkah?

Aku bersua dengan sisi lainku. Sisi yang tak pernah ingin aku ungkap walau berjuta asa menerpanya. Sisi yang sungguh enggan 'ku selami meski dari sudut tersempit yang tak akan mengakibatkan sakit. Aku nyata-nyata tak minat mengenalnya, bahkan meliriknya dalam sepersekian detik saja.

Mual aku dibuatnya, menyesakkan dan mencideraiku tanpa jeda. Sungguh, kini aku terantuk didalamnya. Sisi terkelam dalam bilangan kehidupanku di permukaan bumi ini. Jika dapat aku berlari dan bersembunyi, akan aku lakukan salah satunya tanpa menimbang.

Secarik kertas bertuliskan jajaran kalimat pembentuk paragraf itu dihadirkannya padaku.

"Gw ga bisa nerusinnya, tolong terusin, akal gw abis ketutup emosi, malu, salah, dosa, smuanya ne"

Lalu ia menghamburkan dirinya dengan secangkir cokelat panas dan rokok. Terdiam tepat di depanku dengan air muka yang carut marut.

"Lo pasti bisa ngelanjutinnya ne, setiap kisah itu lo tau kok, gw slalu cerita kan, selesaiin ne.. Tolong ya.."

"Trus jadinya akan dr perspektif gw? Subjektivitsanya akan nempel di sisa tulisan lo, apa ga papa?"

...

Namun dimana aku sembunyi jika dalam pengulangan hari aku mencarinya, kemana aku berlari bila dalam setiap tindak aku menemukan gambaranku padanya? Pengetahuannya meluruhkan keangkuhanku, menjeratnya tanpa ampun dan membenihkan butiran-butiran sikap perubahan.

Dimana sang Khalik saat ini? Mengapa Ia melakukan pembiaran atas apa yang aku lakukan? Kebencian yang merasuk sejak jutaan tahun lalu kini melumatkan aku. Sekadar menjadi seseorang yang aku benci sampai ke rusuk, padahal aku adalah korban dari perempuan semacam aku!! Kemana sang esa saat ini? Tertidur terlampau pulas kah? Terlampau lelahkah menjaga semesta, menjaga aku? Ia sungguh meletakan aku pada kondisi yang memuakkan bahkan oleh pandangan diriku sendiri.

Mohon angkat kup ini, cawan ini bukan untukku.. Cacian nurani ternyata lebih menyesahkanku jika dibandingkan dengan cibiran manusia lain. Tapi sungguh, bagian hati ini hadir tanpa rencana, bahkan tanpa sadarku. Ia menghardikku di satu pagi ketika ia terlelap tanpa notifikasi.

Jangan salahkan aku, jangan rajam aku hai nurani.. Aku sedang mengerahkan segala upaya untuk mengendalikan kontaminasi hati. Setidaknya, aku berusaha meski dalam diam.

"Gini cukup?" Sambil aku condongkan layar laptop ke arahnya.
"Iya.. Hmm, tulisin lagi ya kalo smuanya udah selesai."

Kopi, cokelat dan rokok kembali menemani kami dalam diam. Kamu lebih kuat dari itu, sahabat, percayalah.