Monday, September 28, 2015

alter ego

Alter ego, apakah aku cukup terlambat jika mengujarkan maaf? Aku terlampau egois siang ini, lebih parah dari parasit lajang yang mencari keperjakaan atas nama jiwa muda. Aku melewati tingkap cinta diri dan penyelamatan diri. Kamu adalah alter ego, yang semestinya miliki ego; bukan malah aku. Tapi ini apa! Aku malah merampas bagianmu dengan semarak tanpa teriak. Lalu kamu, dengan empati seluas bima sakti membiarkan aku merengkuhnya. Menindas hakmu atas hakku.

Kini aku porak-poranda. Karut-marut dalam pengertianmu. Mejajal kesabaranmu sampai tapal batas. Menyangkal serupanya kita. Aku ngeri padamu, sungguh menakutkan kamu untukku. Kamu terlalu aku untukku. Kesamaan yang selalu aku dengungkan dalam pencarian yang sepanjang pengetahuanku tak pelak aku temui dalam planet bumi ini. Tidak akan sampai pada keadaan itu. Tidak!

Lalu kamu datang dalam diam. Menelisik sudut mataku karena kekaguman tanpa aroma yang berlebihan. Sendiri. Sendiri saja seperti selalu. Kemudian, dalam langkah yang tanpa dugaan, aku remuk-redam. Terdiam seperti kamu namun dalam jeritan lantang. Penyangkalan keras atas kehadianmu dalam yurisdiksiku.

Sangkalan ini sedashyat sangkakala penanda kiamat, melumat aku dalam pekat. Lalu aku menggugat! Menghardikmu tanpa ampun, menyalahkanmu bertubi-tubi dalam bilur yang aku ronakan sendiri. Merenggut masa-masa nyamanku tanpa peluh tapi memeluk. Kamu seharusnya tiada, alter ego. Meski aku ingin kamu ada. Jangan pergi kali ini, jangan. Jikapun ditakdirkan, tolong tunggu aku di persimpanganmu, ketika kamu menyadari bahwa aku adalah kamu yang lain.

benteng bolong

"lagi ngapain? kok tumben turun."

"kemarin terasa dingin, kayak ada angin masuk. makanya turun."

"ini bolong? kok bisa?"

"ga tau, kayaknya udah pakai beton berlapis-lapis, tapi kok bisa bolong ya?"

"siapa yang sandar?"

"orang baik, rasanya… tapi kok pakai segala ngebolongin ya? lagian gimana cara bolonginnya ya?"

"ga terasa sama sekali apa? bener-bener cuma tiba-tiba dingin gitu?"

"iya, aneh ya. gak enak dingin gini. harus turun pun benahin dinding."

"orang baiknya kemana?"

"hmm… gak tau juga. seperti yang lain palingan, sandar aja tanpa sadar."

"sakit ya? sabar ya…"

"iya. pasti kok, tanpa henti."

"saya bawa kopi, nih, pasti gak mau makan kan? cuma mau kopi, rokok, kopi, rokok."

"…"

simpang empat

ah, aku berhenti lagi di persimpangan semacam ini. rasanya hanya memutar saja, setiap sudutnya sudah di luar kepala. tempat ini mirip seperti yang sebelumnya, atau memang aku hanya terjebak dalam kumparan? entah lah yang pasti rasanya tidak menyenangkan. menyesakkan malah.

padahal kemarin telah aku ukur benar semuanya, memastikan aku tidak berbelok ke kiri lagi karena pasti akan bersua pada sudut keji ini. aku mengarah ke kanan tadi, namun ternyata malah lebih memuakan daripada ke kiri. aku muak pada pukauan ini. terlalu sempurna di semua lini. terlalu sempurna, hingga aku terjebak dengan sadar. ini lebih menyebalkan daripada tanpa sadar. sungguh!

lalu apa kali ini? rasa yang nyaris sama tapi lebih menyesahku. terlalu luas ruang geraknya sampai aku tidak dapat mengingatkan syarafku untuk terus terjaga. jangan tertidur apalagi terlena, peringatanku pada aku. sayangnya, ini lebih dari terlena, ini memukau, mencengangkan!

dan aku membiarkan sebagian jiwa ini menikmatinya terus-menerus. ini namanya kekejian atas diri sendiri, tanpa tedeng aling-aling. mampus kau, aku! mampus! tersesatlah dalam kesedihan, Tuhan sudah memberikan tandanya, dan aku malah terpikat pada simpang empat.


