Tuesday, June 29, 2010

seteru

aku selalu suka belati ini, ayahku yang memberikannya beberapa tahun lalu. sempat aku mengamuk karena terlupa aku letakan dimana dia. hilang dalam beberapa tahun dan sempat terlupakan, sampai akhirnya tanpa niat mencari malah ia 'ku temukan.

sungguh aku jaga belati ini lebih dari sebelumnya, aku asah di siang dan aku letakan dalam sangkar keagungan di malam. aku bungkus dengan kemuliaan walau matanya sudah banyak gurat dimana-mana. bahkan pada sisi kanan ada celah kecil akibat alam dan perubahan cuaca, tapi itu membuatnya semakin menawan. ia aku temani kemanapun aku melangkah.

hari lalu aku lupa mengenakannya sang bungkus kemuliaan, untuk melindunginya aku genggam erat ia di telapak. cecair merah menandai langkahku, menuntun seteru menguntitku. aku cengkram belatiku makin kuat, sadar akan jejak yang tertinggal, aku himpitkan telapak pada saku, setidaknya bercaknya akan jarang menjejak, hanya sesekali sehingga seteru kehilangan arah.

sayatan ini semakin mendalam, kuyup sudah saku ini dan masih pula aku bertahan melindungi belati kesayangan. pada tepi danau aku berhenti. melepaskan jemari dari saku yang kuyup, perlahan membuka telapak. semilir angin semakin menegaskan pedihnya telapak yang koyak. belatiku agung berkilau tanpa cela dan aku terluka parah. perih ini menyadarkanku, seteru itu tak pernah menguntitku selama ini. seteru itu terlampir pada diriku, belati itu seteru.

bukan aku tidak bisa melepaskannya dan membiarkan aku pulih, aku bisa.. hanya saja aku belum ingin.

Monday, June 28, 2010

tuan besar

hei, tuan besar! anda pikir saya Tuhan bisa membaca pikiran anda? anda diberi mulut, lidah dan suara untuk bicara, mengapa tidak anda katakan?!

perkara ini akan jauh lebih mudah dijalani jika anda bicara! bukan teori komunikasi yang saya ajarkan! ini sesederhana kenyataan!!! dewasalah sedikit saja, tuan besar. katakan pahit jika itu terasa pahit! katakan manis jika itu memang benar manis! dan katakan tidak terasa jika itu tidak punya rasa!

hati saya sama hambarnya menanggapi sikap anda, tuan besar! anda pikir saya diberikan kuasa untuk membaca pikiran? untuk membaca hati? bahkan malaikat tidak diberi kuasa untuk itu.. apalagi saya!!!

sebab kediaman anda adalah bukti nyata atas kesombongan hati anda, tuan besar!

is this the end?

the story seems like come to an end without any notice
it ends perfectly the same as it was started..

should i demand to keep it?
should i let it be like this?
dis-coziness surround me..

is this part of Thy plan?
is this part of my mother's pray?
while i am suffer in facing this condition..

could i stay a little bit longer in this beautiful mess?
i demand it.

just a lyric

"Set The Fire To The Third Bar"
(Snow Patrol feat. Martha Wainwright)

I find the map and draw a straight line
Over rivers, farms, and state lines
The distance from 'A' to where you'd be
It's only finger-lengths that I see
I touch the place where I'd find your face
My fingers in creases of distant dark places

I hang my coat up in the first bar
There is no peace that I've found so far
The laughter penetrates my silence
As drunken men find flaws in science

Their words mostly noises
Ghosts with just voices
Your words in my memory
Are like music to me

I'm miles from where you are,
I lay down on the cold ground
I, I pray that something picks me up
And sets me down in your warm arms

After I have travelled so far
We'd set the fire to the third bar
We'd share each other like an island
Until exhausted, close our eyelids
And dreaming, pick up from
The last place we left off
Your soft skin is weeping
A joy you can't keep in

