Tuesday, July 2, 2013

Nanti

Jika aku harus pergi, ku pastikan bukan karena berlari, namun semata untuk nurani. Meski nantinya aku akan kembali pada pelukan alkohol dan candu; setidaknya itu cukup meyakinkanku atas apa yang telah aku lalui. Pembenaran atas nurani; sebab tak semua dari muka bumi harus dimiliki.


Lingkaran aku

Aku melihat diriku dalam dirinya; pemalu, pendiam, tersipu bahkan kikuk di tengah sorak ria. Tepat pada musim yang sama aku dipublikasikan; pemalu, pendiam, tersipu bahkan kikuk di tengah sorak ria. Bumi ini saksinya, menghentak grafitasinya lebih kuat sehingga aku tertarik. Belajar mengenal sisinya yang lain, yang penuh dengan sorak ria dan gempita. Realisasi atas suatu yang didefinisikan sebagai kematangan. Tetiba fana menyeruak dalam mayaku, semua fatamorgana ini jadi nyata. Apik.

Aku bukanlah pembuat onar, bukan pula pemerintah. Lebih memilih diam dalam kelam. Lebih menghardik dalam air dan plakat; sebab segala sesuatu akan lebih mudah jika dikenyam sendiri dalam bulat.

Tanpa syarat ia pergi, hilang tanpa pesan. Meninggalkan aku dalam gamang, kikuk dan senyap. Pasangannya tak mampu memberikan deskripsi yang cukup memuaskan nurani dan logikaku. Aku ditinggalkannya sendiri, tanpa petunjuk. Diwajibkan mencari pecahan kaca yang terserpih, menyusunnya dalam gelap dan menemukan jawaban sendiri.

Lalu bumi ini kembali menyapaku, dalam kalut diberinya jawaban; entah benar atau tidak. Menjadikan aku seorang pemerintah, pembuat onar, pemberontak, pemarah, penyulut. Ia membuatku pergi dari air dan plakat. Ia menjadikanku sosialis, melupakan nyamannya soliter yang teduh. Ia membentuk aku sebagai pedang samurai yang habis ditempa; tak punya takut tapi penakut. Ia adalah aku saat ini, bicara besar menutupi kecilnya jiwa.

Apakah menurutmu aku punya hati untuk meneruskan lingkaran setan ini? Menjadikan aku yang lain dalam diri manusia lain... Manusia yang sungguh kau sayangi tanpa syarat, dengan nyawa atau bahkan tanpa nyawa. Manusia yang kau beri degup jantung untuk hidup... Apakah aku sampai hati, wahai bumi?


Sunday, June 30, 2013

!

Aku hadiri setiap upacara pemakaman.
Aku sambangi setiap kedukaan.
Aku turut pilu dalam tiap kepergian dari pijakan bumi.
Aku bahkan ikut meleleh tiap kali cangkul menutup jasad.

Namun tiap penghargaan terakhir itu tak jua membuatku memaafkan diri ini atas upayaku yang tidak pernah sebesar itu untuk hadir dalam upacaramu, ayah.


Thursday, June 13, 2013

Gugatan!

Aku, penggugat, menggugat sang esa.

Sabdanya berujar bahwa aku jauh lebih dikasihi dari burung pipit, lebih dicinta daripada bunga bakung... Tapi lihat, bahkan bejana lebih beruntung dari aku. Ia dibentuk dengan air dan liat yang diputar perlahan dan disentuh dengan manja. Meski kemudian ia dipanggang dalam panas api, lalu dijemur lagi dihaluskan. Namun kesemua rangkaiannya dipastikan agar tak retak apalagi pecah. Hanya membengkok dan bukan patah.

Lihat karang, ia lebih disayangi pula. Tamparan air laut dengan sabar membentuknya dibantu terik matari siang dan sapuan angin muson yang konstan. Bahkan semesta memberinya pola, ditandainya purnama sebagai hadirnya pasang yang dapat menenggelamkannya. Penenggelaman itu hanya terjadi satu kali di tiap lima belas qomariah. Pertanda yang rutin hanya bergantung pada poros planet biru ini ketika menengadah maupun merunduk. Lalu karang itu menjadi indah pelindung daratan.

Bejana dan karang diurainya dengan lembut, perlahan dan tanpa kejutan; namun tidak dengan aku. Dipaksanya menundukan kepala, membungkuk sampai tersungkur tanpa pertanda... Pemerintah ini tak dapat lagi menaikan dagu di atas rata-rata. Penakluk ini seketika celaka, dipatahkan seluruh sendi sehingga jadi membungkuk, tersungkur di kaki brahmana. Tak lagi dapat ia melawan, meronta apalagi beronar. Marahnya hanya dapat dilakukan dengan jeritan dalam diam.

