Monday, February 14, 2011

memenangkan kekalahan

dengan tergesa ia menghampiri aku yang sedang termangu dimanja oleh cahaya lampu kota yang menyemut. seketika terlihat kalut dalam rautnya, namun warna simpul senyuman mendominasi sorot matanya. dengan sigap ia menarik bangku di sampingku dan meletakkannya tepat di depanku. wajahnya memperlihatkan kegusaran berlapis pedih disertai binar kebanggaan pada pelupuknya, pertanda ia telah memenangkan sesuatu.

kegamangan menyeruak alam sadarku, menyisipkan jutaan pertanyaan yang sedemikian rupa aku lontarkan saja padanya tanpa sempat diolah oleh saraf-saraf sensorik ini. mengapa ia dapat begitu murung dan riang pada waktu yang bersamaan? dari mana ia sesungguhnya? apa yang terjadi dalam putaran waktu manusia terhadapnya? kalimat-kalimat tanya itu tersembur tanpa titik dari rongga mulutku untuknya. dan ia.. ia tepat di hadapku dan hanya tersenyum.

pemantik menyala, membuyarkan konsentrasiku atas pertanyaanku yang belum juga terjawab. kemudian disusul kepulan asap putih yang berirama keluar dari liang mulutnya, senyumnya masih berjaya di wajahnya, ia menghisap paduan nikotin dan tar makin dalam, lagi-lagi tanpa sepatah kata pun.

akal sehatku seakan mati, keingintahuanku membabi buta tak terkendali, kali ini Tuhan sedang tidak memberikan kesabarannya kepadaku. aku menghardiknya, memaksanya untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya sehingga ia tiada henti menampilkan senyum dingin-getir pada sudut bibirnya. kembali, jawabnya hanya kepulan asap yang memudar disapu pekatnya angin malam kota Jakarta.

kali ini aku biarkan ia terduduk ditemani asapnya yang terus disambungnya, aku menjarak dua meter jauhnya, kembali mengumpulkan konsentrasi menikmati kilauan lampu kota. lama terdiam.. lama bergeming.. sunyi..

"aku menang dan kalah pada saat yang bersamaan" ujarnya datar memecah kesunyian, mengheningkan desiran bising angin dalam ketinggian 46 lantai dari permukaan tanah. aku tertegun menatapnya, menyusupkan ribuan kata-kata dan menyusunnya dalam rongga otak besar, mengartikannya menjadi kalimat dan merasakannya dengan hati yang penuh.

ia menang dan kalah pada saat yang bersamaan. ia menjuarai pertempurannya dengan dirinya sendiri, menjunjung tinggi nurani dan idealismenya setinggi pencakar langit membelah angkasa. kemenangan yang tepat diiringi dengan porak porandanya harapan akan cintanya pada seorang lawan jenis. sepanjang ingatanku, lama telah ia tak mencinta, kali ini ia sungguh mencintai dengan segenap hati, namun harus kalah oleh diri sendiri. tragis..

ia menepiskan egonya untuk keriaan manusia lain, ia memenangkan peperangan atas egoisme kemanusiaan. ia mengalahkan dirinya sendiri atas nama cinta terhadap sesama jenis meski harus meranggas akan cintanya kepada sang lawan jenis. sesederhana idealisme, ia hanya inginkan dua anak manusia itu bahagia tanpa tapal batas, serupa tepat ketika dirinya belum hadir di antara mereka.

kembali ia memantikan api, entah pada batang keberapa.. senyum kemenangan mirisnya masih menggelayut pada rautnya. ia menatap jauh entah pada titik mana, desir angin kembali berbunyi setelah bungkam tertindih percakapan kami. kemudian sunyi.. kembali sunyi.


Inspired by 46.

No comments:

Post a Comment