I'm miles from where you are,
I lay down on the cold ground
And I, I pray that something picks me up
and sets me down in your warm arms

I'm miles from where you are,
I lay down on the cold ground
and I, I pray that something picks me up
and sets me down in your warm arms

Monday, June 14, 2010

belenggu

Jangan ganggu saya mulai hari ini, tidak kamu dan tidak pula orang lain. Biarkan saya sendiri saja di sini, di sudut ruang hati yang koyak. Biarkan saya berjibaku dengan buramnya asa yang tiada akan pernah menjadi sedikit temaram. Kini semburat cahayanya semakin menipis dan sungguh saya hanya dapat rasakan sayatan demi sayatan yang terserabut oleh waktu.

Saya mohon tinggalkan saya di pojok kekalahan saya akan diri sendiri, jangan dengarkan rintihan yang memekik tajam seakan dapat membelah kenisah, jangan acuhkan peluh yang mengaliri pelipis dan tubuh yang bergetar hebat tanpa terkendali. Jangan pedulikan genangan air mata yang tak kenal henti meratap, jangan pula hiraukan lebam-lebam yang saya lukis pada selimut hati ini. Dan saya mohon jangan bantu saya untuk bangkit karena saya hanya ingin berdiam dalam wilayah ini, meresapi setiap torehan luka sembari memercikinya dengan cuka dan air garam.

Sesah ini melumpuhkan saya, mewafatkan keseluruhan indera dan menyisakan belenggu muram pada hati yang mulai lapuk. Akhir kisah ini mematahkan pucuk-pucuk jiwa kasih yang semulanya menggeliat dan menggoreskan kegetiran abadi pada sang hati.

ruang tunggu

"Lagi nunggu mba? Kayaknya udah satu jam deh diem aja di sini."

Saya melirik laki-laki itu setengah sinis, lebih kepada terkejut sebenarnya. "Iya Pak." Singkat saja saya jawab. Dinginnya angin malam itu mulai membuat saya mengkerut tapi saya tahan saja, mencoba menikmati sapuan angin yang dibumbui hujan yang merintik.

"Nungguin pacarnya ya mba? Setia banget hehe, eh maaf mba kalo ganggu, saya cuma kasian aja ngeliat mba udah lama di sini." Ralatnya dilakukan tergesa-gesa sesaat setelah saya melontarkan pandangan sinis kepadanya. "Iya Pak."

Tak heran bila Bapak ini memperhatikan saya, sudah lebih dari belasan mobil dan puluhan motor yang ia parkirkan sejak saya datang, dan masih pula menunggu saya di tempat yang sama. "Gak papa kan mba saya ajak ngobrol? Daripada maenan hp doang hehe, tapi kalo mba ga mao ngobrol gak papa juga mba, bilang aja."

Dalam waktu 15 menit kemudian kami telah berada pada zona percakapan yang menggugah. "Kalo mba bisa nungguin pacarnya lama gini, berarti dia juga sabar banget ya, pernah nungguin mba lama juga ya datengnya?" "Gak Pak, dia paling ga suka nunggu, jd ya mdingan saya yang nunggu." "Kok gt? Enak banget jd pacarnya mba ya..." "Haha berusaha ngerti aja sih Pak." "Haha maaf ya mba, saya jadi ragu pacar mba itu sayang beneran atau ga ama mba, abis egois banget kayaknya."

Saya kemudian terdiam, dulu dia bersedia menunggu saya seberapapun lamanya saya datang. Sekarang, sama sekali tidak. Bahkan kemacetan ibukota ini tak bisa menawarkan amarahnya, padahal dia juga mengalami hirup pikuknya lalu lintas yang sama. Apa benar dia tidak benar-benar sayang?

Bapak itu duduk kembali setelah memarkirkan mobil biru. "Belom dateng juga mba? Ampir 2 jam loh ini mba, apa ga ditelpon aja pacarnya?" "Hmm, udah di sms Pak sejam yang lalu, nanti marah kalo saya bawel nelpon-nelpon lagi hehe." "Oh gitu ya mba? Maap ya mba, saya makan dulu jd mba saya tinggal dulu."