Aku kalah telak kali ini, tanpa peringatan, tanpa hentakan. Aku kalah karena diamnya. Aku kalah oleh senyum dinginnya. Aku kalah atas sorot mata dan air muka kecewa yang menegaskan guratan tersembunyi. Aku kalah dari brahmana sang pendoa. Kalah dari manusia yang biasanya aku kalahkan. Manusia minor yang tak pernah aku anggap sebagai lawan tanding.

Kemudian atas seluruh kekalahanku ini, aku menggugat! Menggugatmu wahai sang khalik; sebagai justifikasi untuk berdamai dengan diri sendiri. Untuk bersimpuh dan bersyukur atas kekalahain ini, sebab sabdamu telah tergenapi: kasihmu padaku lebih ruah dari pipit dan bakung.


Wednesday, June 12, 2013

i double it

aku bisa diam, lebih diam dari batu, lebih kukuh dari karang.
aku bisa seru, lebih seru dari suara dan cahaya kembang api malam tahun baru.
aku bisa marah, lebih marah dari letusan gunung toba kuno yang menghancurkan pangea.
aku bisa angkuh, lebih angkuh dari tingginya everest.
aku bisa ganas, lebih ganas dari heina kelaparan yang terganggu ketika mencabik santapannya.
aku bisa acuh, lebih dari acuhmu!

aku bisa apapun! dua kali lipat dari yang kau lakukan dan kau bayangkan!

pembaca?

"karena memang kamu gak pernah bisa baca aku sampai sekarang"

lalu aku terdiam seselesainya kalimat itu. kecamuk rasa ini seketika meradang, menerpa semestaku meski tertahan di permukaan, menggantung dalam anomali. percuma juga diekspresikan karena manusia ini minor, sangat minor. setiap perubahan seketika menjadi signifikan, lalu salah, lalu salah, dan lalu salah. katanya rasa ini selayaknya membebaskan... lalu mengapa salah? selalu salah.

aku memang bukan pembaca yang baik, bukan manusia baik, tapi ekspresi tanpa nuranimu menggenapkan rasa bahwa aku tidak punya hati. lihat siapa sekarang yang merana? bila sakit adalah tujuan utama, mengapa harus dilakukan pada manusia lain? manusiawi kah?

Wednesday, January 16, 2013

p.a.p.i

dia ada di sana, pada barisan depan. mudah ditemukan sebab dari ribuan yang dihadapkan ke barat, hanya di atasnya yang menangkupkan tangan dalam doa. sementara sisanya menengadah. tempat dimana sebagian orang akan memicingkan mata atau bahkan bergunjing setelahnya. di sini kisahnya berakhir.

ia hanya ingin diingat. menorehkan cerita malam tahun baru yang berbeda dengan menyisipkan kisahnya. ketika nyaris separuh bumi meriakan samsiyah yang baru, lengkap dengan pikuk dan pelangi artifisial yang mengejutkan, sudut rumah ini akan terpekur dalam doa. mengirimkan kepada khalik yang menjaganya di sana.

cara sempurna untuk terus dikenang. sebab sepi dalam hirup adalah khidmat. meski ada sesal akan bhakti yang tak kesampaian. sisa kemarahan yang belum terujarkan. bahkan maaf belum sempat dibisikan.

jari ini tak sempat menyentuhnya. namun akumulasi tanpa tangis ini akhirnya bermuara pada malam itu. bingkai tawa bergulir bergantian dalam lelehan air mata. ia memang biasa tiada, namun kali ini sungguh tiada.

berhenti sekarang! duka ini harus selesai detik ini. sebab ada jiwa lain yang harus dipertahankan. jiwa yang bertahan ketika masa porak poranda. ia tak boleh terluka lagi, sehingga lara tak pantas untuk dipamerkan meski hanya pada pantulan cermin dan nurani.

Tuesday, January 15, 2013

repetisi

waktu? apa itu waktu? rentang yang lama tak merepresetasikan apapun di muka semesta ini. sungguh kualitas bukan kuantitas. lalu ketika frekuensi berkurang, semakin tiada pula apa yang ada, atau setidaknya pernah ada.

mengenang hari lalu adalah kesia-siaan. sebab hidup bukan untuk melihat ke belakang. namun jelas bukan sekadar kesombongan untuk tidak belajar. sebab manusia berubah, dalam waktu yang singkat maupun lambat, dalam hal kualitas dan bahkan kuantitas.

menyesal? perlukah?

lalu apa guna iri menggelayut, jika hal yang diirikan bahkan tidak pernah menatap kembali. sebab manusia berubah, dalam waktu yang singkat maupun lambat, dalam hal kualitas dan bahkan kuantitas.

lagi.. sebab manusia berubah, dalam waktu yang singkat maupun lambat, dalam hal kualitas dan bahkan kuantitas.