Sunday, September 27, 2015

bisik dari Jakarta untuk Amsterdam

aku pergi untuk kamu. ah, tak yakin juga sesungguhnya untuk apa dan untuk siapa. mungkin untuk aku sendiri. hanya lagi-lagi, kamu jadi alasan. aku pergi tanpa berpikir, bahkan tanpa bertanya kepada kamu apakah kamu bersedia menemui aku.

jarak kita tidak dekat, memang, 5 jam lebih dahulu di belahan bumiku dibanding kamu. sejauh sebelas jam perjalanan dalam kecepatan di atas tiga ratus kilo meter per jam. sejauh itu, bahkan aku sejahat itu tidak bertanya terlebih dahulu soal kesediaanmu. jika ternyata kamu tidak bersedia, apakah aku akan luntang-lantung tanpa atap di negeri mantan penjajah? ah, tak apalah, masih ada Tuhan untuk dipersalahkan jikapun itu terjadi.

tanda yang kamu siarkan sepertinya kamu bisa menerima kehadiranku nantinya, setidaknya dalam asumsiku. kekejian asumsi yang memaksakan kamu untuk menerimaku sebenarnya. terlampau, ya?

aku akan hadir tanpa rencana, namun bukan hanya wacana. semoga ini bukan akan menjadi bagian yang menghambat selesainya tugasmu. sungguh, semoga aku dapat membantumu, meskipun dalam diamku yang sering gagap dan tak tanggap.

jenuh, penuh.

aku lelah, aku butuh keluh sampai berpeluh. aku lelah berputar pada rotasi yang sama, aku muak dengan kata-kata yang tak terlaksanakan. aku sungguh pilu menyusun kata, aku lelah bicara padamu. lebih dari itu, aku sungguh lelah mendengarkan. mataku kemudian menjadi pedih hanya dengan menyerap tatap matamu yang selalu keji.

cerita ini seharusnya tak begini. semestinya menyenangkan, setidak-tidaknya cerita ini menebarkan senyum tipis di sudut mata. tapi ini apa? kemurungan tanpa akhir. menghabiskan sisi dunia, melelahkan. setidaknya bagiku melelahkan, menyerap semburat bahagia yang selalu aku pijakkan di pagi hari.

kamu tahu? aku luar biasa pemurung, aku lebih dari negatif. jadi seharusnya kamu bersyukur kepada Khalik ketika aku mau menyerap negatifmu. kebingunganmu menghitamkan hatiku yang dengan penuh kepayahan telah aku putihkan pada setiap malam menjelang subuh merekah. aku bahkan yakin kamu tak akan pernah paham bagaimana sulitnya memutihkan hati yang sudah hitam sejak semula. lalu kamu datang setiap hari dengan kisah bahagia yang kamu muramkan! sarkastik!

jatuh cinta itu biasa saja, jangan dilebih-lebihkan negatifnya.

sudahlah, telingaku sudah bungkam kali ini. sudah sampai pada nadir kali ini. pergi sekarang, atau aku yang pergi!

ia, rusa dan kasih

ia datang kali ini, membawa serta murung yang gelap tanpa sekat namun tercekat. di kanannya dijinjing rusa muda dengan mata membelalak. darahnya menetes tipis, sisa pertempuan tampaknya. tak perlu jua aku ujarkan pakaiannya, tak pantas pula.

dibakarnya batang pertama tanpa sapa. selayak pulang ke rumah yang kosong mungkin, hingga aku tak kasat mata baginya.

setelah api menghabiskan batang pertama sampai ke filter, ia mulai membuka mulut. jatuh cinta, katanya. kesalahan yang akan dilakukan semua manusia… jatuh cinta. lalu segera diperbaiki istilah yang ia gunakan: main hati, tanpa arti. ia tersesat dalam percakapan, terjebak dalam kebiasaan dan keberadaan. bukan mencari, bukan! tak ada lagi ruang baginya untuk mencari sebab yang dicari pun sudah ditemukan dalam hitungan tahunan lalu.

menit kemudian ia mencaci dirinya, menyesali perkenalan karena selalu ada perpisahan setelahnya, seperti saat ini. saat ia menghabiskan darah sang rusa sehabis-habisnya.

matanya kembali terbalik, mengenang rasa yang sempat ada, bahkan masih ada sampai kini mengisi rongga hati yang sayangnya masih kosong meskipun telah penuh. kehadirannya sebatas untuk meyakini dan menemani sang kasih baru yang meragu untuk masuk dalam kelembagaan. ketika pandangan menjadi dibatasi, ruang gerak dan kebebasan juga terhempas, kesetiaan seakan menjadi harga mati lebih dari melayani. lembaga yang paling posesif di muka bumi; bahkan Tuhan saja tidak segitunya.

tugasnya tergenapkan, sang kasih tetap ada di jalan yang seharusnya. seharusnya, bukan sebaiknya. semoga saja yang seharusnya juga adalah sebaiknya, semoga.

lalu ia kembali di sini. menemukan telinga untuk dibagi, bukan dengan intensi, namun kadang manusia tahu kepada siapa ia harus diskusi tanpa menghakimi. hidup harus jalan terus, suka atau tidak. setidaknya rongga penuhmu sekarang benar penuh, kawan. tersenyumlah untuk fajar berikutnya.