Setengah jam berlalu semenjak Bapak itu pamit makan. Telepon nirkabel di tangan saya akhirnya berbunyi. "Kamu masi nungguin aku di situ? Hahaha, maaf ya aku ga jd dateng. Kerjaannya belom selesai soalnya. Tadi udah aku sms, emang ga nyampe ya? Ya udah, kamu pulang aja deh udah malem nih, ati-ati ya sayang." Percakapan jarak jauh ini berakhir tanpa rasa bersalah padanya.

Setelahnya, 6 halaman pesan saya kirimkan kepadanya, sudah selesai kisah ini, sayang. Kata Tuhan kesabaran ini seharusnya tak berbatas, tapi saya bukan Tuhan, saya manusia.

Saturday, June 12, 2010

ruang hampa

"Tolong bukakan jendela itu untuk saya, sesak sekali di sini"

"Kita hanya berdua saja di ruangan ini dan anda bilang sesak?"

"Ya, saya nyaris tidak bisa bernapas. Ada pintukah di sisi sana?"

"Haha ruangan ini tidak berpintu, tidak jua berjendela. Percuma anda meminta karena saya tidak dapat membantu apapun."

"Apa anda tidak merasakan sesak seperti saya? Anda aneh!"

"Saya aneh? Bukannya anda yang aneh? Tampaknya kesesakan itu berakar dari jiwa anda, sehingga fisik anda turut merasakannya."

"Ah, tahu apa anda tentang jiwa? Saya tidak sakit jiwa, ruang ini benar-benar sesak."

"Dasar keras kepala! Selalu saja menyalahkan hal lain di luar anda, padahal masalah itu lahir dari anda sendiri! Sudah 27 tahun dan tidak juga belajar mengenal diri sendiri. Penyangkalan lagi dan lagi."

terdiam...

Sebuah percakapan dengan nurani ini lagi-lagi diakhiri dengan diam. Batu karang ini telah terlanjur terbentuk demikian adanya.

Thursday, June 10, 2010

ruang rasa

seorang VP HRD yang mewawancarai aku kemudian tertegun, menelaah lebih dalam caraku bersikap dihadapannya, terdiam dia dan kemudian berujar untuk dirinya sendiri "oh, jadi kamu itu gak pernah takut sama apapun karena kamu pernah ngalamin kehilangan yang luar biasa rupanya."

aku tersenyum bingung saat itu, lebih kepada tidak mengerti akan intisari dari deretan kata-katanya yang baru saja dilontarkannya kepadaku. dengan sedikit kecut aku bertanya, "maksud ibu apa ya?" yang kemudian ia memberondongku dengan penjabaran seorang VP HRD yang telah berpengalaman mewawancari ratusan orang dalam kurun waktu dua puluh tahun dia berkiprah.

hanya satu yang aku dapat telaah, menurut ibu VP HRD ini aku tidak punya rasa takut akan apapun di dunia ini, termasuk untuk masalah pekerjaan, hati-cinta dan menghadapi orang baru yang entah setinggi apapun jabatannya, semua adalah mudah untuk aku. dan aku hanya dapat tersenyum mengerenyit dihadapannya. muasal dari hilangnya rasa takut itu menurutnya disebabkan oleh kehilanganku akan peran dan sosok ayah yang seharusnya bila hilangpun karena dipanggil kembali oleh Yang Kuasa, namun pada perkaraku tidak demikian.

bahkan aku sudah lupa aku merasa kehilangan.. terlupakan dan sengaja aku lupakan. sebab jika masih juga diingat, kebencian itu akan menggerogotiku dari dalam. ahh, tak heran ibu ini menjabat VP HRD, ia dapat melihat apa yang menurutku telah aku kubur dalam-dalam tanpa bekas. ternyata tetap juga tampak goresannya pada pilihan kata-kataku saat wawancara tadi.

