Friday, October 28, 2011

istana pasir

Arsitek ini memberanikan diri keluar dari benteng bertingkap yang dibangunnya sendiri. Benteng yang ia dirikan dengan penjagaan ratusan kali lipat, dengan bata terbaik dan pondasi terdalam. Meski tanpa jendela dan pintu, benteng itu berhasil memproteksinya dari ganasnya dunia luar. Membuatnya merasa nyaman pada zona kenyamanan, tanpa perlu pengetahuan akan manis getirnya sapuan ombak yang dibawa arus dan kemudian teredam di pantai putih itu.

Arsitek ini akhirnya memutuskan untuk mencumbui amplitudo suhu di luar. Ia membawa sebuah kotak tertutup rapat bahkan kedap udara dan kedap cahaya. Meletakkannya tak jauh dari hamparan pasir putih dimana ia kini berpijak. Dengan ragu arsitek ini mengumpulkan butiran pasir yang tak terjumlah, mencampurnya dengan air laut yang menyapanya. Memadatkan dan memampatkan pasir putih menjadi bongkahan-bongkahan yang sempurna.

Dengan sejuta ketelitian akan suatu bangunan, arsitek ini mulai menyusun bongkahan demi bongkahan. Menambahkan dan mengurangi di sisi sana-sini, memastikan istana pasirnya sempurna berdiri meski tanpa pondasi. Meronggakan titik pusat kerajaan pasirnya dengan perhitungan luas tertentu.

Lalu arsitek ini meraih kotak yang dibawanya serta tadi, membukanya dengan air muka kekhawatiran yang melebihi batas normal. Meraih hati yang tersimpan didalamnya, dilampirkan dengan senyum pedih, ia meletakkan hatinya yang selama ini terlindungi dalam kokohnya benteng. Mempercayakan hatinya pada istana pasir yang dibuatnya tanpa pondasi, meletakkannya tepat pada pusat istana pasirnya, tanpa terjaga apalagi terlindungi.

Sungguh arsitek ini dengan seluruh kesadaran akan semesta telah mengetahui rapuhnya sang hati. Sungguh pula ia tahu bahwa kerajaan pasirnya akan tersapu ombak bila saatnya tiba, saat langit menjadi pekat dan pasang memburu ke pantai. Meluluh-lantakkan istana pasir ini tanpa sisa, menyeret hati yang diletakkannya serta. Meratap pada kepingan hati yang koyak, tanpa satupun anak manusia yang mampu menjadikannya kembali utuh.

Pedih. Sedih. Namun arsitek ini akan tetap mengumpulkan serpihan hatinya, kembali membawanya meski tak berwujud. Lalu ia akan kembali pada benteng kokohnya tanpa keluh. Kembali menyusun serpihan hatinya meski wujudnya tak akan pernah sama seperti sebelum.

Setidaknya ia mencoba, pernah mencoba.. meski satu-satunya kepastian hanyalah ia mempercayakan hatinya yang rapuh pada sang istana pasir yang sejak permulaan akan hancur tersapu laut.

No comments:

Post a Comment