Friday, May 29, 2009

antara ketidakadilan dan keadilan

mari bicara keadilan dan ketidakadilan.

masalah adil dan tidak ini bukan dalam konteks besar seperti kemanusiaan dalam perang dan bukan pula dalam hal kenegaraan, tapi hal ini tentunya terkait dengan hak asasi. berangkat dari sebuah hubungan antara karyawan dan majikan, antara si pekerja dan pemberi kerja, antara yang empunya kuasa dan pelaksana, antara pemilik posisi tawar yang kuat dan pemilik posisi tawar yang lemah, atau bahkan yang tidak memiliki posisi tawar.

ini hanya masalah pekerjaan, dimana setiap orang sangat mungkin mengalaminya. sebut saja seorang karyawan yang sudah lewat satu tahun bekerja di sebuah perusahaan, ia bekerja dengan sangat baik sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh perusahaan. ia bekerja sekaligus beradaptasi dengan lingkungan dalam perusahaan tersebut, dan menurut pandangan saya segala sesuatu sudah dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. bahkan keseharian seorang petinggi yang sangat senang marah-marah, mengumbar emosi sampai cara memanggil si bawahan seperti seorang pembantu, atau budak bahkan, juga diterimanya tanpa mengeluh atau mengumpat. nada memanggil pembantu.. yahh, bahkan menurut saya, saya tidak pernah menggunakan nada itu jika memanggil pembantu di rumah. mungkin bisa saya mulai segalanya dari sini..

suatu pagi seperti pagi-pagi yang lain suara si petinggi akan terdengar seperti ini, "inaaaaaaaaaaaaaaaahhhh!!!! ke ruangan gw!!!" suara itu pastinya menciutkan hati, mengentarkan langkah untuk mendekat pada ruangan si petinggi. siapapun yang disebut namanya pastinya akan menghela nafas dahulu sebelum menjawab, "iya, bu.." dan kemudian dengan langkah ragu akan menuju ke ruangan si petinggi. yaaa, sebut saja kali ini si bawahan telah salah mengerjakan sesuatu dalam pekerjaannya. tentu, setelah sampai di ruangan petinggi itu, lengkingan lain akan dimulai tanpa henti, hardikan demi hardikan harus didengar sampai telinga memerah dan hati memanas. tidak berhenti sampai di situ, jika si petinggi sedang mengumbar emosi, hardikan itu akan berlanjut terus sampai ia meninggalkan kantor. ditambah muka masamnya di setiap detik jika ia inginkan, setiap detik, entah sengaja dipasangnya atau memang ia tidak pernah bisa tersenyum. masam pulalah ia pada saat makan siang bersama, tentunya diselipkan kata-kata ketus di setiap pembicaraan, terus begitu sampai ia mau. entah bertahan hanya untuk hari itu, atau bahkan dilanjutkan ke hari-hari berikutnya.

menurut pendapat saya, pertama, si petinggi itu jauh dari sikap profesional, sebab bagaimana bisa ia terus memasang muka asam seharian, bahkan saat makan siang jika apa yang ia kesalkan itu tentang pekerjaan. apakah serumit itu sehingga harus mencampuradukan sikap kesal sampai pada waktu makan? jika ia marah karena pekerjaan, entah salah atau tidaknya si bawahan, sungguh amat tidak etis jika dibawa terus sampai waktu makan bersama. kedua, berhubungan dengan cara si petinggi memanggil si bawahan, seperti saya katakan sebelumnya, bahkan saya tidak pernah memanggil pembantu di rumah semacam itu. sungguh tidak manusiawi menurut saya, parahnya hal itu dilakukan pada pagi hari, saat hari baru dimulai. sungguh amat tidak mengenakan hal buruk terjadi di pagi hari, berkesan hari itu akan terus buruk sampai pada berakhirnya. sangat tidak kondusif menurut saya, karena jika tekanan tersebut diterima oleh seseorang pada saat hari baru dimulai, maka orang tersebut akan sulit untuk berkonsenterasi karena selalu dibayangi oleh rasa takut. dimana nilai keadilan pada perilaku si petinggi ini?

ternyata bukan hanya seorang bawahan yang diperlakukan seperti itu oleh si petinggi, ada dua orang dalam kantor itu yang bernasib sama. akibatnya, keduanya jadi semakin dekat karena persamaan nasib. sayangnya, hal itu membuat mereka berdua menjadi kaum minoritas dalam pergaulan kantor, sedangkan bawahan yang lain, ya seperti dapat diduga lebih memilih untuk menjadi penjilat untuk dapat terus dianggap di kantor itu. jika keadaan menjadi demikian ini, siapa yang harus dipersalahkan? kedua orang bawahan itu karena tidak mau menjadi penjilat? atau anggap saja kedua bawahan itu yang malah tidak bisa beradaptasi dan bergaul?

karena dikucilkan atau menjadi kaum minoritas, sehingga kedua bawahan ini selalu ditinggalkan dalam setiap keadaan, dalam setiap kesempatan. entar dilupakan atau terlupakan. kadang hal ini membuat kedua bawahan ini sedikit iri, atau banyak iri di waktu-waktu tertentu, sampai pada akhirnya mereka berdua memilih untuk lebih tidak perduli akan apapun. yang mereka utamakan hanya bekerja dengan baik dan sedapat mungkin tanpa melakukan kesalahan. namun, kesenjangan ini makin meluas rupanya, dan si petinggi semakin hari semakin lebih sering mengumbar kemarahannya, entah memang kedua bawahan ini salah atau tidak, apapun, yang penting marah! apakah ini keadilan bagi kedua bawahan itu?

kejadian pamungkas atas setiap kemarahan sehari-hari ini terjadi beberapa waktu lalu. si petinggi, yang tentunya sangat dekat dengan tuan besar talah malakukan sesuatu yang besar yang berakibat berderingnya telepon di meja si bawahan, ya.. telpon dari tuan besar yang memangil si bawahan untuk datang ke ruangannya.

berdua saja mereka di ruangan tuan besar. penjabaran dari a sampai z dipaparkan oleh tuan besat, bahwa si bawahan adalah pekerja yang baik, bahwa segala yang dikerjakan bawahan berhasil baik, bahwa selama ini si bawahan sangat menyenangkan dan dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan amat baik, tetapi.. (ini dia intinya) mungkin si bawahan akan jauh lebih berkembang di tempat lain, mungkin si bawahan akan jauh lebih mudah beradaptasi di kantor yang lain. singkat cerita, tuan besar telah berkeinginan dan pada akhirnya berhasil membuat si bawahan, yang tidak punya posisi tawar ini, mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah dilakoninya selama hampir dua tahun. dan dengan segala kebaikan hati tuan besar, si bawahan ini diberikan waktu lebih banyak berlibur dan lebih cepat berkemas hanya dalam waktu dua hari. ironis.. tragis..

sempurna benar rupanya skenario si petinggi dan tuan besar. sempurna!!! mana yang disebut keadilan? mana yang disebut ketidakadilan? adilkah pemaksaan pengunduran diri ini untuk si bawahan karena ia selama ini sudah diminoritaskan, sudah dianaktirikan termasuk dicaci dan dimaki? adilkah karena pada akhirnya ia berhasil membebaskan diri dari caci dan maki yang olehnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari harinya? atau tidak adilkah karena ia tidak memiliki kesempatan untuk berargumentasi dan memilih? jadi mana yang adil dan mana yang tidak adil?



*terinspirasi oleh au, teman dan sahabat yang manis.

No comments:

Post a Comment