kesimpulan VP HRD tentang aku tadi tidak membenamkanku sedikitpun. sambil melangkahkan kaki kembali pulang aku ulangi kecamanku dalam benak, "entah dimanapun kamu berada, ayah.. keseluruhan diriku yang telah nyata ini tetap 'ku bebankan padamu. jangan pernah kembali, ayah, karena kehadiranmu tak lain hanya menjadi sesah bagiku."

ruang rupa

gambaran nanar yang menyeruak menjadi semakin jelas menghanyutkan tiap pejamanku. bahkan ketika kembali aku buka dua kelopak ini untuk kembali ke dunia nyata, rupa itu tidak menghilang kadang malah semakin jelas...

aku dapat menjabarkan dengan sangat terperinci tiap guratan pada parasnya yang mulai menggambarkan usianya di bumi, tiap letak titik coklat yang kadang memadati pipinya, belalak matanya yang mengekspresikan kejut yang kemudian meredup karena kekesalan yang menghujamnya tanpa persiapan. namun yang membuatku tetap terpesona padanya hanyalah adanya sebentuk lingkaran abu-abu yang membingkai indah pada korneanya. pesonanya mampu menghentikan setiap tindak-tandukku yang tergesa-gesa, bahkan pesonanya mampu membuatku melakukan koreksi berulang-ulang akan keputusanku yang biasanya tiada seorangpun dapat menawarnya.

sungguh bukan karena keseluruhan yang disebut ketampanan yang ada padanya, sungguh pula bukan oleh sebab pilihan kata yang bijaksana, hanya sebentuk bingkai abu-abu di kornea itu yang berhasil membuatku tertegun, membiarkan kenyamanan menjalari vena, arteri dan sistem syarafku.. membuyarkan kebekuan pada jiwa ini dan meruntuhkan benteng keangkuhanku akan ketidakpercayaan pada cinta.

maafkan aku, sungguh aku telah membiarkan diriku untuk jatuh cinta padamu...

RUANG

..mari bermain dengan ruang mulai sekarang..

Wednesday, June 9, 2010

princess

At her ultimate sanity, she screams out loud at me...

"and you know! i never,, never have plan to fall in love with you!!!"

In the very next second she dropped her body and cried on my chest..

"Listen princess, i do could feel your sorrow, i do could feel your warm tears, and also i do listen to your words clearly. Please ponder this princess, i do love you too.. But i humbly beg you sorry my princess, i'm simply not able to hold you anymore since i am six feet under your feet..."

Tuesday, June 8, 2010

luluh lantak

Tolong sisakan sejumput waktumu untukku kali ini, teman. Sertakan pula telinga dan hati yang lapang untuk aku. Permintaanku akan sangat banyak kali ini dan pengertianmu pula harus lebih dari waktu-waktu silam.

Dengan dasar logikaku yang paling luar biasa aku memulai kisah ini, teman. Aku lepaskan diriku pada satu masa yang sungguh aku pahami akan segenap resikonya. Aku hanyutkan diriku pada jernihnya aliran kisah yang tanpa muara. Aku henyakan separuh jiwaku pada setiap keloknya dan setiap pecahanya, menikmati tiap irisan dan singgungan pada semesta.

Dan ini aku kembali terduduk dihadapmu, teman, dengan sebagian jiwa yang luluh lantak. Bahkan genangan air pada pengelihatanku ini tak pelak lagi aku bendung. Pedih.

Aku terkoyak kali ini. Kembali koyak, teman.

Ada masa yang sama seperti beberapa tahun lalu, masih ingatkah akan masa itu, teman? Waktu itu kamu juga hadir untukku sama seperti masa ini. Masa yang aku kira akan menjadi masa pamungkas dimana aku terjerembab. Masa yang aku anggap akan hanya menimpaku satu kali dalam putaran hidupku. Tapi ternyata aku salah, teman, benar-benar salah. Masa itu hadir kembali saat ini, tepat saat ini.

