Tuesday, October 4, 2011

kabarnya, nantinya


Malam ini saya diiringi sebuah kabar kematian. Satu lagi nyawa manusia yang nampaknya telah lama gerah terkungkung dalam raga yang usang pergi begitu saja. Tanpa pesan dan tanpa alasan. Ribuan bahkan jutaan jerit doa menyertai pembebasan nyawa itu. Dalam gelak tawa ia menerawang menuju suatu tempat yang umumnya dinamakan surga, kerajaan tuhan.

Dalam keriaannya, saya tersentak. Dalam pelepasannya, saya termangu. Bercermin kaku pada segumpal nyawa yang masih menggelayut dalam rongga dadanya, yang membuatnya dikatakan hidup pada fana ini. Merayap dan beringsut-ingsut mencari cahaya dalam kebumian. Mencari nyaman, mencari cinta, ujarnya.

Nanti, kabar kematiannya mungkin akan disampaikan oleh angin malam yang menusuk rusuk, atau mungkin tercerna begitu saja oleh angin muson pembawa penghujan. Berita pelepasannya mungkin tak akan tiba tepat pada waktunya pada kedua bilah telingaku. Tetiba ia telah terendam dalam gundukan bumi yang arogan, menelannya tanpa ampun. Tanpa belas kasih akan pengetahuan atas clostrophobianya.

Dalam sejuta semesta ini, saya akan menerimanya jika hanya tersisa pusara. Sungguh sebab nisan yang akan tertorehkan namanya akan meniadakan dosa diantara saya dengan dia. Sungguh melegakan daripada menemukannya terkapar tanpa nama, tergeletak dalam ruang gelap kamar kematian pada rumah bersarang penyakit, atau bahkan terkubur bersama puluhan manusia lain tak bernisan. Tak dikenal.

Jika dapat saya memohon pada sang khalik, biarkan saya mengabdi satu kali dalam ritme sang bima sakti ini. Pinta saya hanya agar mengantarnya pada peraduan terakhir di planet biru ini, jika tiba waktunya. Hanya sebuah pengabdian untuk seseorang yang memberikan degup pada jantung ini, untuk seseorang yang disebut ayah, dimanapun ia berada saat ini, detik ini.

No comments:

Post a Comment