Namun mengapa kali ini jauh lebih pedih? Padahal sejak awal aku sungguh paham akan datangnya kepedihan ini! Mengapa tetap saja aku tersungkur? Mana kendali logikaku yang sangat luar biasa itu, teman?

Tolong tahirkan aku dari masa ini... Selamatkan aku yang tengah terkapar dalam ruang, waktu dan dimensi yang menyiksa keseluruhanku. Tolong kikis jelaga ini daripadaku karena ia memburamkan akal sehatku.

Katakan hal apa yang dapat aku perbuat untuk menghapuskan masa ini, teman? Tapi sungguh jangan ujarkan padaku bahwa harus 'ku nikmati setiap pedihnya yang menyesakanku... Sebab bila itu 'ku lalukan, ia akan berbanding lurus dengan luapan air mataku.

emansipasi

apa itu emansipasi?

sebentuk kesetaraan gender yang digugat melulu oleh kaum hawa? penggugatan hak yang tidak berbanding lurus dengan kewajiban? mengerti apa kaum hawa ini akan segala gugatannya? jika mereka hanya melulu menggugat hak dan tidak untuk kewajiban yang melekat pada sang emansipasi.

apa itu emansipasi?

akankah emansipasi meluluhlantakkan kodrat yang telah dituliskan oleh Sang Esa? apakah emansipasi sebagai suatu pembenaran untuk sebuah agresivitas kaum hawa? sedangkan konsep dasar sel telur tidak pernah berganti meski masa telah sampai era maya ini. ia tidak pula menggantikan peran sperma; ia tidak berganti menjadi berlari mengejar sesuatu, dan ia tetap diam dimana ia harus bersemayam, juga ia tidak membawa bakal jantung namun membawa keseluruhan organ bagi calon anak manusia. sel telur tetap sebagai sel telur. kodrat diamnya bukan mentakdirkan kaum hawa akan kepasifan, tetapi lebih kebanyakan untuk tetap tenang, bajik dan bijak dalam singasananya.

buah pikir awal tentang emansipasi tentunya tidak bermaksud untuk meniadakan konsep dasar kaum hawa. kesetaraan gender bagi para pencetus pendekar perempuan bukan melulu pada hingar-bingar ribuan gugatan atas hak tanpa disertai kewajiban yang belakangan lebih memarginalkan kaum hawa sendiri. emansipasi yang dipolitisi lebih harus diwaspadai oleh para pendekar perempuan. kembalilah menyusun barisan yang koyak diganyang jaman, kembalilah kepada buah pikir awal emansipasi, tanpa kontaminasi, tanpa kontroversi...

terus berjuang, para pendekar perempuan!

Thursday, June 3, 2010

retoris

"terus kita nikahnya gimana?"

tetap saja pertanyaan itu yang ia lontarkan kepadaku, pertanyaan yang sama semenjak lewat dua tahun menjalin hubungan penjajakan ini. pertanyaan itu sudah aku jawab berulang kali, tapi entah mengapa terus-menerus dipertanyakan lagi olehnya. pikirku, mungkin ia hanya memastikan dan mencoba meyakinkan dirinya sendiri dengan cara kembali bertanya kepadaku. manusia memang butuh diyakinkan, demikian juga pacarku ini, ia manusia dan butuh diyakinkan.

"pernikahan kan cuma tata cara, prosedur, jadi ya jalanin aja prosedur yang ada."
"tata cara yang mana? kamu ini ya, semua kayak sepele buat kamu!"

mulai menghardik kali ini ia, padahal aku menjawab seluruh pertanyaannya dengan kesabaran tingkat tinggi. keluargaku tidak mensyaratkan apa-apa untuk pernikahan ini, mereka hanya ingin aku menikah supaya hidupku jauh lebih teratur, itu pandangan mereka. keluarganya mensyaratkan banyak hal, prosedural adat dan agama harus dijalankan dengan lengkap dan uniknya mereka sendiri yang abis akal akan dengan tata cara agama apa nantinya pernikahan ini.

"kamu tuh ignorant banget, sih!"

dan dipersalahkan lagi sikapku kali ini, perdebatan panjang telah kami lalui dalam jangka waktu tiga tahun, hanya untuk sebuah tata cara pernikahan dalam agama. sungguh aku bukan tidak peduli, aku peduli dan karena aku peduli maka aku tidak banyak berpendapat, semua yang ia inginkan akan aku amini.

"ah, jadinya akan pake katolik atau apa?"
"kamu dan keluarga kamu lebih pilih pake apa, sayang?"
"aku ga tau, makanya kamu jawab dong..."
"jawabannya kan ada di kamu, sayang"

ia membisu kembali, menerawang mencari jawaban jauh di luar sana atas satu pertanyaan tak terjawab yang sesungguhnya dapat ia jawab pada jutaan detik yang lalu. laki-laki disampingku ini menghela nafasnya panjang, membakar batang rokok berikutnya, menegaskan guratan-guratan pada keningnya lebih dalam. sedangkan aku, aku hanya tersenyum sembari memindai tiap inci wajahnya, menggengam tangannya lekat-lekat dan menunggu jawaban atas pertanyaan retorisnya.

Wednesday, June 2, 2010

peranmu

peranmu ternyata cukup sampai di sini, kecil seperti tak berarti namun indah jika dihayati. ketika dunia ini disuguhkan dihadapku sedemikian rupa sehingga aku tak pernah menyadari satu unsur yang membuat aku tetap hidup, unsur yang terlupakan atau sengaja aku lupakan. unsur yang datang bersama denganmu dalam bilangan waktu yang tiada terduga.

unsur itu yang selama ini membuat aku takut akan keberadaannya, mungkin bukan pada niat dasarnya, namun lebih kepada pengejawantahannya, pelaksanaannya. terlalu jamak intrik yang hadir melebur didalamnya, itu yang selama ini menakutkanku. menghindar, menutup diri dan membangun benteng yang tak tersentuh oleh pihak asing, hanya itu yang dapat aku perbuat untuk menyelamatkan diri. terjangkit unsur itu dapat membuat aku gamang, hilang arah dan akal. pernah aku terjangkit satu kali dan setelahnya aku melindungi diri rapat-rapat agar tidak terjangkit lagi... sampai kamu hadir tanpa sebab.

kamu dan unsur itu ternyata melekat kuat tanpa aku sadari, aku pikir hanya kamu tanpa sang unsur, baru kemudian setelah entah kapan aku mulai menyadarinya ternyata aku sudah sungguh terpesona oleh keelokan unsur itu. kamu menghapuskan kengerianku akan intrik yang biasanya ada, entah mengapa bahkan aku tak kuasa menjabarkannya...

sungguh peranmu hanya itu dan jika kamu adalah utusanNya, sungguh Ia telah menyelamatkan aku dari diriku sendiri. kamu sudah membuat gerbang pada benteng keangkuhanku, kehadiranmu dalam satuan nafasku merobohkan keakuanku yang lalu.

aku tak akan menahanmu lebih lama, aku mengerti benar akan hal itu... karena peranmu telah usai, cukup sampai di sini.

teori

dan benar, jutaan teori yang biasa aku lontarkan pada seluruh sahabatku dalam permasalahan dengan kisah cinta mereka, memang sangat sulit untuk dilaksanakan. teori indah itu tetap indah bersahaja sebagai wacana. dari keseluruhan teori, doktrin yang tersulit untuk dilakukan adalah "membiarkan diri kita menjadi tega akan diri sendiri"; tanpa tapi, tanpa namun, dan tanpa penundaan.

ah, sial! mengapa hati selalu meminta negosiasi?!